MEKANISME PEMBAGIAN NISBAH ( PROFIT LOSS AND SHARING) PADA AKAD
MUDHARABAH
Literatur ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada
Mata Kuliah Manajemen Dana Syariah Kelompok 4 Program
Study Ekonomi Syariah Semester 7 Jurusan Syariah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Watampone
Oleh:
RISMA YANI
01133109
SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
WATAMPONE
2017
KATA
PENGANTAR
Puji syukur tak
henti-hentinya kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat
serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang
alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Mekanisme Pembagian Nisbah ( Profit Loss And Sharing) Pada Akad
Mudharabah”.
Kami
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses
pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa Makalah yang kami susun ini masih jauh
dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang
bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami ini.
Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan
serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT
senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.
Watampone,
14 Januari 2017
Penyusun
Latar Belakang
Akad mudharabah
merupakan salah satu produk pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan
syari’ah. Seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan
Syari’ah (selanjutnya disebut UUPS). Pasal19 UUPS menyebutkan, bahwa salah satu
akad pembiayaan yang ada dalam perbankan syari’ah adalah akad mudharabah.
Selain itu bank Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia(PBI)Nomor,10/16/PBI/2008
Tentang Prinsip Syari’ah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana
Serta Pelayanan Jasa
Bank Syari’ah, juga
menyebutkan mudharabah adalah salah satu akad pembiayaan yang ada didalam
perbankan syari’ah. Akad Mudharabah adalah akad antara pemilik modal
dengan pengelola modal, dengan ketentuan bahwa keuntungan diperoleh dua belah
pihak sesuai dengan kesepakatan. Didalam pembiayaan mudharabah pemilik dana
(Shahibul Maal) membiayai sepenuhnya suatu usaha tertentu. Sedangkan nasabah
bertindak sebagai pengelola usaha (Mudharib). Pada prinsipnya akad mudharabah
diperbolehkan dalam agama Islam, karena untuk saling membantu antara pemilik
modal dengan seorang yang pakar dalam mengelola uang. Dalam sejarah Islam
banyak pemilik modal yang tidak memiliki keahlian dalam mengelola
uangnya. Sementara itu banyak pula para pakar dalam perdagangan yang tidak
memiliki modal untuk berdagang. Oleh karena itu, atas dasar saling tolong
menolong, Islam memberikan kesempatan untuk saling berkerja sama antara pemilik
modal dengan orang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu.
Akad Mudharabah Syariah Akad mudharabah berbeda dengan akad pembiayaan yang ada
pada perbankan pada umumnya (perbankan konvensional). Perbankan
konvensional pada umumya menawarkan pembiayaan dengan menentukan suku bunga
tertentu dan pengembalian modal yang telah digunakan mudharib dalam
jangka waktu tertentu. Namun Akad mudharabah tidak menentukan suku bunga
tertentu pada mudharib yang menggunakan pembiayaan mudharabah, melainkan
mewajibkan mudharib memberikan bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh
mudharib.
A.
Pengertian
Mudharabah
Muharabah bisa disebut dengan al-qiradh yang berarti potongan
(al-qiradh), karena pemilik modal memotong apabila hartanya untuk
diperdagangkan dengan sebagian keuntungannya. Istilah mudharabah di populerkan
ulama iraq, sedangkan qiradh oleh ulama hijaz, namun tidak ada perbedaan
prinsip antara kedua istilah tersebut.
Dalam bahasa sederhana, mudharabah merupakan akad kerjasama
antara dua pihak, satu pihak memberikan modal kepada lainnya untuk berniaga.
Kemudian keuntungan dibagi antara mereka sesuai dengan yang telah disepakati.
Dan adapun menurut mazhab maliki Mudharabah adalah penyerahan uang
di muka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seseorang
yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari
keuntungannya.[1]
Afzalur Rahman mendifinisikan mudharabah sebagai bentuk
kontrak kerjasama yang di dasarkan pada prinsip profit sharing,yang satu
sebagai pmilikmodal dan yang kedua menjalankan usaha. Modal yang dimaksud
disini harus berupa uang dan tidak boleh berbentuk barang.[2]
Adapun jenis-jenis mudharabah yaitu :
a.
Mudharabah
muqayyadah adalah shahibul mal membatasi kepada mudharib
dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat uasaha.
b.
Mudharabah
Muthlaqah adalah bentuk
kerja antara shahibul mal dan mudharib yang cakupanya sanat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi
jens usaha, waktu, dan daerah bisnis.
Tabungan Mudharabah dipergunakan oleh bank dalam mengelola jasa
simpanan dari nasabah yang ingin menitipkan dananya untuk tujuan-tujuan
tetentu. Tujuan yang dimaksud biasanya berkaitan dengan hajat beribadah yang diibutuhkan
dana besar dan tidak terjangkau, seperti ibadah qurban, ibadah haji, atau
pendidikan.
Atas dasar tujuan tersebut, tabungan Mudharabah sering
disebut jenis tabungan berjangka (targeted saving). Berbeda dengan
wadi’ah yang bersifat tabungan biasa. Adapun Prakttik produk tabugan dengan
akad mudharabah dapat dijelaskan :
·
Rekening
dapat dimiliki oleh perorangan, bersama (dua orang atau lebih), organisasi yang
tidak berbadan hukum, perwakilan, seta rekening jaminan.
·
Tabungan
dengan akad mudharabah dipraktikkan dalam bentuk targeted saving,
yaitu tabungan yang dimakasudkan untuk suatu pencapaian target kebutuhan dalam
jumlah dan atau jangka waktu tertentu.
Deposito mudharabah merupakan dana investasi yang
ditempatkan oleh nasabah yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan
penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu, sesuai dengan akad
perjanjian yang dilakukan antara bank dan nasabah investor. Deposito, mudah
diprediksi ketersediaan dananya karena terdapat
jangka waktu dalam penempatannya. Sifat deposito yaitu penarikannya
hanya dapat dilakukan sesuai jangka waktunya, sehingga pada waktunya, sehingga
pada umumnya balas jasa yang berupa nisbah bagi bagi hasil yang diberikan oleh
bank untuk deposito lebih tinggi dibanding tabungan mudharabah.[3]
Adapun landasan hukum mudharabah secara syariah dalam
undang-undang nomor 10 tahun 1998
tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan.
Ditahun 2008, secara khusus mengenai deposito dalam bank syariah diatur melalui
undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah. Selain itu
berdasarkan pada fatwa DSN-MUI ini deposito yang dibenarkan secara syariah
adalah yang berdasarkan prinsip mudharabah dengan ketentuan-ketentuan
berikut :
a)
Dalam
transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan
bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
b)
Dalam
kapasitasnya sebagai mudharib,
c)
Modal
harus dinyatakan dengan jumlahnya.
d)
Pembagian
keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad
pembukan rekening.
e)
Bank
sebagai mudharib menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan nisbah
keuntungan yang menjadi haknya.
f)
Bank
tidak diperkenakan untuk mengurangi nisbah keuntungan.
Implementasi prinsip mudharabah dalam produk deposito perbankan
syariah menggunakan skema mudharabah. Al ini sejalan dengan tujuan dari nasabah
menggunakan instrumen deposito yakni sebagai sarana investasi dalam upaya
memperoleh kntungan. Sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No.10/16
/PBI/2008. Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam deposito atas dasar akad mudharabah
berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a.
Bank
bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dan nasabah bertindak sebagai
pemilik dana (shahibul maal)
b.
Pengelolaan
dana oleh ban dapat di lakukan sesuai batasan-batasan yang ditetapkan oleh
pemilik dana (mudharabah muqayyadah) atau dilakukan dengan tanpa
batasan-batasan daripemilik dana)
c.
Bank
wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk.
d.
Bank
dan nasabah wajib menuankan kesepakatan atas pembukaan dan penggunaan produk.
e.
Dalam
akad mudharabah muqayyadah harus dinyatakan secara jelas syarat-syarat dan
batasan tertentu yang ditentukan oleh nasabah.[4]
B. Perkembangan Pembiayaan Mudharabah pada Bank Syariah
Dalam
sejarah perbankan nasional, indonesia pernah mengalami krisis perbankan. Dalam
waktu singkat, dari bulan juli 1997 sampai sampai dengan 13maret 1999,
pemerintah telah menutup tidak kurang dari 55 bank. Selain itu pemerintah telah
mengambil alih 11 bank (Bank Take Over). Selanjutnya pemerintah
melakukan rekapitulasi terhadap sembilan bank lainnya, dan semua bank BUMN
serta BPD harus ikut direkapilitasi. Dari 240 bank sebelum krisis moneter kini
hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah.
Biaya restrukturisasidan penyehatan perbankan indonesia akan sangat mahal. Ada
kemungkinan sebagian besar biaya peyelamatan perbankan tersebut akan ditanggung
rakyat melalui aset. Akibat kerugian usaha selama bulan maret hingga april 2001
beberapa bank gulung tikar, untuk menanmenanggulangi bank-bank yang bermasalah
melalui perbankan indonesia berada dalam keadaan yang mengkhawatirkan justru
pada saat perbankan negara lain mulai
bangkit dari krisis.
Di saat
perekonomian nasional mengalami krisis dan dunia perbankan belum tampak akan
pulih, perbankan islamm menunjukkan enomena baru yang berkembangannya telah
mengejutkan para pengamat perbankan konvesional maupun kalangan perbankan
konvensional. [5]
Mudharabah adalah transaksi penanaman dana dari pemilik dana kepada
pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu sesuia syariah dengan
pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang teah
disepaki sebulumnya. Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas
dasar akad mudharabah berlaku persyaratan setindaknya sebagai berikut :
·
Bank
bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan dana dengan
fungsi sebagai modal kerja, dan nasabah bertindak sebagai pengelola dana
(mudharib) dalam kegiatan usahanya.
·
Bank
memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah walaupun tidak ikut
serta dalam pengelolaan usaha nasabah, yaitu bank dapat melakukan kaji ulang
dan meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha nasabah berdasarkan pada bukti
pendukung yang dapat dipertanggung jawabkan.
·
Bank
wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas
dasar akad mudharabah serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam
ketentuan BI mengenai transparasi informasi produk bank dan penggunaan data
pribadi nasabah.[6]
Adapun Rukun Mudharabah :
a)
Ada
pemilik dana.
b)
Ada
usaha yang akan dibagi hasilkan.
c)
Ada
nisbah.
d)
Ada
ijab kabul.
Aplikasi Prinsip Mudharabah :
a.
Tabungan
berjangka.
b.
Deposito
berjangka.[7]
C.
Profit
Sharing
Profit Sharing dalam
kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definitif profit sharingdiartikan
distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan.[8]
Lebihlanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai
tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya,
atau dapat bentuk pembayaran mingguan atau bulanan.
Pada mekanisme bank syariah, pendapatan bagi hasil ini berlaku
untuk produk-produk penyertaan, baik penyertaan menyeluruh maupun sebagian atau
berbentuk bisnib koorporasi (kerjasama). Pihak-pihak yang terlibat dalam
kepentingan bisnis harus melakukan transparansi dan kemitraan secara baik dan
ideal. Sebab semua pengeluaran dan pemasukkan rutin yang berkaitan dengan
bisnis penyertaan, bukan untuk kepentingan pribadi yang menjalankan proyek.
Keuntungan yang dibagi hasilkan harus dibagi secara proposional
antara shahibul mal dengan muudharib. Intinya mekanisme investasi
bagi hasil pada dasarnya adalah terletak pada kerjasama yang baik antara sshahibul
mal dengan mudharib. Kerjasama atau partnership merupakan karakter
dalam masyarakat ekonomi islam. Kerjasama ekonomi harus dilakukan dalam semua
lini kegiatan ekonomi, yaitu :
o Produksi
o Distribusi
o Barang maupun jasa
Salah satu bentuk kerjasama dalam bisnis atau ekonomi islam adalah
qirad atau mudharabah. Qirad atau mudharabah adalah kersama antara pemilik
modal atau uang denan pengusaha milik keahlian atau leterampilan atau tenaga
pelaksanaan unit ekonomi atau proyek usaha. Melalui qirad atau mudharabah kedua
belah pihak yang bermitra tidak akan mendapatkan bunga tetapi mendapatkan bagi
hasil atau profit dan loss sharing dari proyek ekonomi yang
disepakati. Prinsip bagi hasil (profit Sharing) meupakan karakteristik umum dan
landasan dasar bagi operasional bank syariah secara keseluruhan.[9]
Dan dalam pembiayaan ekuiti, islam telah menghalalkan kontrak
musyarakah dan mudharabah (profit and loss sharing)[10]
Mudharabah
(Trustee Profit Sharing) Kontrak mudharabah[11] juga merupakan suatu bentuk
equity financing, tetapi mempunyai bentuk (feature) yang berbeda dari
musyarakah. Pada mudharabah, hubungan kontrak bukan antar pemberi modal,
melainkan antara penyedia dana (shahibul maal) dengan entrepreneur (mudharib).
Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat berupa perorangan, rumah
tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi, termasuk bank) memperoleh modal
dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan. Mudharib dalam
kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut. Jika proyek selesai, mudharib
akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal berikut porsi
keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka seluruh
kerugian dipikul oleh shahibul maal. Sedang mudharib kehilangan keuntungan
(imbalan bagi-hasil) atas kerja yang telah dilakukannya. Bank dan lembaga
keuangan dalam kontrak ini dapat menjadi salah satu pihak. Mereka dapat menjadi
pengelola dana (mudharib) dalam hubungan mereka dengan para penabung dan
investor, atau dapat menjadi penyedia dana (shahibul maal) dalam hubungan
mereka dengan pihak pengguna dana. Ada dua tipe mudharabah, yaitu Mutlaqah
(tidak terikat) dan Muqayyadah (terikat).[12] a) Mudharabah Mutlaqah: pemilik
dana memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola untuk menggunakan dana
tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Pengelola
bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan praktek kebiasaan usaha
normal yang sehat (uruf). b) Mudharabah Muqayyadah: pemilik dana menentukan
syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan
jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya. Pengelola menggunakan modal
tersebut dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, yaitu untuk menghasilkan
keuntungan. b. Prinsip Jual-Beli Pengertian jual-beli meliputi berbagai akad
pertukaran (exchange contract) antara suatu barang dan jasa dalam jumlah
tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah atau harga barang dan
jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash and carry) ataupun secara
tangguh (deferred). Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt
financing) syarat-syarat al bai’ menyangkut berbagai tipe kontrak jual-beli tangguh
(deferred contract of exchange). Dalam hukum ekonomi Islam, telah
diidentifikasi dan diuraikan macam-macam jual-beli, termasuk jenis-jenis
jual-beli yang dilarang oleh Islam. Berdasarkan barang yang dipertukarkan, jual
beli terbagi empat macam;[13]
1)
Bai’ al muthlaqah, yaitu pertukaran antara
barang atau jasa dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar. Jual-beli
semacam ini menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan yang didasar-kan atas
prinsip jual-beli.
2)
Bai’ al muqayyadah, yaitu jual-beli di mana
pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter). Aplikasi jual-beli
semacam ini dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang
tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilakukan
pertukaran barang dangan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi
semacam ini lazim disebut counter trade.
3)
Bai’ al sharf, yaitu jual-beli atau pertukaran
antara satu mata uang asing dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah
dengan dolar, dolar dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing yang
diperjualbelikan itu dapat berupa uang kartal (bank notes) ataupun dalam bentuk
uang giral (telegrafic transfer atau mail transfer). 4) Bai’ as salam adalah
akad jual-beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang
telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu
akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai’ as salam
biasanya dilakukan untuk produk-produk pertanian jangka pendek. Sedangkan
pembagian jual beli berdasarkan harganya terbagi empat macam;[14]
4)
Bai’ al murabahah adalah akad jual-beli barang
tertentu. Dalam transaksi jual-beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas
barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang
diambil.
5)
Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, di
mana penjual tidak memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya.
6)
Bai’ al muwadha’ah yaitu jual-beli di mana
penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar
atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan
untuk barang-barang atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah.
7)
Bai’ al-tauliyah, yaitu jual beli dimana
penjual melakukan penjualan dengan harga yang sama dengan harga pokok barang.
Terdapat bentuk jual-beli lain yang disebut dengan Bai’ al istishna’, yaitu
kontrak jual-beli di mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi
dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang disepakati bersama,
sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian. Di antara
jenis-jenis jual-beli tersebut, yang lazim digunakan sebagai model pembiayaan
syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip bai’ al murabahah, bai’ as- salam
dan bai’ al istishna’. a. Al-Murabahah Murabahah adalah salah satu bentuk
jual-beli yang bersifat amanah. Bentuk jual-beli ini berlandaskan pada sabda
Rasulullah SAW dari Shuhaib ar Rumy r.a.: “Ada tiga hal yang mengandung berkah:
jual beli tidak secara tunai (murabahah), muqaradhah (nama lain dari
mudharabah) dan mencampur tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah, bukan
untuk diperjualbelikan.”(HR. Ibnu Majah) Al Murabahah adalah kontrak jual-beli
atas barang tertentu. Pada transaksi jual-beli tersebut penjual harus
menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan dan tidak termasuk barang
haram. Demikian juga, harga pembelian dan keuntungan yang diambil dan cara
pembayarannya harus disebutkan dengan jelas. Dalam teknis perbankan, murabahah
adalah akad jual-beli antara bank selaku penyedia barang (penjual) dengan
nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh keuntungan dari
jual-beli yang disepakati bersama. Rukun dan syarat murabahah adalah sama
dengan rukun dan syarat dalam fiqih, sedangkan syarat-syarat lain seperti barang,
harga dan cara pembayaran adalah sesuai dengan kebijakan bank yang
bersangkutan. Harga jual bank adalah harga beli dari pemasok ditambah
keuntungan yang disepakati bersama. Jadi nasabah mengetahui keuntungan yang
diambil oleh bank. Selama akad belum berakhir maka harga jual-beli tidak boleh
berubah. Apabila terjadi perubahan maka akad tersebut menjadi batal. Cara
pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama, bisa secara lumpsum ataupun
secara angsuran. Murabahah dengan pembayaran secara angsuran ini disebut juga
bai’ bi tsaman ajil. Dalam prak-teknya nasabah yang memesan untuk membeli
barang menunjuk pemasok yang telah diketahuinya menyediakan barang dengan
spesifikasi dan harga yang sesuai dengan keinginannya. Atas dasar itu bank
melakukan pembelian secara tunai dari pemasok yang dikehendaki oleh nasabahnya,
kemudian menjualnya secara tangguh kepada nasabah yang bersangkutan. Melalui
akad murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh dan
memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai lebih dulu.
Dengan kata lain nasabah telah memperoleh pembiayaan dari bank untuk pengadaan
barang tersebut. b. Bai’ as Salam Secara etimologi salam berarti salaf
(dahulu). Bai’ as salam adalah akad jual-beli suatu barang di mana harganya
dibayar dengan segera, sedangkan barangnya akan diserahkan kemudian dalam jangka
waktu yang disepakati.[15] Beberapa landasan Syariah dapat disebutkan antara
lain: Ibn Abbas berkata: “Aku bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk waktu
tertentu benar-benar dihalalkan oleh Allah dan diizinkan,” kemudian ia membaca
ayat 282 dari QS Al Baqarah. Menjual sesuatu yang tidak ada pada diri penjual
tidak diperbolehkan. Sabda Rasulullah: “Janganlah kamu menjual barang yang
tidak ada padamu” (HR Ahmad, At Tarmidzi, dan Ibn Hibban). Oleh karena itu
dalam bai’ as salam harus ada jaminan bahwa penyediaan barang yang dipesan
dapat dipenuhi. Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW tiba di
Madinah di mana mereka melakukan salaf untuk penjualan buah-buahan dengan
jangka waktu satu tahun atau dua tahun, lalu beliau bersabda: “Barangsiapa yang
melakukan salaf hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan
yang jelas pula, sampai pada batas waktu tertentu.”(HR. Bukhari)[16] Dalam
teknis perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dari
nasabah dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang
disepakati bersama. Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk
utang melainkan dalam bentuk tunai yang dibayarkan segera. Tentu saja bank
tidak bermaksud hanya melakukan salam untuk memperoleh barang. Barang itu harus
dijual lagi untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu dalam prakteknya
transaksi pembelian salam oleh bank selalu diikuti atau dibarengi dengan
transaksi penjualan kepada pihak atau nasabah lainnya. Apabila penjualan barang
itu juga dilakukan dalam bentuk salam, maka transaksi itu menjadi paralel
salam. Bank dapat juga melakukan penjualan barang itu dengan menggunakan skema
murabahah. Pada umumnya nasabah yang memerlukan fasilitas salam adalah nasabah
yang menerima pesanan dari pelanggannya dengan syarat bahwa harga atas barang
itu akan dibayar setelah barang diserahkannya. Sementara nasabah tidak memiliki
dana yang cukup untuk melakukan pengadaan barang yang dipesan tersebut. Agar
nasabah dapat memperoleh dana yang dibutuhkan itu maka ia bukan melakukan
penjualan langsung kepada pemesannya, melainkan menjual kepada bank dengan
salam dan posisinya sebagai penjual terhadap pemesannya digantikan oleh bank.
Tentu saja harga dalam jual-beli antara bank dengan nasabah produsen itu lebih
rendah daripada harga yang disepakati antara produsen dengan pemesan barang.
Selisih harga itu menjadi keuntungan bank. c. Bai’ al-Istishna’ Bai’
al-Istishna’ adalah akad jual-beli antara pemesan/pembeli (mustashni’) dengan
produsen/penjual (shani’) di mana barang yang akan diperjualbelikan harus
dibuat lebih dulu dengan kriteria yang jelas. Istishna’ hampir sama dengan bai’
as salam, bedanya hanya terletak pada cara pembayarannya; pada salam,
pembayarannya harus dimuka dan segera, sedang pada istishna’ pembayarannya
boleh di awal, di tengah atau di akhir, baik sekaligus ataupun secara bertahap.
Dalam prakteknya bank bertindak sebagai penjual (shani’ ke-1) kepada pemesan/pembeli
dan mensubkannya kepada produsen (shani’ ke-2).Prinsip Sewa dan Sewa-Beli Sewa
(ijarah) dan sewa-beli (ijarah wa iqtina’ atau disebut juga ijarah muntahiyah
bi tamlik) oleh para ulama dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan
oleh syariah Islam. Model ini secara konvensional dikenal sebagai operating
lease dan financing lease. Al ijarah atau sewa adalah kontrak yang melibatkan
suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya.
Penyewa dapat juga diberi opsi untuk memiliki barang yang disewakan tersebut
pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut al ijarah wa iqtina’ atau al
ijarah muntahiyah bi tamlik, di mana akad sewa yang terjadi antara bank (sebagai
pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah
termasuk cicilan pokok harga barang.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul
Ghafur Anshari, Perbankan Syariah Di Indonesia, [Cet. 2 Yogjakarta:
Gadjah Mada, 2009]
Ahmad Dahlan, Bank
Syariah, [Cet. 1 Yogjakarta: Teras, 2012]
Bambang
Rianto Rustam , Manajemen Risiko, [T. Cet, Jakarta: Salembah Empat, 2013]
Dalam
Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, Yogyakarta : UII
Press 2001.
Hulwati, Ekonomi Islam, [T. Cet, Jakarta : Ciputat Press
Group, 2009]
Ismail, Perbankan Syariah, [Cet. 2 Jakarta : Kencana, 2013]
M.
Syafi’i antonio, Bank Islam, Jakarta : Gema Insani Press bekerjasamma
dengan tazkia Institute.
Muhamad, Bisnis Syariah, [Cet. 1 Yogjakarta: Gaung persada,
2007]
Muhammad,
Manajemen Bank Syariah, [Cet, 2 Yogjakarta: Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2011]
Neni
Sri Imanianti, Perbankan Syariah,[Cet . 1 Bandung: CV Mandar Maju, 2013]
[1] Muhamad, Bisnis
Syariah, [Cet. 1 Yogjakarta: Gaung persada, 2007], h. 110.
[3] Ismail, Perbankan
Syariah, [Cet. 2 Jakarta : Kencana,
2013], h. 91.
[4] Abdul Ghafur
Anshari, Perbankan Syariah Di Indonesia, [Cet. 2 Yogjakarta: Gadjah Mada, 2009], h. 102
[5] Neni Sri Imanianti, Perbankan Syariah,[Cet . 1 Bandung: CV
Mandar Maju, 2013], h. 158.
[6] Bambang Rianto
Rustam , Manajemen Risiko, [T. Cet, Jakarta: Salembah Empat, 2013], h. 12
[7] Muhammad, Manajemen Bank Syariah, [Cet, 2 Yogjakarta:
Sekolah Tinggi Ilmu Manajemen YKPN,
2011], h. 92
[9] M. Syafi’i
antonio, Bank Islam, Jakarta : Gema Insani Press bekerjasamma dengan
tazkia Institute.
[10]Hulwati, Ekonomi
Islam, [T. Cet, Jakarta : Ciputat Press Group, 2009], h. 63.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar