Senin, 23 Januari 2017

MEKANISME PEMBAGIAN NISBAH ( PROFIT LOSS AND SHARING) PADA AKAD MUDHARABAH



MEKANISME PEMBAGIAN NISBAH ( PROFIT LOSS AND SHARING) PADA AKAD MUDHARABAH


 







Literatur ini Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas pada
Mata Kuliah Manajemen Dana Syariah Kelompok 4 Program
Study Ekonomi Syariah Semester 7 Jurusan Syariah
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri
(STAIN) Watampone


Oleh:
RISMA YANI
01133109




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)
WATAMPONE
2017



KATA PENGANTAR

Puji syukur tak henti-hentinya kami panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat serta karunia-Nya kepada kami sehingga kami berhasil menyelesaikan Makalah ini yang alhamdulillah tepat pada waktunya yang berjudul “Mekanisme Pembagian Nisbah ( Profit Loss And Sharing) Pada Akad Mudharabah”.
Kami mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam proses pembuatan makalah ini. Kami menyadari bahwa Makalah yang kami susun ini masih jauh dari kata sempurna, oleh karena itu kritik dan saran dari semua pihak yang bersifat membangun selalu kami harapkan demi kesempurnaan makalah kami ini.
            Akhir kata, kami sampaikan terima kasih kepada semua pihak yang telah berperan serta dalam penyusunan makalah ini dari awal sampai akhir. Semoga Allah SWT senantiasa meridhai segala usaha kita. Aamiin.


Watampone, 14 Januari 2017
                                                                                                                                                        

Penyusun
Latar Belakang
Akad mudharabah merupakan salah satu produk pembiayaan yang disalurkan oleh perbankan syari’ah. Seperti yang disebutkan dalam Undang-Undang No 21 Tahun 2008 Tentang Perbankan Syari’ah (selanjutnya disebut UUPS). Pasal19 UUPS menyebutkan, bahwa salah satu akad pembiayaan yang ada dalam perbankan syari’ah adalah akad mudharabah. Selain itu bank Indonesia juga mengeluarkan Peraturan Bank Indonesia(PBI)Nomor,10/16/PBI/2008 Tentang Prinsip Syari’ah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana Dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa
Bank Syari’ah, juga menyebutkan mudharabah adalah salah satu akad pembiayaan yang ada didalam perbankan syari’ah.  Akad Mudharabah adalah akad antara pemilik modal dengan pengelola modal, dengan ketentuan bahwa keuntungan diperoleh dua belah pihak sesuai dengan kesepakatan. Didalam pembiayaan mudharabah pemilik dana (Shahibul Maal) membiayai sepenuhnya suatu usaha tertentu. Sedangkan nasabah bertindak sebagai pengelola usaha (Mudharib). Pada prinsipnya akad mudharabah diperbolehkan dalam agama Islam, karena untuk saling membantu antara pemilik modal dengan seorang yang pakar dalam mengelola uang. Dalam sejarah Islam  banyak pemilik modal yang tidak memiliki keahlian dalam mengelola uangnya. Sementara itu banyak pula para pakar dalam perdagangan yang tidak memiliki modal untuk berdagang. Oleh karena itu, atas dasar saling tolong menolong, Islam memberikan kesempatan untuk saling berkerja sama antara pemilik modal dengan orang yang terampil dalam mengelola dan memproduktifkan modal itu. Akad Mudharabah Syariah Akad mudharabah berbeda dengan akad pembiayaan yang ada pada perbankan  pada umumnya (perbankan konvensional). Perbankan konvensional pada umumya menawarkan pembiayaan dengan menentukan suku bunga tertentu dan  pengembalian modal yang telah digunakan mudharib dalam jangka waktu tertentu. Namun Akad mudharabah tidak menentukan suku bunga tertentu pada mudharib yang menggunakan pembiayaan mudharabah, melainkan mewajibkan mudharib memberikan bagi hasil dari keuntungan yang diperoleh mudharib.

A.  Pengertian Mudharabah
Muharabah bisa disebut dengan al-qiradh yang berarti potongan (al-qiradh), karena pemilik modal memotong apabila hartanya untuk diperdagangkan dengan sebagian keuntungannya. Istilah mudharabah di populerkan ulama iraq, sedangkan qiradh oleh ulama hijaz, namun tidak ada perbedaan prinsip antara kedua istilah tersebut.
Dalam bahasa sederhana, mudharabah merupakan akad kerjasama antara dua pihak, satu pihak memberikan modal kepada lainnya untuk berniaga. Kemudian keuntungan dibagi antara mereka sesuai dengan yang telah disepakati.
Dan adapun menurut mazhab maliki Mudharabah adalah penyerahan uang di muka oleh pemilik modal dalam jumlah uang yang ditentukan kepada seseorang yang akan menjalankan usaha dengan uang itu dengan imbalan sebagian dari keuntungannya.[1]
Afzalur Rahman mendifinisikan mudharabah sebagai bentuk kontrak kerjasama yang di dasarkan pada prinsip profit sharing,yang satu sebagai pmilikmodal dan yang kedua menjalankan usaha. Modal yang dimaksud disini harus berupa uang dan tidak boleh berbentuk barang.[2]
Adapun jenis-jenis mudharabah yaitu :
a.       Mudharabah muqayyadah  adalah shahibul mal membatasi kepada mudharib dengan batasan jenis usaha, waktu, atau tempat uasaha.
b.      Mudharabah Muthlaqah adalah bentuk kerja antara shahibul mal dan mudharib yang cakupanya  sanat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jens usaha, waktu, dan daerah bisnis.
Tabungan Mudharabah dipergunakan oleh bank dalam mengelola jasa simpanan dari nasabah yang ingin menitipkan dananya untuk tujuan-tujuan tetentu. Tujuan yang dimaksud biasanya berkaitan dengan hajat beribadah yang diibutuhkan dana besar dan tidak terjangkau, seperti ibadah qurban, ibadah haji, atau pendidikan.
Atas dasar tujuan tersebut, tabungan Mudharabah sering disebut jenis tabungan berjangka (targeted saving). Berbeda dengan wadi’ah yang bersifat tabungan biasa. Adapun Prakttik produk tabugan dengan akad mudharabah dapat dijelaskan :
·         Rekening dapat dimiliki oleh perorangan, bersama (dua orang atau lebih), organisasi yang tidak berbadan hukum, perwakilan, seta rekening jaminan.
·         Tabungan dengan akad mudharabah dipraktikkan dalam bentuk targeted saving, yaitu tabungan yang dimakasudkan untuk suatu pencapaian target kebutuhan dalam jumlah dan atau jangka waktu tertentu.
Deposito mudharabah merupakan dana investasi yang ditempatkan oleh nasabah yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah dan penarikannya hanya dapat dilakukan pada waktu tertentu, sesuai dengan akad perjanjian yang dilakukan antara bank dan nasabah investor. Deposito, mudah diprediksi ketersediaan dananya karena terdapat  jangka waktu dalam penempatannya. Sifat deposito yaitu penarikannya hanya dapat dilakukan sesuai jangka waktunya, sehingga pada waktunya, sehingga pada umumnya balas jasa yang berupa nisbah bagi bagi hasil yang diberikan oleh bank untuk deposito lebih tinggi dibanding tabungan mudharabah.[3]
Adapun landasan hukum mudharabah secara syariah dalam undang-undang  nomor 10 tahun 1998 tentang perubahan atas undang-undang nomor 7 tahun 1992 tentang perbankan. Ditahun 2008, secara khusus mengenai deposito dalam bank syariah diatur melalui undang-undang nomor 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah. Selain itu berdasarkan pada fatwa DSN-MUI ini deposito yang dibenarkan secara syariah adalah yang berdasarkan prinsip mudharabah dengan ketentuan-ketentuan berikut :
a)      Dalam transaksi ini nasabah bertindak sebagai shahibul mal atau pemilik dana, dan bank bertindak sebagai mudharib atau pengelola dana.
b)      Dalam kapasitasnya sebagai mudharib,
c)      Modal harus dinyatakan dengan jumlahnya.
d)     Pembagian keuntungan harus dinyatakan dalam bentuk nisbah dan dituangkan dalam akad pembukan rekening.
e)      Bank sebagai mudharib menutup biaya operasional deposito dengan menggunakan nisbah keuntungan yang menjadi haknya.
f)       Bank tidak diperkenakan untuk mengurangi nisbah keuntungan.
Implementasi prinsip mudharabah dalam produk deposito perbankan syariah menggunakan skema mudharabah. Al ini sejalan dengan tujuan dari nasabah menggunakan instrumen deposito yakni sebagai sarana investasi dalam upaya memperoleh kntungan. Sebagaimana yang telah diubah dengan PBI No.10/16 /PBI/2008. Dalam kegiatan penghimpunan dana dalam deposito atas dasar akad mudharabah berlaku persyaratan paling kurang sebagai berikut :
a.       Bank bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dan nasabah bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal)
b.      Pengelolaan dana oleh ban dapat di lakukan sesuai batasan-batasan yang ditetapkan oleh pemilik dana (mudharabah muqayyadah) atau dilakukan dengan tanpa batasan-batasan daripemilik dana)
c.       Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk.
d.      Bank dan nasabah wajib menuankan kesepakatan atas pembukaan dan penggunaan produk.
e.       Dalam akad mudharabah muqayyadah harus dinyatakan secara jelas syarat-syarat dan batasan tertentu yang ditentukan oleh nasabah.[4]

B.  Perkembangan Pembiayaan Mudharabah pada Bank Syariah
Dalam sejarah perbankan nasional, indonesia pernah mengalami krisis perbankan. Dalam waktu singkat, dari bulan juli 1997 sampai sampai dengan 13maret 1999, pemerintah telah menutup tidak kurang dari 55 bank. Selain itu pemerintah telah mengambil alih 11 bank (Bank Take Over). Selanjutnya pemerintah melakukan rekapitulasi terhadap sembilan bank lainnya, dan semua bank BUMN serta BPD harus ikut direkapilitasi. Dari 240 bank sebelum krisis moneter kini hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah. Biaya restrukturisasidan penyehatan perbankan indonesia akan sangat mahal. Ada kemungkinan sebagian besar biaya peyelamatan perbankan tersebut akan ditanggung rakyat melalui aset. Akibat kerugian usaha selama bulan maret hingga april 2001 beberapa bank gulung tikar, untuk menanmenanggulangi bank-bank yang bermasalah melalui perbankan indonesia berada dalam keadaan yang mengkhawatirkan justru pada saat  perbankan negara lain mulai bangkit dari krisis.
Di saat perekonomian nasional mengalami krisis dan dunia perbankan belum tampak akan pulih, perbankan islamm menunjukkan enomena baru yang berkembangannya telah mengejutkan para pengamat perbankan konvesional maupun kalangan perbankan konvensional. [5] 
Mudharabah adalah transaksi penanaman dana dari pemilik dana kepada pengelola dana untuk melakukan kegiatan usaha tertentu sesuia syariah dengan pembagian hasil usaha antara kedua belah pihak berdasarkan nisbah yang teah disepaki sebulumnya. Kegiatan penyaluran dana dalam bentuk pembiayaan atas dasar akad mudharabah berlaku persyaratan setindaknya sebagai berikut :
·         Bank bertindak sebagai pemilik dana (shahibul maal) yang menyediakan dana dengan fungsi sebagai modal kerja, dan nasabah bertindak sebagai pengelola dana (mudharib) dalam kegiatan usahanya.
·         Bank memiliki hak dalam pengawasan dan pembinaan usaha nasabah walaupun tidak ikut serta dalam pengelolaan usaha nasabah, yaitu bank dapat melakukan kaji ulang dan meminta bukti-bukti dari laporan hasil usaha nasabah berdasarkan pada bukti pendukung yang dapat dipertanggung jawabkan.
·         Bank wajib menjelaskan kepada nasabah mengenai karakteristik produk pembiayaan atas dasar akad mudharabah serta hak dan kewajiban nasabah sebagaimana diatur dalam ketentuan BI mengenai transparasi informasi produk bank dan penggunaan data pribadi nasabah.[6]
Adapun Rukun Mudharabah :
a)      Ada pemilik dana.
b)      Ada usaha yang akan dibagi hasilkan.
c)      Ada nisbah.
d)     Ada ijab kabul.
Aplikasi Prinsip Mudharabah :
a.       Tabungan berjangka.
b.      Deposito berjangka.[7]
C.  Profit Sharing
Profit Sharing dalam kamus ekonomi diartikan pembagian laba. Secara definitif profit sharingdiartikan distribusi beberapa bagian dari laba pada para pegawai dari suatu perusahaan.[8] Lebihlanjut dikatakan, bahwa hal itu dapat berbentuk suatu bonus uang tunai tahunan yang didasarkan pada laba yang diperoleh pada tahun-tahun sebelumnya, atau dapat bentuk pembayaran mingguan atau bulanan.
Pada mekanisme bank syariah, pendapatan bagi hasil ini berlaku untuk produk-produk penyertaan, baik penyertaan menyeluruh maupun sebagian atau berbentuk bisnib koorporasi (kerjasama). Pihak-pihak yang terlibat dalam kepentingan bisnis harus melakukan transparansi dan kemitraan secara baik dan ideal. Sebab semua pengeluaran dan pemasukkan rutin yang berkaitan dengan bisnis penyertaan, bukan untuk kepentingan pribadi yang menjalankan proyek.
Keuntungan yang dibagi hasilkan harus dibagi secara proposional antara shahibul mal dengan muudharib. Intinya mekanisme investasi bagi hasil pada dasarnya adalah terletak pada kerjasama yang baik antara sshahibul mal dengan mudharib. Kerjasama atau partnership merupakan karakter dalam masyarakat ekonomi islam. Kerjasama ekonomi harus dilakukan dalam semua lini kegiatan ekonomi, yaitu :
o   Produksi
o   Distribusi
o   Barang maupun jasa
Salah satu bentuk kerjasama dalam bisnis atau ekonomi islam adalah qirad atau mudharabah. Qirad atau mudharabah adalah kersama antara pemilik modal atau uang denan pengusaha milik keahlian atau leterampilan atau tenaga pelaksanaan unit ekonomi atau proyek usaha. Melalui qirad atau mudharabah kedua belah pihak yang bermitra tidak akan mendapatkan bunga tetapi mendapatkan bagi hasil atau profit dan loss sharing dari proyek ekonomi yang disepakati. Prinsip bagi hasil (profit Sharing) meupakan karakteristik umum dan landasan dasar bagi operasional bank syariah secara keseluruhan.[9]
Dan dalam pembiayaan ekuiti, islam telah menghalalkan kontrak musyarakah dan mudharabah (profit and loss sharing)[10]
Mudharabah (Trustee Profit Sharing) Kontrak mudharabah[11] juga merupakan suatu bentuk equity financ­ing, tetapi mempunyai bentuk (feature) yang berbeda dari musyarakah. Pada mudharabah, hubungan kontrak bukan antar pemberi modal, melainkan antara penyedia dana (shahibul maal) dengan entrepreneur (mudharib). Pada kontrak mudharabah, seorang mudharib (dapat berupa perorangan, rumah tangga perusahaan atau suatu unit ekonomi, ter­masuk bank) memperoleh modal dari unit ekonomi lainnya untuk tujuan melakukan perdagangan. Mudharib dalam kontrak ini menjadi trustee atas modal tersebut. Jika proyek selesai, mudharib akan mengembalikan modal tersebut kepada penyedia modal berikut porsi keuntungan yang telah disetujui sebelumnya. Bila terjadi kerugian maka seluruh kerugian dipikul oleh shahibul maal. Sedang mudharib kehilangan keuntungan (imbalan bagi-hasil) atas kerja yang telah dilakukannya. Bank dan lembaga keuangan dalam kontrak ini dapat menjadi salah satu pihak. Mereka dapat menjadi pengelola dana (mudharib) dalam hubungan mereka dengan para penabung dan investor, atau dapat menjadi penyedia dana (shahibul maal) dalam hubungan mereka dengan pihak pengguna dana. Ada dua tipe mudharabah, yaitu Mutlaqah (tidak terikat) dan Muqayyadah (terikat).[12] a) Mudharabah Mutlaqah: pemilik dana memberikan keleluasaan penuh kepada pengelola untuk menggunakan dana tersebut dalam usaha yang dianggapnya baik dan menguntungkan. Pengelola bertanggung jawab untuk mengelola usaha sesuai dengan praktek kebiasaan usaha normal yang sehat (uruf). b) Mudharabah Muqayyadah: pemilik dana menentukan syarat dan pembatasan kepada pengelola dalam penggunaan dana tersebut dengan jangka waktu, tempat, jenis usaha dan sebagainya. Pengelola menggunakan modal tersebut dengan tujuan yang dinyatakan secara khusus, yaitu untuk menghasilkan keuntungan. b. Prinsip Jual-Beli Pengertian jual-beli meliputi berbagai akad pertukaran (exchange contract) antara suatu barang dan jasa dalam jumlah tertentu atas barang dan jasa lainnya. Penyerahan jumlah atau harga barang dan jasa tersebut dapat dilakukan dengan segera (cash and carry) ataupun secara tangguh (deferred). Oleh karenanya, untuk memenuhi kebutuhan pembiayaan (debt financing) syarat-syarat al bai’ menyangkut berbagai tipe kontrak jual-beli tangguh (deferred contract of exchange). Dalam hukum ekonomi Islam, telah diidentifikasi dan diuraikan macam-macam jual-beli, termasuk jenis-jenis jual-beli yang dilarang oleh Islam. Berdasarkan barang yang dipertukarkan, jual beli terbagi empat macam;[13]
1)      Bai’ al muthlaqah, yaitu pertukaran antara barang atau jasa dengan uang. Uang berperan sebagai alat tukar. Jual-beli semacam ini menjiwai semua produk-produk lembaga keuangan yang didasar-kan atas prinsip jual-beli.
2)      Bai’ al muqayyadah, yaitu jual-beli di mana pertukaran terjadi antara barang dengan barang (barter). Aplikasi jual-beli semacam ini dapat dilakukan sebagai jalan keluar bagi transaksi ekspor yang tidak dapat menghasilkan valuta asing (devisa). Karena itu dilaku­kan pertukaran barang dangan barang yang dinilai dalam valuta asing. Transaksi semacam ini lazim disebut counter trade.
3)      Bai’ al sharf, yaitu jual-beli atau pertukaran antara satu mata uang asing dengan mata uang asing lain, seperti antara rupiah dengan dolar, dolar dengan yen dan sebagainya. Mata uang asing yang diperjualbelikan itu dapat berupa uang kartal (bank notes) ataupun dalam bentuk uang giral (telegrafic transfer atau mail transfer). 4) Bai’ as salam adalah akad jual-beli di mana pembeli membayar uang (sebesar harga) atas barang yang telah disebutkan spesifikasinya, sedangkan barang yang diperjualbelikan itu akan diserahkan kemudian, yaitu pada tanggal yang disepakati. Bai’ as salam biasanya dilakukan untuk produk-produk pertanian jangka pendek. Sedangkan pembagian jual beli berdasarkan harganya terbagi empat macam;[14]
4)      Bai’ al murabahah adalah akad jual-beli barang tertentu. Dalam transaksi jual-beli tersebut penjual menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan, termasuk harga pembelian dan keuntungan yang diambil.
5)      Bai’ al musawamah adalah jual-beli biasa, di mana penjual tidak memberitahukan harga pokok dan keuntungan yang didapatnya.
6)      Bai’ al muwadha’ah yaitu jual-beli di mana penjual melakukan penjualan dengan harga yang lebih rendah daripada harga pasar atau dengan potongan (discount). Penjualan semacam ini biasanya hanya dilakukan untuk barang-barang atau aktiva tetap yang nilai bukunya sudah sangat rendah.
7)      Bai’ al-tauliyah, yaitu jual beli dimana penjual melakukan penjualan dengan harga yang sama dengan harga pokok barang. Terdapat bentuk jual-beli lain yang disebut dengan Bai’ al istishna’, yaitu kontrak jual-beli di mana harga atas barang tersebut dibayar lebih dulu tapi dapat diangsur sesuai dengan jadwal dan syarat-syarat yang di­sepakati bersama, sedangkan barang yang dibeli diproduksi dan diserahkan kemudian. Di antara jenis-jenis jual-beli tersebut, yang lazim digunakan sebagai model pembiayaan syariah adalah pembiayaan berdasarkan prinsip bai’ al murabahah, bai’ as- salam dan bai’ al istishna’. a. Al-Murabahah Murabahah adalah salah satu bentuk jual-beli yang bersifat amanah. Bentuk jual-beli ini berlandaskan pada sabda Rasulullah SAW dari Shuhaib ar Rumy r.a.: “Ada tiga hal yang mengandung berkah: jual beli tidak secara tunai (murabahah), muqaradhah (nama lain dari mudharabah) dan mencampur tepung dengan gandum untuk kepentingan rumah, bukan untuk diperjual­belikan.”(HR. Ibnu Majah) Al Murabahah adalah kontrak jual-beli atas barang tertentu. Pada transaksi jual-beli tersebut penjual harus menyebutkan dengan jelas barang yang diperjualbelikan dan tidak termasuk barang haram. Demikian juga, harga pembelian dan keuntungan yang diambil dan cara pembayarannya harus disebutkan dengan jelas. Dalam teknis perbankan, murabahah adalah akad jual-beli antara bank selaku penyedia barang (penjual) dengan nasabah yang memesan untuk membeli barang. Bank memperoleh keuntungan dari jual-beli yang disepakati bersama. Rukun dan syarat murabahah adalah sama dengan rukun dan syarat dalam fiqih, sedangkan syarat-syarat lain seperti barang, harga dan cara pembayaran adalah sesuai dengan kebijakan bank yang bersangkutan. Harga jual bank adalah harga beli dari pemasok ditambah keuntungan yang disepakati bersama. Jadi nasabah mengetahui keuntungan yang diambil oleh bank. Selama akad belum berakhir maka harga jual-beli tidak boleh berubah. Apabila terjadi perubahan maka akad tersebut menjadi batal. Cara pembayaran dan jangka waktunya disepakati bersama, bisa secara lumpsum ataupun secara angsuran. Murabahah dengan pem­bayaran secara angsuran ini disebut juga bai’ bi tsaman ajil. Dalam prak-teknya nasabah yang memesan untuk membeli barang menunjuk pemasok yang telah diketahuinya menyediakan barang dengan spesifikasi dan harga yang sesuai dengan keinginannya. Atas dasar itu bank melakukan pembelian secara tunai dari pemasok yang dikehendaki oleh nasabahnya, kemudian menjualnya secara tangguh kepada nasabah yang bersangkutan. Melalui akad murabahah, nasabah dapat memenuhi kebutuhannya untuk memperoleh dan memiliki barang yang dibutuhkan tanpa harus menyediakan uang tunai lebih dulu. Dengan kata lain nasabah telah memperoleh pembiayaan dari bank untuk pengadaan barang tersebut. b. Bai’ as Salam Secara etimologi salam berarti salaf (dahulu). Bai’ as salam ada­lah akad jual-beli suatu barang di mana harganya dibayar dengan segera, sedangkan barangnya akan diserahkan kemudian dalam jang­ka waktu yang disepakati.[15] Beberapa landasan Syariah dapat disebutkan antara lain: Ibn Abbas berkata: “Aku bersaksi bahwa salam yang dijamin untuk waktu tertentu benar-benar dihalalkan oleh Allah dan diizinkan,” kemu­dian ia membaca ayat 282 dari QS Al Baqarah. Menjual sesuatu yang tidak ada pada diri penjual tidak diperbolehkan. Sabda Rasulullah: “Janganlah kamu menjual barang yang tidak ada padamu” (HR Ahmad, At Tarmidzi, dan Ibn Hibban). Oleh karena itu dalam bai’ as salam harus ada jaminan bahwa penyediaan barang yang dipesan dapat dipenuhi. Ibnu Abbas r.a. meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW tiba di Madinah di mana mereka melakukan salaf untuk penjualan buah-buahan dengan jangka waktu satu tahun atau dua tahun, lalu beliau bersabda: “Barangsiapa yang melakukan salaf hendaknya melakukannya dengan takaran yang jelas dan timbangan yang jelas pula, sampai pada batas waktu tertentu.”(HR. Bukhari)[16] Dalam teknis perbankan syariah, salam berarti pembelian yang dilakukan oleh bank dari nasabah dengan pembayaran di muka dengan jangka waktu penyerahan yang disepakati bersama. Harga yang dibayarkan dalam salam tidak boleh dalam bentuk utang melainkan dalam bentuk tunai yang dibayarkan segera. Tentu saja bank tidak bermaksud hanya melakukan salam untuk memperoleh barang. Barang itu harus dijual lagi untuk memperoleh keuntungan. Oleh karena itu dalam prakteknya transaksi pembelian salam oleh bank selalu diikuti atau dibarengi dengan transaksi penjualan kepada pihak atau nasabah lainnya. Apabila penjualan barang itu juga dilakukan dalam bentuk salam, maka transaksi itu menjadi paralel salam. Bank dapat juga melakukan penjualan barang itu dengan menggunakan skema murabahah. Pada umumnya nasabah yang memerlukan fasilitas salam adalah nasabah yang menerima pesanan dari pelanggannya dengan syarat bahwa harga atas barang itu akan dibayar setelah barang diserahkannya. Sementara nasabah tidak memiliki dana yang cukup untuk melakukan pengadaan barang yang dipesan tersebut. Agar nasabah dapat memperoleh dana yang dibutuhkan itu maka ia bukan melakukan penjualan langsung kepada pemesannya, melainkan menjual kepada bank dengan salam dan posisinya sebagai penjual terhadap pemesannya digantikan oleh bank. Tentu saja harga dalam jual-beli antara bank dengan nasabah produsen itu lebih rendah daripada harga yang disepakati antara produsen dengan pemesan barang. Selisih harga itu menjadi keuntungan bank. c. Bai’ al-Istishna’ Bai’ al-Istishna’ adalah akad jual-beli antara pemesan/pembeli (mustashni’) dengan produsen/penjual (shani’) di mana barang yang akan diperjualbelikan harus dibuat lebih dulu dengan kriteria yang jelas. Istishna’ hampir sama dengan bai’ as salam, bedanya hanya terletak pada cara pembayarannya; pada salam, pembayarannya harus dimuka dan segera, sedang pada istishna’ pembayarannya boleh di awal, di tengah atau di akhir, baik sekaligus ataupun secara bertahap. Dalam prakteknya bank bertindak sebagai penjual (shani’ ke-1) kepada pemesan/pembeli dan mensubkannya kepada produsen (shani’ ke-2).Prinsip Sewa dan Sewa-Beli Sewa (ijarah) dan sewa-beli (ijarah wa iqtina’ atau disebut juga ijarah muntahiyah bi tamlik) oleh para ulama dianggap sebagai model pembiayaan yang dibenarkan oleh syariah Islam. Model ini secara konvensional dikenal sebagai operating lease dan financing lease. Al ijarah atau sewa adalah kontrak yang melibatkan suatu barang (sebagai harga) dengan jasa atau manfaat atas barang lainnya. Penyewa dapat juga diberi opsi untuk memiliki barang yang disewakan tersebut pada saat sewa selesai, dan kontrak ini disebut al ijarah wa iqtina’ atau al ijarah muntahiyah bi tamlik, di mana akad sewa yang terjadi antara bank (seba­gai pemilik barang) dengan nasabah (sebagai penyewa) dengan cicilan sewanya sudah termasuk cicilan pokok harga barang.





DAFTAR PUSTAKA
Abdul Ghafur Anshari, Perbankan Syariah Di Indonesia, [Cet. 2 Yogjakarta: Gadjah  Mada, 2009]
Ahmad  Dahlan, Bank Syariah, [Cet. 1 Yogjakarta: Teras, 2012]
Bambang Rianto Rustam , Manajemen Risiko, [T. Cet, Jakarta: Salembah Empat,  2013]
Dalam Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, Yogyakarta : UII Press 2001.
Hulwati, Ekonomi Islam, [T. Cet, Jakarta : Ciputat Press Group, 2009]
Ismail, Perbankan Syariah, [Cet. 2 Jakarta : Kencana,  2013]
M. Syafi’i antonio, Bank Islam, Jakarta : Gema Insani Press bekerjasamma dengan tazkia Institute.
Muhamad, Bisnis Syariah, [Cet. 1 Yogjakarta: Gaung persada, 2007]
Muhammad, Manajemen Bank Syariah, [Cet, 2 Yogjakarta: Sekolah  Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2011]
Neni Sri Imanianti, Perbankan Syariah,[Cet . 1 Bandung: CV Mandar Maju, 2013]


[1] Muhamad, Bisnis Syariah, [Cet. 1 Yogjakarta: Gaung persada, 2007], h. 110.
 [2]Ahmad  Dahlan, Bank Syariah, [Cet. 1 Yogjakarta: Teras, 2012], h. 129.
[3] Ismail, Perbankan Syariah, [Cet. 2 Jakarta : Kencana,  2013], h. 91.
[4] Abdul Ghafur Anshari, Perbankan Syariah Di Indonesia, [Cet. 2 Yogjakarta: Gadjah  Mada, 2009], h. 102
[5] Neni Sri Imanianti, Perbankan Syariah,[Cet . 1 Bandung: CV Mandar Maju, 2013], h. 158.
[6] Bambang Rianto Rustam , Manajemen Risiko, [T. Cet, Jakarta: Salembah Empat,  2013], h. 12
[7] Muhammad, Manajemen Bank Syariah, [Cet, 2 Yogjakarta: Sekolah  Tinggi Ilmu Manajemen YKPN, 2011], h. 92
[8] Dalam Muhamad, Teknik Perhitungan Bagi Hasil di Bank Syariah, Yogyakarta : UII Press 2001.
[9] M. Syafi’i antonio, Bank Islam, Jakarta : Gema Insani Press bekerjasamma dengan tazkia Institute.
[10]Hulwati, Ekonomi Islam, [T. Cet, Jakarta : Ciputat Press Group, 2009], h. 63.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar