Senin, 23 Januari 2017

INPLEMENTASI PRINSIF GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM PRAKTIK PERBANKAN SYARIAH



INPLEMENTASI  PRINSIF GOOD CORPORATE GOVERNANCE DALAM PRAKTIK PERBANKAN SYARIAH


 







Literatur ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada
Mata Kuliah Manajemen Dana Syariah Kelompok 4 Program
Study Ekonomi Syariah Semester 7 Jurusan Syariah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Watampone


Oleh:
ATIRNAWATI
01133114




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
WATAMPONE
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat limpahan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nyalah sehingga dapat menyelesaikan makalah ini yang tepat pada waktu yang telah di tentukan. Shalawat serta salam senantiasa kita haturkan kepada junjungan kita Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang senantiasa berjuang menegakkan ajaran islam dimuka bumi ini.
Penulis banyak berterimah kasih kepada dosen yang telah memberikan arahan dan didikannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Namun demikian, penulis sadar bahwa dalam penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan-kekurangan, sehingga penulis mengaharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah selanjutnya.
Demikian, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Amin
Wassalamualaikum wr. wb
Watampone, 10 Januari 2017


Penulis
 


LATAR BELAKANG
Secara praktis, isu penerapan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate governance (GCG) mulai muncul ke permukaan ketika Amerika Serikat harus melakukan restrukturisasi corporate governance sebagai akibat market crash pada tahun 1929. Pada awal tahun 2000-an, mata dunia seakan terbelalak ketika perusahaan-perusahaan besar di dunia seperti Enron, Worldcom, Tyco, Merck, Global Crossing, Xerox, dan lain-lain, terjerat dalam kasus skandal keuangan yang menyebabkan mereka gulung tikar (collapse). Baru-baru ini kita dikagetkan juga dengan skandal yang terkait dengan transaksi syariah, yaitu: sukuk oleh Dubai World, perusahaan ini merupakan perusahaan milik Pemerintah Dubai yang bergerak dalam berbagai bidang infrastruktur, salah satunya adalah Nakheel. Proyek property Nakheel yang terkenal adalah The Palm Island, perumahan yang berada di tengah laut berbentuk pohon kurma. Sumber pendanaannya antara lain dengan menggunakan sukuk. Nilai sukuk yang ditunda pembayaran pokoknya adalah sebesar 3,52 miliar USD. Tanggal jatuh temponya adalah tanggal 14 Desember 2009, diusulkan ditunda hingga 30 Mei 2010. Penundaan ini tentunya memberikan efek negatif bagi pemegang sukuk tersebut yang sangat membutuhkan likuiditas. Hal ini menyebabkan jatuhnya harga sukuk tersebut hingga -31,11% (menjadi 62) dalam satu hari pada tanggal 26 November 2009. Masalah sukuk Nakheel pada dasarnya mulai muncul pada bulan Juli 2009 ketika Nakheel mengajukan revisi struktur sukuk sebesar 750 juta US dollar.
Hal ini sekaligus semakin menguatkan akan pentingnya penerapan GCG, termasuk di institusi keuangan islam.
Buruknya praktik corporate governance, adanya manipulasi informasi, kurangnya transparansi dan akuntabilitas inilah yang diduga sebagai penyebab terjadinya berbagai krisis, termasuk krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun 1997 hingga saat ini.
Di sisi lain, pentingnya penerapan GCG juga didukung oleh latar belakang teoretis akibat dianutnya konsep entity theory yang melahirkan permasalahan keagenan (agency problem). Dalam konsep entity theory terjadi pemisahan antara pemilik (prinsipal) dengan manajemen (agen). Pemisahan ini mendorong terjadinya konflik kepentingan antara prinsipal dengan agen. Jensen dan Meckling (1976) berpendapat bahwa baik prinsipal maupun agen sama-sama mempunyai kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraannya sehingga ada kecenderungan agen mendahulukan kepentingan pribadi (self interest) daripada kepentingan prinsipal. Benturan kepentingan tersebut mengakibatkan konflik antara agen dengan prinsipal atau yang biasa disebut dengan pemasalahan keagenan (agency problem). Pemasalahan ini terjadi karena adanya informasi asimetri antara agen dengan prinsipal. Dalam hal ini, agen dipandang sebagai pihak yang lebih banyak mengetahui informasi mengenai perusahaan daripada prinsipal, termasuk dalam hal pelaporan keuangan yang merupakan salah satu bagian dari pengelolaan perusahaan. Sehubungan dengan hal tersebut, penerapan GCG sangat penting dilakukan untuk mengurangi permasalah ini.









A.  Pengertian good corporate governance
CG yaitu isu yang relatif baru dalam dunia manajemen bisnis. Secara umum CG terkait dengan sistem dan mekanisme hubungan yang mengatur dan menciptakan insentif yang pas di antara para pihak yang mempunyai kepentingan pada suatu perusahaan agar perusahaan di maksud dapat mencapai tujuan tujuan usahanya. Secara formal CG dapat di artikan sebagai sitem hak, proses dan kontrol secara keseluruhan yang di tetapkan secara internal dan eksternal atas manajemen sebuah entitas bisnis dengan tujuan untuk melindungi kepentingan-kepentingan semua stakeholders.[1]
Dalam literatur lain di sebut bahwa good corporate governance (GCG) berarti suatu proses  dan struktur yang di gunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis akuntabilitas perusahaan dengan tujuan utama mempertinggi nilai saham dalam jangka panjang dengan tetap memperhatikan kepentingan stakeholders lain.[2]
Dari sudut pandang CG perbankan syariah menunjukkan sejumlah segi yang menarik karena aransemen partsipasi ekuitas, risisko dan profit and loss sharing menjdi basis pembiayaan (pemberian kredit) yang islami.[3]
Governance pada lembaga keuangan khususnya bank memiliki keunikan tersendiri di bandingkan dengan governance pada lembaga keungan non bank. Hal ini lebih di sebabkan oleh kehadiran deposan sebagai suatu kelompok stakeholders yang berkepentingan harus di akomodir dan di jaga. Namun keberadaan deposan pada perbankan konvensional tidaklah terlalu banyak mempengaruhi stuktur governance bank. Sedangkan menurut para ahli mendefinisiskan GCG yaitu:
Beberapa negara mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit perbedaan istilah. Kelompok negara maju (OECD), umpamanya mendefinisikan GCG sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggung jawab pada shareholder-nya. Para pengambil keputusan di perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan, dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholders lainnya. Karena itu  fokus utama di sini terkait dengan proses pengambilan keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency, responsibility, accountability, dan tentu saja fairness.
Sementara itu, ADB (Asian Development Bank) menjelaskan bahwa GCG mengandung empat nilai utama yaitu: Accountability, Transparency, Predictability dan Participation. Pengertian lain datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia. Menurut lembaga tersebut GCG merupakan suatu proses serta struktur yang digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka panjang tetapi tetap memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainnya.
Lantas bagaimana dengan definisi GCG di Indonesia? Di tanah air, secara harfiah, governance kerap diterjemahkan sebagai “pengaturan.” Adapun dalam konteks GCG, governance sering juga disebut “tata pamong”, atau penadbiran – yang terakhir ini, bagi orang awam masih terdengar janggal di telinga. Maklum, istilah itu berasal dari Melayu. Namun tampaknya secara umum di kalangan pebisnis, istilah GCG diartikan tata kelola perusahaan, meskipun masih rancu dengan terminologi manajemen. Masih diperlukan kajian untuk mencari istilah yang tepat dalam bahasan Indonesia yang benar.
B.  Prinsif-prinsif good corporate gevernance
1.      Hak hak para pemegan saham (shareholders) dan perlindungannnya.
2.      Peran para karyawan dan pihak pihak yang berkepentingan (stakeholders) lainnya.
3.      Pengunkapan (disclausere) yang akurat dan tepat waktu serata transparansi sehubungan dengan struktur dan operasi koperasi.
4.      Tanggung jawab dewan ( maksudnya dewan komisaris dan dewan direksi) terhadap perusahaan, pemegan saham, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya.[4]
Secara ringkas prinsif tersebut dapat di rangkum sebagai berikut:
a.    Fairness (kewajiban)
b.    Disclousure transparancy (transparansi)
c.    Accauntability (akuntabilitas)
d.   Responsibility (responsibilitas)
Sedangkan dalam surat keputusan Mentri BUMN No. 117 / M-MBU / 2002, mengemukakan beberapa prinsif GCG, yaitu sebagai berikut:
1.      Transparansi (transparancy)
Keterbukaan dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan mengemukakan informasi materil yang relevan mengenai perusahaan.
Langkah-langkah yang dapat ditempuh untuk menerapkan prinsip tersebut antara lain sebagai berikut:
  • Mengembangkan sistem akuntansi berdasarkan pada Accounting Standard (standar akuntansi) dan Best Practices untuk memastikan kualitas laporan keuangan dan pengungkapannya.
  • Mengembangkan  IT  dan  MIS  untuk  memastikan  pengukur  kinerja  yang  sesuai  dan  proses pengambilan keputusan yang efektif oleh direksi dan manajemen.
  • Mengembangkan Enterprise Wide Risk Management untuk memastikan bahwa seluruh resiko yang  signifikan telah diidentifikasi, terukur, dan dapat dikelola pada tingkat yang telah ditentukan.
  • Mengumumkan kepada publik untuk lowongan pekerjaan.
2.      Pengunkapan (discesure)
Penyajian informasi kepada stakeholders baik di minta mengenai hal-hal yang berkenaan dengan kinerja operasional, keuangan dan risiko usaha perusahaan.
3.      Kemandirian (independence)
Suatu keadaan perusahaan di kelolah secara profesinal tampa benturan kepentingan /tekanan dari pihak manapun tidak sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku dan prinsif-prinsif korporasi yang sehat.
4.      Akuntabilitas (accauntbility)
Kejelasan fungsi pelaksanaan dan pertanggungjawaban manajemen perusahaan sehingga pengeloalaan perusahaan terlaksana secara efektif dan efisien.
  • Penerapan prinsip akuntabilitas dapat direalisasikan antara lain melalui cara-cara berikut: Penyiapan laporan keuangan dilakukan secara tepat waktu dan benar.
  • Menyusun Komite Audit dan Komite Risiko untuk meningkatkan fungsi pengawasan oleh Dewan Direksi.
  • Menyusun  dan  meredifinisi  tugas  dan  fungsi  internal  audit  sebagai  rekan  bisnis strategis mendasarkan pada best practices sehingga internal audit tidak hanya melakukan compliance audit  namun juga menggunakan pendekatan risk based audit.
  • Memelihara   pengelolaan   kontrak-kontrak   secara   bertanggungjawab   dan menyelesaikan  permasalahan yang timbul.
  • Menegakkan hukum dengan cara menyusun sistem penghargaan dan penghukuman (reward and  punishment system).
  • Menggunakan Auditor Eksternal yang berkualitas dan profesional.
5.      Pertanggungjawaban (responsibility)
Kesesuaian pengelolaan perusahaaan terhadap peraturan perundang undangan yang berlaku dan prinsif-prinsif korporasi yang sehat.
  • Penyadaran  atas  adanya  responsibility  kepada  masyarakat  atau  pihak  yang  terkait  dengan  perusahaan, baik secara langsung maupun tidak.
  • Menghindari pemanfaatan/penyalahgunaan kekuasaan.
  • Bersikap profesional dan memiliki etika.
6.      Kewajaran (fairnes)
Keadilan dan kesataraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders, yang timbul berdasarkan perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
Prinsip fairness berkaitan dengan perlakuan yang sama terhadap stakeholders. Penerapan prinsip ini dapat dilakukan antara lain dengan cara:
  • Menerbitkan corporate rules untuk melindungi pemegang saham minoritas.
  • Menerbitkan corporate conduct dan compliance policies untuk mencegah terjadinya kecurangan,  berbuat untuk kepentingan pribadi dan conflict of interest.
  • Menyusun tugas dan kewajiban direksi, dewan komisaris, manajemen dan komite-komite termasuk  di dalamnya sistem audit.
  • Melakukan  pengungkapan  atas  semua  informasi  material  atau  pengungkapan  penuh (full disclosure) atas seluruh informasi yang mempengaruhi keberlanjutan perusahaan, misalnya hal-hal yang berkenaan dengan kinerja operasional, keuangan dan risiko usaha perusahaan.
  • Memperkenalkan kesempatan kerja yang sama pada semua calon pegawai maupun pegawai tetap  yang telah bekerja untuk perusahaan.
C.  Penerapan Good Corperate Governance dalam LKS
Good corporate governance yang di singkat dengan GCG secara definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan nilai tambah untuk semua stakeholders. Ada dua hal yang di tekankankan dalam konsep ini:
1.      Pentingnya hak pemegan saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan akurat dan tepat pada waktunya.
2.      Kewajiban perusahaan untuk melakukan pengunkapan (disclausere) secara akurat, tepat waktu dan transparan terhadap semuainformasi kinerja perusahaan kepemilikan dan stakeholders (YPPMI dan SC 2002).[6]
Keberhasilan penerapan
good corporate governance juga memiliki prasyarat tersendiri. Terdapat dua faktor yang memegang peranan, antara lain:
1.Faktor Eksternal Yang dimaksud faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari luar perusahaan yang sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan good corporate governance diantaranya: a. Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu menjamin berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan efektif.  b. Dukungan pelaksanaan good corporate governance dari sektor publik/lembaga  pemerintahan yang diharapkan dapat pula melaksanakan good governance dan clean governance yang sebenarnya.   c. Terdapatnya contoh pelaksanaan good corporate governance yang tepat (best practices) dapat menjadi standar pelaksanaan good corporate governance yang efektif dan  professional. Dengan kata lain semacam brenchmark (acuan) d. Terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan good corporate governancedi masyarakat. Ini penting karena melalui sistem ini diharapkan timbul  partisipasi aktif berbagai kalangan masyarakat untuk mendukung aplikasi serta sosialisasi good corporate governance secara sukarela. e. Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat keberhasilan implementasi good corporate governanceterutama di Indonesia adalah adanya semangat anti korupsi yang  berkembang di lingkungan publik dimana perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas pendidikan dan perluasan peluang kerja. Bahkan dapat dikatakan  bahwa perbaikan lingkungan publik sangat mempengaruhi kualitas dan rating  perusahaan dalam implementasi good corporate governance
2. Faktor Internal Maksud faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanan praktek good corporate governance yang berasal dari dalam perusahaan. Beberapa faktor yang dimaksud antara lain: a. Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan good corporate governance dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di perusahaan  b. Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu pada  penerapan nilai-nilai good corporate governance c. Manajemen pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan pada kaidah-kaidah standar good corporate governance d. Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang efektif dalam perusahaan untuk menghindari setiap penyimpangan yang mungkin akan terjadi.   e. Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu memahami setiap gerak dan langkah manajemen dalam perusahaan sehingga kalangan publik dapat memahami dan mengikuti setiap derap langkah perkembangan dan dinamika perusahaan dari waktu ke waktu.













D.  Struktur governance.
Korvorate governance dalam sebuah bank islam








 

















Jadi yang pokok dalam kerangka corporate governance untuk sebuah bank syariah adalah dewan penyeliah bank syariah (DPS) dan kontrol kontrol internal yang mendukunnya. DPS penting karena dua alasan. Pertama mereka yang berurusan dengan bank syariah memerlukan jaminan bahwa bank itu melakukan transaksi sesuai dengan hukum islam. Seandainya DPS melaporkanbahwa manajemen bank telah melanggar syariat, maka bank tersebut akan cepat kehilangna kepercayaan dari mayoritas investor dan nasabahnya. Kedua, sebagai ulama berpendapat bahwa perinsip prinsif agama syariah yang tegas akan bertinfdak sebagai imbangan terhadap problem-problem insentif yang telah di uraikan sebelumnya.[7]
E.  Governance Dalam Bank Komvensional Dan Bank Syariah
1.      Governance dalam bank konvensional
Paling tidak ada empat kelompok stakeholders lansung yang dapat diidentifikasi dalam sebuah bank:[8]
·         Pemegan saham /pemilik utang yang si subordinasi
·         Deposan atau kreditur
·         Manajeman
·         Agen-agen asuransipemerintah/badan badan penyedia
2.      Governance dalam bank syariah.
Dalam perbankan syariah persoalan governance sangat berbeda dengan governance dalam bank konvenional karena perbankan syariah mempunyai kewajiban untuk mentaati seperangkat peraturan yang berbeda-beda yaitu hukum syariah dan pada umumnya mengikuti harapan kaum muslimin dengan memberikan modal mitraan berdasarkan  aransemen profit and loss sharing (PLS) atau cara-cara emiayaan lainnya yang di benarkan oleh syariat. Metode profit loss and sharing ini, sebaliknya menarapkan hubungan-hubungan stakeholders yang berbeda dengan hubungan dalam pinjaman berbasis bunga.




Para Stakeholders Konci Dalam Sebuah Bank Islam
Kreditu pemegan rekening giro
 
                                                                                                                          






Pemegan saham
 


 











Pada gambar di atas menunjukkan para stakeholders yang memegan posisi kunci dalam sebuah bank silam. Pertama, dan terutama sebuah organisasi syariah harus melayani Allah dan mengembangkan budaya koperasi yang berbeda. Kedua, menyusul kewajiabna ini, bank harus memberikan dan mendesain instrumen dan produk-produk keuangan yang di benarkan syariat. Dalam kedua aspek itulah konsep ‘pelayanan’ sangat bermamfaat untuk memehami perilaku mereka yang terlibat dalam organisasi. Konsep ‘amanah’ [ trus (kepercayaan) ] dalam syariah menunjukkan bahwa harta adalah milik Allah dan manusia, secara individu atau kolektif adalah penjaganya.[9]  
Penerapan Good Corporate Governance di lembaga perbankan syari’ah menjadi sebuah keniscayaan yang tak terbantahkan. Bahkan bank-bank syariah harus tampil sebagai pionir terdepan dalam mengimplementasikan GCG tersebut. Dalam kerangka itulah IFSB (Islamic Financial Service Board), sebuah Badan penetapan standart internasional untuk regulasi lembaga keuangan Islam yang berpusat di Kuala Lumpur, baru-baru ini mengekspose draft GCG untuk Lembaga keuangan Syariah. Rencananya, draft tersebut akan disahkan pada bulan November mendatang. Jika draft GCG tersebut disahkan, maka ia akan menjadi pedoman pelaksanaan tata kelola perusahaan lembaga keuangan syariah di semua negara. Sebelum disahkan, IFSB mengharapkan masukan dari para akademisi dan preaktisi ekonomi Islam di seluruh dunia. Kini draft tersebut sudah diekspose di tiga negara, Inggris (london), Lebanon (Beirut), dan di Indonesia (Jakarta)
Perbedaan GCG syariah dan konvensional terletak pada syariah compliance yaitu kepatuhan pada syariah. Sedangkan prinsip-prinsip transparansi, kejujuran, kehati-hatian, kedisiplinan merupakan prinsip universal yang juga terdapat dalam aturan GCG konvensional. Tulisan ini bermaksud menggali dan menyajikan bagaimana prinsip-prinsip GCG dalam Islam dan bagaimana penerapannya di bank-bank syariah di Indonesia.
Corporate Governance dalam Islam dan OECD Prinsiples – Suatu Perbandingan
Basis perbedaan
Prinsip OECD
Prinsip Islam
Otoritas
Direktur mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan berdasarkan prinsip-prinsip OECD
Kekuasaan tunggal hanya untuk Allah Yang Maha Kuasa. Semua keputusan dibuat berdasarkan prinsip syariah sebagai hukum sumber otoritas.
Pengambilan Keputusan
Pengambilan keputusan disandarkan pada CEO dan manajemen senior. Voting hanya diperlukan untuk memilih Dewan Komisaris dan beberapa keputusan.
Setiap keputusan diambil dengan konsultasi dan konsensus masing-masing stakeholders.
Sasaran
Maksimisasi profit dan nilai pemegang saham
Persamaan, persamaan distribusi kekayaan, perhatian untuk seluruh komunitas.
Akuntabilitas
Manajemen senior akuntabel terhadap pemegang saham
Akuntabilitas tidak hanya kepada pemegang saham tetapi juga terhadap Allah Yang Maha Kuasa.
Etika
Transparansi, akuntabilias, dan pengungkapan.
Keadilan, persamaan, kebenaran, perlindungan untuk minoritas, akuntabilitas yang lebih luas, pengungkapan baik tertulis maupun lisan.
Aplikasi
Prinsip-prinsip tidak diterapkan dengan sama untuk seluruh dunia.
Diterapkan dengan sama untuk seluruh dunia.

F. Mewaspadai Moral Hazard dan Bentuk Moral Hazard

1.    Mewaspadai moral hazard
Bahwa praktek moral hazard sudah menjadi kebiasaan di lembaga-lembaga perbankan. Kita sering mendengar berita korupsi di berbagai lembaga perbankan, baik bank BUMN maupun bank swasta. Berbagai kejadian korupsi tersebut, harus menjadi perhatian serius bagi para steakholders bank syari’ah, baik pemilik/ pemegang saham, komisaris, direksi, karyawan (kru,) Dewan Pengawas Syari’ah, nasabah dan para akademisi ekonomi syari’ah lainnya.
Hal ini perlu menjadi perhatian penting, sebab saat ini lembaga perbankan syari’ah sedang menjadi idola dan berkembang sangat pesat di tanah air. Saat ini ada 29 Bank yang telah beroperasi secara syari’ah dan memiliki lebih dari 620 kantor di seluruh Indonesia. Di masa depan, kemungkinan terjadinya korupsi dan penyimpangan di bank syari’ah merupakan hal tidak mustahil, meskipun di situ ada Dewan Pengawas Syari’ah, karena para pelakunya bukan malaikat. Apalagi sekarang ini perbankan syari’ah semakin banyak, maka para bankir syari’ah pun semakin bertambah banyak pula. Sehubungan dengan itu para jajaran eksekutif dan pejabat bank, bahkan termasuk komisaris harus ekstra hati-hati dalam mengelola lembaga perbankan syariah yang selalu dinilai “suci” , karena berasal dari prinsip ilahiyah.
Harus dimaklumi, bahwa simbol agama tidak menjamin sebuah lembaga menjadi bersih dari perilaku korupsi. Karena oknum seringkali tergoda oleh harta dunia. Departemen Agama misalnya saat ini sedang diincar oleh tim BPK sehubungan dengan dugaan adanya penyimpangan di bidang urusan haji.
Sebelum terjadinya kasus yang bisa mencoreng lembaga syariah , maka sejak dini perlu diingatkan kepada pihak-pihak terkait agar berkomitmen menjauhi setiap penyimpangan di bank syari’ah.
2. Bentuk  moral hazad
Dalam konteks ini, Dhani Gunawan, peneliti senior Bank Indonesia, menyatakan bahwa korupsi di lembaga perbankan pada umumnya dapat menjelma dalam tiga bentuk. Pertama, bentuk langsung, Kedua, tidak langsung dan Ketiga, samar-samar (fuzzy). Bentuk korupsi langsung adalah pencurian uang pada bank oleh oknum individu atau kelompok dengan cara memanipulasi laporan keuangan, manipulasi dokumen dana bank atau dana nasabah, juga bisa dalam bentuk memark-up pembelian barang atau inventaris.
Korupsi tidak langsung dapat berwujud dalam nepotisme tender barang atau jasa kepada sanak keluarga, sehingga bank dapat menjadi rugi, karena kualitas barang/jasa yang rendah. Atau oknum bankir mendapat komisi, atau sukses fee dari rekanan bank yang tidak dibukukan sebagai laba bank. Dana yang tak dibukukan ini diistilahkan dengan “dana taktis”. Keberadaan dana taktis ini merupakan bibit awal korupsi, bibit awal rekayasa giant mark-up, karena dana taktis itu berasal dari anggaran bank yang kemudian berubah menjadi dana kepentingan pribadi atau oknum.
Bentuk korupsi lainnya ialah seperti nepotisme penyaluran kredit yang mengurangi potensi pendatapan bank, nepotisme penerimaan pegawai atau promosi pegawai. Hal ini dapat menzalimi orang lain yang lebih baik, berkualitas dan lebih berhak. Sedangkan korupsi samar-samar merupakan bentuk yang paling potensial sering terjadi, karena berada di area abu-abu yang mudah disembunyikan, seperti komisaris atau direksi yang menggunakan mobil dinas mewah yang kemudian setelah penyusutan lalu dibeli menjadi miliknya dengan harga di bawah pasar. Contoh berikutnya adalah menggunakan fasilitas asuransi jabatan yang berlebihan, mendapatkan bonus yang melebihi batas kewajaran, mendapatkan pendapatan tambahan yang ditutupi dengan label success fee, atau pegawai yang sering mankir darin tugas dengan berbagai alasan.
Semua bentuk korupsi, baik langsung, tidak langsung maupun samar-samar adalah korupsi yang harus diberantas dengan aturan GCG (Good Corporate Governance) yang jelas. Karena itu, lembaga pengawasan, lembaga audit, dan masyarakat, harus tetap kritis terhadap bank syari’ah. Jangan terpana dengan label syari’ah, karena bisa saja lembaga memakai label syari’ah tetapi prakteknya tidak sepenuhnya syari’ah. Dalam konteks penerapan GCG di bank syari’ah, para bankir syari’ah, harus benar-benar merujuk kepada prinsip-prinsip dan nilai-nilai ekonomi dan bisnis Islam yang telah diterapkan oleh Rasulullah. Kalau tidak, jangan menjadi praktisi bankir syari’ah karena dikhawatirkan mereka hanya akan merusak citra “kesucian” syari’ah di masa yang akan datang. Nabi Muhammad adalah pelopor penegakan moral dalam setiap aspek kehidupan. Ia bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk menyempurnakan akhlak”. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai bisnis yang diajarkan dan dipraktekan Nabi Muhammad Saw tersebut sangat identik dengan spirit GCG yang dikembangkan saat ini.
F.   Penilaian Pelaksanaan GCG
Sistem penilaian terhadap pelaksanaan tata kelolah perusahaan yang baik atau bahasa asingnya di singkat menjadi GCG merupakan suatu syarat yang harus di penuhi dan di laksanakan oleh instansi BUS. Hal itu perlu dilakukan untuk mengantisipasi risiko-risiko yang munkin akan membawa dampak buruk bagi instansi tersebut. Metode GCG di terapkan sebagai indikator bahwa instansi yang menerapkan metode tersebut dapat dikatakan sebagai instansi yang baik dan sehat dari segi pengolahan. Oleh karena itu, metode tersebut diterapkan oleh beberapa instansi sebagai berikut.
Bank umum syariah, bank umum syariah wajib melakukan self assesment atas pelaksanaan GCG pada BUS dilakukan terhadap sebelas faktor, yaitu sebagai berikut.
· Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dewan komisaris
· Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab direksi
· Kelengkapan dan tugas komite
· Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS
· Pelaksanaan prinsif syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan penyaluran dana serta jasa bank
· Penanggung komflik kepentingan
· Penerapan fungsi kepatuhan
· Penerapan fungsi audit internal
· Penerapan fungsi audit eksternal
· Batas maksimun penyaluran dana
· Transparansi kondisi keuangan dan nonkeuangan BUS, laporan pelaksana GCG serta pelaporan internal[10]
Sedangkan penilaian atas pelaksanaan GCG pada UUS dilakukan terhadap lima faktor sebagai berikut:
1.    Pelaksanaan dan tangggung jawab direktur UUS
2.    Pelaksanaan tugas dan tanggungjawab DPS
3.    Pelaksanaan prinsif syariah dalam kegiatan penghimpunanan dana dan penyaluran dana serta jasa bank
4.    Penyaluran dana kepada nasabah embiayaan inti penyimpanan dana oleh deposan
5.    Transparasi kondisi keuangan dan non keuangan UUS, laporan pelaksanaan GCG serta pelaporan internal.






DAFTAR PUSTAKA
Latifa M. Algauod Mervin K Lewis, Islamic Banking, Massachussetts: Edward Elgar, 2001.
Manajemen bank syariah , Muhammad, ed 1 cet 3 [yokyakarta: sekolah tinggi ilmu manajemen YKPN,  2011]
Nadem Ul Haque dan Abbas Mirakor , Perjanjian Bagi Hasil Yang Optimal Dan Investasi Dalam Perekonomian Bebas Bunga,[ IMF Working Paper, No. 12 Washintong DC: Internasional Monetary Fund. 1986]

Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia [ Cet.2, Yokyakarta: Gadja Mada Universiti Press, 2009 ]

AH. Ali, “The Islamic Banking Cultural”, New Horizon, 83 Januari , 1999.
Bambang Rianto Rustam, Manajemen Risiko Perbankan Syariah Di Indonesia , [Jakarta : Salemba Empat, 2013]
K Lanno, Corporate Governance In Eropa [CEPS, Working Party Report No. 12 Sentrefor European Studies Brussel, 1995.
Kuat Ismanto, Manajemen Syariah [ cet.1 Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2009]
Nana Hardiana Abdulrahman,  Manajemen Bisnis Syariah Dan Kewirausahan , [ cet.1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2013]
Neni Sri Imaniyati, Perbankan Syriah Dam Perspektif Hukum Eknomi, [ Cet.1, Bandung: Mandar Maju, 2013]


[1] K Lanno, Corporate Governance In Eropa [CEPS, Working Party Report No. 12 Sentrefor European Studies Brussel, 1995.
[2] Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia [ Cet.2, Yokyakarta: Gadja Mada Universiti Press, 2009 ] H.179.
[3] Manajemen bank syariah , Muhammad, ed 1 cet 3 [yokyakarta: sekolah tinggi ilmu manajemen YKPN,  2011], h. 404.
[4] Neni Sri Imaniyati, Perbankan Syriah Dam Perspektif Hukum Eknomi, [ Cet.1, Bandung: Mandar Maju, 2013] H. 147.
[5]Nana Hardiana Abdulrahman,  Manajemen Bisnis Syariah Dan Kewirausahan , [ cet.1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2013], h.283.
[6] Kuat Ismanto, Manajemen Syariah [ cet.1 Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2009], h. 262.
[7] Nadem Ul Haque dan Abbas Mirakor , Perjanjian Bagi Hasil Yang Optimal Dan Investasi Dalam Perekonomian Bebas Bunga,[ IMF Working Paper, No. 12 Washintong DC: Internasional Monetary Fund. 1986]
[8] Latifa M. Algauod Mervin K Lewis, Islamic Banking, Massachussetts: Edward Elgar, 2001.
[9] AH. Ali, “The Islamic Banking Cultural”, New Horizon, 83 Januari , 11-13, 1999.
[10] Bambang Rianto Rustam, Manajemen Risiko Perbankan Syariah Di Indonesia , [Jakarta : Salemba Empat, 2013], h. 422.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar