INPLEMENTASI PRINSIF GOOD
CORPORATE GOVERNANCE DALAM PRAKTIK PERBANKAN SYARIAH
Literatur ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada
Mata Kuliah Manajemen Dana Syariah Kelompok 4 Program
Study Ekonomi Syariah Semester 7 Jurusan Syariah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Watampone
Oleh:
ATIRNAWATI
01133114
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
WATAMPONE
2017
KATA
PENGANTAR
Puji syukur dipanjatkan kehadirat Allah SWT,
karena berkat limpahan rahmat, taufik, hidayah dan inayah-Nyalah sehingga dapat
menyelesaikan makalah ini yang tepat pada waktu yang telah di tentukan. Shalawat serta salam senantiasa kita haturkan kepada junjungan kita
Nabi Muhammad SAW, beserta keluarga dan para sahabatnya yang senantiasa
berjuang menegakkan ajaran islam dimuka bumi ini.
Penulis banyak berterimah kasih kepada dosen yang telah memberikan
arahan dan didikannya sehingga makalah ini dapat terselesaikan. Namun demikian, penulis sadar bahwa dalam
penyusunan makalah ini masih terdapat kekurangan-kekurangan, sehingga penulis
mengaharapkan kritik dan saran dari pembaca demi kesempurnaan makalah
selanjutnya.
Demikian, mudah-mudahan makalah ini bermanfaat bagi pembaca. Amin
Wassalamualaikum wr. wb
Watampone, 10 Januari 2017
Penulis
LATAR
BELAKANG
Secara
praktis, isu penerapan tata kelola perusahaan yang baik atau good corporate
governance (GCG) mulai muncul ke permukaan ketika Amerika Serikat harus
melakukan restrukturisasi corporate governance sebagai akibat market
crash pada tahun 1929. Pada awal tahun 2000-an, mata dunia seakan
terbelalak ketika perusahaan-perusahaan besar di dunia seperti Enron, Worldcom,
Tyco, Merck, Global Crossing, Xerox, dan lain-lain, terjerat dalam kasus
skandal keuangan yang menyebabkan mereka gulung tikar (collapse).
Baru-baru ini kita dikagetkan juga dengan skandal yang terkait dengan transaksi
syariah, yaitu: sukuk oleh Dubai World, perusahaan ini merupakan perusahaan
milik Pemerintah Dubai yang bergerak dalam berbagai bidang infrastruktur, salah
satunya adalah Nakheel. Proyek property Nakheel yang terkenal adalah The Palm
Island, perumahan yang berada di tengah laut berbentuk pohon kurma. Sumber
pendanaannya antara lain dengan menggunakan sukuk. Nilai sukuk yang ditunda
pembayaran pokoknya adalah sebesar 3,52 miliar USD. Tanggal jatuh temponya
adalah tanggal 14 Desember 2009, diusulkan ditunda hingga 30 Mei 2010.
Penundaan ini tentunya memberikan efek negatif bagi pemegang sukuk tersebut
yang sangat membutuhkan likuiditas. Hal ini menyebabkan jatuhnya harga sukuk
tersebut hingga -31,11% (menjadi 62) dalam satu hari pada tanggal 26 November
2009. Masalah sukuk Nakheel pada dasarnya mulai muncul pada bulan Juli 2009
ketika Nakheel mengajukan revisi struktur sukuk sebesar 750 juta US dollar.
Hal ini
sekaligus semakin menguatkan akan pentingnya penerapan GCG, termasuk di
institusi keuangan islam.
Buruknya
praktik corporate governance, adanya manipulasi informasi, kurangnya
transparansi dan akuntabilitas inilah yang diduga sebagai penyebab terjadinya
berbagai krisis, termasuk krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia pada tahun
1997 hingga saat ini.
Di sisi
lain, pentingnya penerapan GCG juga didukung oleh latar belakang teoretis
akibat dianutnya konsep entity theory yang melahirkan permasalahan
keagenan (agency problem). Dalam konsep entity theory terjadi
pemisahan antara pemilik (prinsipal) dengan manajemen (agen). Pemisahan ini
mendorong terjadinya konflik kepentingan antara prinsipal dengan agen. Jensen
dan Meckling (1976) berpendapat bahwa baik prinsipal maupun agen sama-sama
mempunyai kepentingan untuk memaksimumkan kesejahteraannya sehingga ada
kecenderungan agen mendahulukan kepentingan pribadi (self interest)
daripada kepentingan prinsipal. Benturan kepentingan tersebut mengakibatkan
konflik antara agen dengan prinsipal atau yang biasa disebut dengan pemasalahan
keagenan (agency problem). Pemasalahan ini terjadi karena adanya
informasi asimetri antara agen dengan prinsipal. Dalam hal ini, agen dipandang
sebagai pihak yang lebih banyak mengetahui informasi mengenai perusahaan
daripada prinsipal, termasuk dalam hal pelaporan keuangan yang merupakan salah
satu bagian dari pengelolaan perusahaan. Sehubungan dengan hal tersebut,
penerapan GCG sangat penting dilakukan untuk mengurangi permasalah ini.
A.
Pengertian
good corporate governance
CG yaitu isu yang relatif baru dalam dunia manajemen bisnis. Secara
umum CG terkait dengan sistem dan mekanisme hubungan yang mengatur dan
menciptakan insentif yang pas di antara para pihak yang mempunyai kepentingan
pada suatu perusahaan agar perusahaan di maksud dapat mencapai tujuan tujuan
usahanya. Secara formal CG dapat di artikan sebagai sitem hak, proses dan
kontrol secara keseluruhan yang di tetapkan secara internal dan eksternal atas
manajemen sebuah entitas bisnis dengan tujuan untuk melindungi
kepentingan-kepentingan semua stakeholders.[1]
Dalam literatur lain di sebut bahwa good corporate governance (GCG)
berarti suatu proses dan struktur yang
di gunakan untuk mengarahkan dan mengelola bisnis akuntabilitas perusahaan
dengan tujuan utama mempertinggi nilai saham dalam jangka panjang dengan tetap
memperhatikan kepentingan stakeholders lain.[2]
Dari sudut pandang CG perbankan syariah menunjukkan sejumlah segi
yang menarik karena aransemen partsipasi ekuitas, risisko dan profit and loss
sharing menjdi basis pembiayaan (pemberian kredit) yang islami.[3]
Governance pada lembaga keuangan khususnya bank memiliki keunikan
tersendiri di bandingkan dengan governance pada lembaga keungan non bank. Hal
ini lebih di sebabkan oleh kehadiran deposan sebagai suatu kelompok
stakeholders yang berkepentingan harus di akomodir dan di jaga. Namun
keberadaan deposan pada perbankan konvensional tidaklah terlalu banyak
mempengaruhi stuktur governance bank. Sedangkan menurut para ahli
mendefinisiskan GCG yaitu:
Beberapa
negara mendefinisikannya dengan pengertian yang agak mirip walaupun ada sedikit
perbedaan istilah. Kelompok negara maju (OECD), umpamanya mendefinisikan GCG
sebagai cara-cara manajemen perusahaan bertanggung jawab pada shareholder-nya.
Para pengambil keputusan di perusahaan haruslah dapat dipertanggungjawabkan,
dan keputusan tersebut mampu memberikan nilai tambah bagi shareholders
lainnya. Karena itu fokus utama di sini terkait dengan proses pengambilan
keputusan dari perusahaan yang mengandung nilai-nilai transparency,
responsibility,
accountability,
dan tentu saja fairness.
Sementara itu, ADB (Asian Development Bank)
menjelaskan bahwa GCG mengandung empat nilai utama yaitu: Accountability,
Transparency,
Predictability
dan Participation.
Pengertian lain datang dari Finance Committee on Corporate Governance Malaysia.
Menurut lembaga tersebut GCG merupakan suatu proses serta struktur yang
digunakan untuk mengarahkan sekaligus mengelola bisnis dan urusan perusahaan ke
arah peningkatan pertumbuhan bisnis dan akuntabilitas perusahaan. Adapun tujuan
akhirnya adalah menaikkan nilai saham dalam jangka panjang tetapi tetap
memperhatikan berbagai kepentingan para stakeholder lainnya.
Lantas bagaimana dengan definisi GCG di
Indonesia? Di tanah air, secara harfiah, governance kerap diterjemahkan
sebagai “pengaturan.” Adapun dalam konteks GCG, governance sering juga disebut
“tata pamong”, atau penadbiran – yang terakhir ini, bagi orang awam masih
terdengar janggal di telinga. Maklum, istilah itu berasal dari Melayu. Namun
tampaknya secara umum di kalangan pebisnis, istilah GCG diartikan tata kelola
perusahaan, meskipun masih rancu dengan terminologi manajemen. Masih diperlukan
kajian untuk mencari istilah yang tepat dalam bahasan Indonesia yang benar.
B.
Prinsif-prinsif
good corporate gevernance
1.
Hak
hak para pemegan saham (shareholders) dan perlindungannnya.
2.
Peran
para karyawan dan pihak pihak yang berkepentingan (stakeholders) lainnya.
3.
Pengunkapan
(disclausere) yang akurat dan tepat waktu serata transparansi sehubungan dengan
struktur dan operasi koperasi.
4.
Tanggung
jawab dewan ( maksudnya dewan komisaris dan dewan direksi) terhadap perusahaan,
pemegan saham, dan pihak-pihak yang berkepentingan lainnya.[4]
Secara
ringkas prinsif tersebut dapat di rangkum sebagai berikut:
a.
Fairness
(kewajiban)
b.
Disclousure
transparancy (transparansi)
c.
Accauntability
(akuntabilitas)
d.
Responsibility
(responsibilitas)
Sedangkan
dalam surat keputusan Mentri BUMN No. 117 / M-MBU / 2002, mengemukakan beberapa
prinsif GCG, yaitu sebagai berikut:
1.
Transparansi
(transparancy)
Keterbukaan
dalam melaksanakan proses pengambilan keputusan dan mengemukakan informasi
materil yang relevan mengenai perusahaan.
Langkah-langkah yang
dapat ditempuh untuk menerapkan prinsip tersebut antara lain sebagai berikut:
- Mengembangkan sistem akuntansi berdasarkan pada Accounting Standard (standar akuntansi) dan Best Practices untuk memastikan kualitas laporan keuangan dan pengungkapannya.
- Mengembangkan IT dan MIS untuk memastikan pengukur kinerja yang sesuai dan proses pengambilan keputusan yang efektif oleh direksi dan manajemen.
- Mengembangkan Enterprise Wide Risk Management untuk memastikan bahwa seluruh resiko yang signifikan telah diidentifikasi, terukur, dan dapat dikelola pada tingkat yang telah ditentukan.
- Mengumumkan kepada publik untuk lowongan pekerjaan.
2.
Pengunkapan
(discesure)
Penyajian
informasi kepada stakeholders baik di minta mengenai hal-hal yang berkenaan
dengan kinerja operasional, keuangan dan risiko usaha perusahaan.
3.
Kemandirian
(independence)
Suatu
keadaan perusahaan di kelolah secara profesinal tampa benturan kepentingan
/tekanan dari pihak manapun tidak sesuai dengan peraturan perundang undangan
yang berlaku dan prinsif-prinsif korporasi yang sehat.
4.
Akuntabilitas
(accauntbility)
Kejelasan
fungsi pelaksanaan dan pertanggungjawaban manajemen perusahaan sehingga
pengeloalaan perusahaan terlaksana secara efektif dan efisien.
- Penerapan prinsip akuntabilitas dapat direalisasikan antara lain melalui cara-cara berikut: Penyiapan laporan keuangan dilakukan secara tepat waktu dan benar.
- Menyusun Komite Audit dan Komite Risiko untuk meningkatkan fungsi pengawasan oleh Dewan Direksi.
- Menyusun dan meredifinisi tugas dan fungsi internal audit sebagai rekan bisnis strategis mendasarkan pada best practices sehingga internal audit tidak hanya melakukan compliance audit namun juga menggunakan pendekatan risk based audit.
- Memelihara pengelolaan kontrak-kontrak secara bertanggungjawab dan menyelesaikan permasalahan yang timbul.
- Menegakkan hukum dengan cara menyusun sistem penghargaan dan penghukuman (reward and punishment system).
- Menggunakan Auditor Eksternal yang berkualitas dan profesional.
5.
Pertanggungjawaban
(responsibility)
Kesesuaian
pengelolaan perusahaaan terhadap peraturan perundang undangan yang berlaku dan
prinsif-prinsif korporasi yang sehat.
- Penyadaran atas adanya responsibility kepada masyarakat atau pihak yang terkait dengan perusahaan, baik secara langsung maupun tidak.
- Menghindari pemanfaatan/penyalahgunaan kekuasaan.
- Bersikap profesional dan memiliki etika.
6.
Kewajaran
(fairnes)
Keadilan
dan kesataraan dalam memenuhi hak-hak stakeholders, yang timbul berdasarkan
perjanjian dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[5]
Prinsip fairness
berkaitan dengan perlakuan yang sama terhadap stakeholders. Penerapan prinsip
ini dapat dilakukan antara lain dengan cara:
- Menerbitkan corporate rules untuk melindungi pemegang saham minoritas.
- Menerbitkan corporate conduct dan compliance policies untuk mencegah terjadinya kecurangan, berbuat untuk kepentingan pribadi dan conflict of interest.
- Menyusun tugas dan kewajiban direksi, dewan komisaris, manajemen dan komite-komite termasuk di dalamnya sistem audit.
- Melakukan pengungkapan atas semua informasi material atau pengungkapan penuh (full disclosure) atas seluruh informasi yang mempengaruhi keberlanjutan perusahaan, misalnya hal-hal yang berkenaan dengan kinerja operasional, keuangan dan risiko usaha perusahaan.
- Memperkenalkan kesempatan kerja yang sama pada semua calon pegawai maupun pegawai tetap yang telah bekerja untuk perusahaan.
C.
Penerapan
Good Corperate Governance dalam LKS
Good corporate governance yang di singkat dengan GCG secara
definitif merupakan sistem yang mengatur dan mengendalikan perusahaan untuk menciptakan
nilai tambah untuk semua stakeholders. Ada dua hal yang di tekankankan dalam
konsep ini:
1.
Pentingnya
hak pemegan saham untuk memperoleh informasi dengan benar dan akurat dan tepat
pada waktunya.
2.
Kewajiban
perusahaan untuk melakukan pengunkapan (disclausere) secara akurat, tepat waktu
dan transparan terhadap semuainformasi kinerja perusahaan kepemilikan dan
stakeholders (YPPMI dan SC 2002).[6]
Keberhasilan penerapan
good corporate
governance juga memiliki prasyarat tersendiri. Terdapat dua faktor yang
memegang peranan, antara lain:
1.Faktor Eksternal Yang
dimaksud faktor eksternal adalah beberapa faktor yang berasal dari luar
perusahaan yang sangat mempengaruhi keberhasilan penerapan good corporate
governance diantaranya: a. Terdapatnya sistem hukum yang baik sehingga mampu
menjamin berlakunya supremasi hukum yang konsisten dan efektif. b.
Dukungan pelaksanaan good corporate governance dari sektor publik/lembaga
pemerintahan yang diharapkan dapat pula melaksanakan good governance dan
clean governance yang sebenarnya.
c. Terdapatnya contoh pelaksanaan good corporate governance yang tepat
(best practices) dapat menjadi standar pelaksanaan good corporate
governance yang efektif dan professional. Dengan kata lain semacam brenchmark (acuan) d. Terbangunnya sistem tata nilai sosial yang mendukung penerapan good
corporate governancedi masyarakat. Ini penting karena melalui sistem ini
diharapkan timbul partisipasi aktif berbagai kalangan masyarakat untuk
mendukung aplikasi serta sosialisasi good corporate governance secara
sukarela. e. Hal lain yang tidak kalah pentingnya sebagai prasyarat
keberhasilan implementasi good corporate governanceterutama di Indonesia adalah
adanya semangat anti korupsi yang berkembang di lingkungan publik dimana
perusahaan beroperasi disertai perbaikan masalah kualitas pendidikan dan
perluasan peluang kerja. Bahkan dapat dikatakan bahwa perbaikan
lingkungan publik sangat mempengaruhi kualitas dan rating perusahaan
dalam implementasi good corporate governance
2. Faktor Internal
Maksud faktor internal adalah pendorong keberhasilan pelaksanan praktek good
corporate governance yang berasal dari dalam perusahaan. Beberapa faktor yang
dimaksud antara lain: a. Terdapatnya budaya perusahaan (corporate culture) yang mendukung penerapan good corporate
governance dalam mekanisme serta sistem kerja manajemen di perusahaan
b. Berbagai peraturan dan kebijakan yang dikeluarkan perusahaan mengacu
pada penerapan nilai-nilai good corporate governance c. Manajemen
pengendalian risiko perusahaan juga didasarkan pada kaidah-kaidah standar good
corporate governance d. Terdapatnya sistem audit (pemeriksaan) yang
efektif dalam perusahaan untuk menghindari setiap penyimpangan yang mungkin
akan terjadi. e. Adanya keterbukaan informasi bagi publik untuk mampu
memahami setiap gerak dan langkah manajemen dalam perusahaan sehingga kalangan
publik dapat memahami dan mengikuti setiap derap langkah perkembangan dan dinamika
perusahaan dari waktu ke waktu.
D.
Struktur
governance.
Korvorate governance dalam sebuah bank islam
Jadi yang pokok dalam kerangka corporate governance untuk sebuah
bank syariah adalah dewan penyeliah bank syariah (DPS) dan kontrol kontrol
internal yang mendukunnya. DPS penting karena dua alasan. Pertama mereka yang
berurusan dengan bank syariah memerlukan jaminan bahwa bank itu melakukan
transaksi sesuai dengan hukum islam. Seandainya DPS melaporkanbahwa manajemen
bank telah melanggar syariat, maka bank tersebut akan cepat kehilangna
kepercayaan dari mayoritas investor dan nasabahnya. Kedua, sebagai ulama
berpendapat bahwa perinsip prinsif agama syariah yang tegas akan bertinfdak
sebagai imbangan terhadap problem-problem insentif yang telah di uraikan
sebelumnya.[7]
E.
Governance
Dalam Bank Komvensional Dan Bank Syariah
1.
Governance
dalam bank konvensional
Paling
tidak ada empat kelompok stakeholders lansung yang dapat diidentifikasi dalam
sebuah bank:[8]
·
Pemegan
saham /pemilik utang yang si subordinasi
·
Deposan
atau kreditur
·
Manajeman
·
Agen-agen
asuransipemerintah/badan badan penyedia
2.
Governance
dalam bank syariah.
Dalam perbankan syariah persoalan governance sangat berbeda dengan
governance dalam bank konvenional karena perbankan syariah mempunyai kewajiban
untuk mentaati seperangkat peraturan yang berbeda-beda yaitu hukum syariah dan
pada umumnya mengikuti harapan kaum muslimin dengan memberikan modal mitraan
berdasarkan aransemen profit and loss
sharing (PLS) atau cara-cara emiayaan lainnya yang di benarkan oleh syariat.
Metode profit loss and sharing ini, sebaliknya menarapkan hubungan-hubungan
stakeholders yang berbeda dengan hubungan dalam pinjaman berbasis bunga.
Para Stakeholders Konci Dalam Sebuah Bank Islam
|
|
|||
Pada gambar di atas menunjukkan para stakeholders yang memegan
posisi kunci dalam sebuah bank silam. Pertama, dan terutama sebuah organisasi
syariah harus melayani Allah dan mengembangkan budaya koperasi yang berbeda.
Kedua, menyusul kewajiabna ini, bank harus memberikan dan mendesain instrumen
dan produk-produk keuangan yang di benarkan syariat. Dalam kedua aspek itulah
konsep ‘pelayanan’ sangat bermamfaat untuk memehami perilaku mereka yang
terlibat dalam organisasi. Konsep ‘amanah’ [ trus (kepercayaan) ] dalam syariah
menunjukkan bahwa harta adalah milik Allah dan manusia, secara individu atau
kolektif adalah penjaganya.[9]
Penerapan Good
Corporate Governance di lembaga perbankan syari’ah menjadi sebuah keniscayaan
yang tak terbantahkan. Bahkan bank-bank syariah harus tampil sebagai pionir
terdepan dalam mengimplementasikan GCG tersebut. Dalam kerangka itulah IFSB
(Islamic Financial Service Board), sebuah Badan penetapan standart
internasional untuk regulasi lembaga keuangan Islam yang berpusat di Kuala
Lumpur, baru-baru ini mengekspose draft GCG untuk Lembaga keuangan Syariah.
Rencananya, draft tersebut akan disahkan pada bulan November mendatang. Jika
draft GCG tersebut disahkan, maka ia akan menjadi pedoman pelaksanaan tata
kelola perusahaan lembaga keuangan syariah di semua negara. Sebelum disahkan,
IFSB mengharapkan masukan dari para akademisi dan preaktisi ekonomi Islam di
seluruh dunia. Kini draft tersebut sudah diekspose di tiga negara, Inggris
(london), Lebanon (Beirut), dan di Indonesia (Jakarta)
Perbedaan GCG syariah
dan konvensional terletak pada syariah compliance yaitu kepatuhan pada syariah.
Sedangkan prinsip-prinsip transparansi, kejujuran, kehati-hatian, kedisiplinan
merupakan prinsip universal yang juga terdapat dalam aturan GCG konvensional. Tulisan
ini bermaksud menggali dan menyajikan bagaimana prinsip-prinsip GCG dalam Islam
dan bagaimana penerapannya di bank-bank syariah di Indonesia.
Corporate Governance dalam Islam dan OECD Prinsiples – Suatu Perbandingan
Basis perbedaan
|
Prinsip OECD
|
Prinsip Islam
|
Otoritas
|
Direktur mempunyai kewenangan dalam pengambilan keputusan berdasarkan
prinsip-prinsip OECD
|
Kekuasaan tunggal hanya untuk Allah Yang Maha Kuasa. Semua keputusan
dibuat berdasarkan prinsip syariah sebagai hukum sumber otoritas.
|
Pengambilan Keputusan
|
Pengambilan keputusan disandarkan pada CEO dan manajemen senior. Voting
hanya diperlukan untuk memilih Dewan Komisaris dan beberapa keputusan.
|
Setiap keputusan diambil dengan konsultasi dan konsensus masing-masing stakeholders.
|
Sasaran
|
Maksimisasi profit dan nilai pemegang saham
|
Persamaan, persamaan distribusi kekayaan, perhatian untuk seluruh
komunitas.
|
Akuntabilitas
|
Manajemen senior akuntabel terhadap pemegang saham
|
Akuntabilitas tidak hanya kepada pemegang saham tetapi juga terhadap
Allah Yang Maha Kuasa.
|
Etika
|
Transparansi, akuntabilias, dan pengungkapan.
|
Keadilan, persamaan, kebenaran, perlindungan untuk minoritas,
akuntabilitas yang lebih luas, pengungkapan baik tertulis maupun lisan.
|
Aplikasi
|
Prinsip-prinsip tidak diterapkan dengan sama untuk seluruh dunia.
|
Diterapkan dengan sama untuk seluruh dunia.
|
F. Mewaspadai Moral
Hazard dan Bentuk Moral Hazard
1. Mewaspadai moral hazard
Bahwa praktek moral hazard sudah menjadi kebiasaan di lembaga-lembaga perbankan.
Kita sering mendengar berita korupsi di berbagai lembaga perbankan, baik bank
BUMN maupun bank swasta. Berbagai kejadian korupsi tersebut, harus menjadi
perhatian serius bagi para steakholders bank syari’ah, baik pemilik/ pemegang
saham, komisaris, direksi, karyawan (kru,) Dewan Pengawas Syari’ah, nasabah dan
para akademisi ekonomi syari’ah lainnya.
Hal ini perlu menjadi perhatian penting, sebab saat ini lembaga perbankan
syari’ah sedang menjadi idola dan berkembang sangat pesat di tanah air. Saat
ini ada 29 Bank yang telah beroperasi secara syari’ah dan memiliki lebih dari
620 kantor di seluruh Indonesia. Di masa depan, kemungkinan terjadinya korupsi
dan penyimpangan di bank syari’ah merupakan hal tidak mustahil, meskipun di
situ ada Dewan Pengawas Syari’ah, karena para pelakunya bukan malaikat. Apalagi
sekarang ini perbankan syari’ah semakin banyak, maka para bankir syari’ah pun
semakin bertambah banyak pula. Sehubungan dengan itu para jajaran eksekutif dan
pejabat bank, bahkan termasuk komisaris harus ekstra hati-hati dalam mengelola
lembaga perbankan syariah yang selalu dinilai “suci” , karena berasal dari
prinsip ilahiyah.
Harus dimaklumi, bahwa
simbol agama tidak menjamin sebuah lembaga menjadi bersih dari perilaku
korupsi. Karena oknum seringkali tergoda oleh harta dunia. Departemen Agama
misalnya saat ini sedang diincar oleh tim BPK sehubungan dengan dugaan adanya
penyimpangan di bidang urusan haji.
Sebelum terjadinya
kasus yang bisa mencoreng lembaga syariah , maka sejak dini perlu diingatkan
kepada pihak-pihak terkait agar berkomitmen menjauhi setiap penyimpangan di
bank syari’ah.
2. Bentuk moral hazad
Dalam konteks ini,
Dhani Gunawan, peneliti senior Bank Indonesia, menyatakan bahwa korupsi di
lembaga perbankan pada umumnya dapat menjelma dalam tiga bentuk. Pertama,
bentuk langsung, Kedua, tidak langsung dan Ketiga, samar-samar (fuzzy). Bentuk
korupsi langsung adalah pencurian uang pada bank oleh oknum individu atau
kelompok dengan cara memanipulasi laporan keuangan, manipulasi dokumen dana
bank atau dana nasabah, juga bisa dalam bentuk memark-up pembelian barang atau
inventaris.
Korupsi tidak langsung
dapat berwujud dalam nepotisme tender barang atau jasa kepada sanak keluarga,
sehingga bank dapat menjadi rugi, karena kualitas barang/jasa yang rendah. Atau
oknum bankir mendapat komisi, atau sukses fee dari rekanan bank yang tidak
dibukukan sebagai laba bank. Dana yang tak dibukukan ini diistilahkan dengan
“dana taktis”. Keberadaan dana taktis ini merupakan bibit awal korupsi, bibit
awal rekayasa giant mark-up, karena dana taktis itu berasal dari anggaran bank
yang kemudian berubah menjadi dana kepentingan pribadi atau oknum.
Bentuk korupsi lainnya
ialah seperti nepotisme penyaluran kredit yang mengurangi potensi pendatapan
bank, nepotisme penerimaan pegawai atau promosi pegawai. Hal ini dapat
menzalimi orang lain yang lebih baik, berkualitas dan lebih berhak. Sedangkan
korupsi samar-samar merupakan bentuk yang paling potensial sering terjadi,
karena berada di area abu-abu yang mudah disembunyikan, seperti komisaris atau
direksi yang menggunakan mobil dinas mewah yang kemudian setelah penyusutan
lalu dibeli menjadi miliknya dengan harga di bawah pasar. Contoh berikutnya
adalah menggunakan fasilitas asuransi jabatan yang berlebihan, mendapatkan bonus
yang melebihi batas kewajaran, mendapatkan pendapatan tambahan yang ditutupi
dengan label success fee, atau pegawai yang sering mankir darin tugas dengan
berbagai alasan.
Semua bentuk korupsi,
baik langsung, tidak langsung maupun samar-samar adalah korupsi yang harus
diberantas dengan aturan GCG (Good Corporate Governance) yang jelas. Karena
itu, lembaga pengawasan, lembaga audit, dan masyarakat, harus tetap kritis
terhadap bank syari’ah. Jangan terpana dengan label syari’ah, karena bisa saja
lembaga memakai label syari’ah tetapi prakteknya tidak sepenuhnya syari’ah. Dalam
konteks penerapan GCG di bank syari’ah, para bankir syari’ah, harus benar-benar
merujuk kepada prinsip-prinsip dan nilai-nilai ekonomi dan bisnis Islam yang
telah diterapkan oleh Rasulullah. Kalau tidak, jangan menjadi praktisi bankir
syari’ah karena dikhawatirkan mereka hanya akan merusak citra “kesucian”
syari’ah di masa yang akan datang. Nabi Muhammad adalah pelopor penegakan moral
dalam setiap aspek kehidupan. Ia bersabda, “Sesungguhnya aku diutus untuk
menyempurnakan akhlak”. Prinsip-prinsip dan nilai-nilai bisnis yang diajarkan
dan dipraktekan Nabi Muhammad Saw tersebut sangat identik dengan spirit GCG
yang dikembangkan saat ini.
F.
Penilaian
Pelaksanaan GCG
Sistem penilaian terhadap pelaksanaan tata kelolah perusahaan yang
baik atau bahasa asingnya di singkat menjadi GCG merupakan suatu syarat yang
harus di penuhi dan di laksanakan oleh instansi BUS. Hal itu perlu dilakukan
untuk mengantisipasi risiko-risiko yang munkin akan membawa dampak buruk bagi
instansi tersebut. Metode GCG di terapkan sebagai indikator bahwa instansi yang
menerapkan metode tersebut dapat dikatakan sebagai instansi yang baik dan sehat
dari segi pengolahan. Oleh karena itu, metode tersebut diterapkan oleh beberapa
instansi sebagai berikut.
Bank umum syariah, bank umum syariah wajib melakukan self assesment
atas pelaksanaan GCG pada BUS dilakukan terhadap sebelas faktor, yaitu sebagai
berikut.
· Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab dewan komisaris
· Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab direksi
· Kelengkapan dan tugas komite
· Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab DPS
· Pelaksanaan prinsif syariah dalam kegiatan penghimpunan dana dan
penyaluran dana serta jasa bank
· Penanggung komflik kepentingan
· Penerapan fungsi kepatuhan
· Penerapan fungsi audit internal
· Penerapan fungsi audit eksternal
· Batas maksimun penyaluran dana
· Transparansi kondisi keuangan dan nonkeuangan BUS, laporan
pelaksana GCG serta pelaporan internal[10]
Sedangkan penilaian atas pelaksanaan GCG pada UUS dilakukan
terhadap lima faktor sebagai berikut:
1.
Pelaksanaan
dan tangggung jawab direktur UUS
2.
Pelaksanaan
tugas dan tanggungjawab DPS
3.
Pelaksanaan
prinsif syariah dalam kegiatan penghimpunanan dana dan penyaluran dana serta
jasa bank
4.
Penyaluran
dana kepada nasabah embiayaan inti penyimpanan dana oleh deposan
5.
Transparasi
kondisi keuangan dan non keuangan UUS, laporan pelaksanaan GCG serta pelaporan
internal.
DAFTAR PUSTAKA
Latifa M.
Algauod Mervin K Lewis, Islamic Banking, Massachussetts: Edward Elgar,
2001.
Manajemen bank
syariah , Muhammad, ed 1 cet 3 [yokyakarta: sekolah tinggi ilmu
manajemen YKPN, 2011]
Nadem Ul Haque dan Abbas Mirakor , Perjanjian Bagi Hasil Yang
Optimal Dan Investasi Dalam Perekonomian Bebas Bunga,[ IMF Working Paper,
No. 12 Washintong DC: Internasional Monetary Fund. 1986]
Abdul Ghofur Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia [
Cet.2, Yokyakarta: Gadja Mada Universiti Press, 2009 ]
AH. Ali, “The Islamic Banking Cultural”, New Horizon, 83
Januari , 1999.
Bambang Rianto
Rustam, Manajemen Risiko Perbankan Syariah Di Indonesia ,
[Jakarta : Salemba Empat, 2013]
K Lanno, Corporate
Governance In Eropa [CEPS, Working Party Report No. 12 Sentrefor European
Studies Brussel, 1995.
Kuat Ismanto, Manajemen Syariah [ cet.1 Yokyakarta: Pustaka
Pelajar, 2009]
Nana Hardiana
Abdulrahman, Manajemen Bisnis Syariah
Dan Kewirausahan , [ cet.1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2013]
Neni Sri
Imaniyati, Perbankan Syriah Dam Perspektif Hukum Eknomi, [ Cet.1,
Bandung: Mandar Maju, 2013]
[1] K Lanno, Corporate
Governance In Eropa [CEPS, Working Party Report No. 12 Sentrefor European
Studies Brussel, 1995.
[2] Abdul Ghofur
Anshori, Perbankan Syariah Di Indonesia [ Cet.2, Yokyakarta: Gadja Mada
Universiti Press, 2009 ] H.179.
[3] Manajemen bank
syariah , Muhammad, ed 1 cet 3 [yokyakarta: sekolah tinggi ilmu
manajemen YKPN, 2011], h. 404.
[4] Neni Sri
Imaniyati, Perbankan Syriah Dam Perspektif Hukum Eknomi, [ Cet.1, Bandung:
Mandar Maju, 2013] H. 147.
[5]Nana Hardiana
Abdulrahman, Manajemen Bisnis Syariah
Dan Kewirausahan , [ cet.1, Bandung: CV Pustaka Setia, 2013], h.283.
[6] Kuat Ismanto, Manajemen
Syariah [ cet.1 Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 2009], h. 262.
[7] Nadem Ul Haque
dan Abbas Mirakor , Perjanjian Bagi Hasil Yang Optimal Dan Investasi Dalam
Perekonomian Bebas Bunga,[ IMF Working Paper, No. 12 Washintong DC:
Internasional Monetary Fund. 1986]
[8] Latifa M.
Algauod Mervin K Lewis, Islamic Banking, Massachussetts: Edward Elgar,
2001.
[9] AH. Ali, “The
Islamic Banking Cultural”, New Horizon, 83 Januari , 11-13, 1999.
[10] Bambang Rianto
Rustam, Manajemen Risiko Perbankan Syariah Di Indonesia ,
[Jakarta : Salemba Empat, 2013], h. 422.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar