Rabu, 25 Januari 2017

PENGATURAN DAN PENGAWASAN PADA BANK SYARIAH



PENGATURAN DAN PENGAWASAN PADA BANK SYARIAH
Oleh : Rati Ratnasari
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone


ABSTRAK
Peran bank dalam melaksanakan tugas dan fungsinya perlu diatur secara baik dan benar. Hal ini bertujuan untuk menjaga kepercayaan nasabah terhadap aktivitas perbankan. Salah satu peraturan yang perlu dibuat untuk mengatur perbankan adalah peraturan mengenai permodalan bank yang berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian.
Tulisan ini merupakan studi pustaka dimana penulis mengelaborasi bagaimana pengaturan dan pengawasan pada bank syariah yang ada di berbagai negera. Dalam tulisan ini, penulis mengambil sampel negara Malaysia, Pakistan, Kuwait, dan Inggris. Alasan memilih keempat negara tersebut karena Malaysia dan Kuwait memiliki kemiripan dengan Indonesia yang mengadopsi dual banking system.
Kata Kunci: Dual Banking System, Regulator, Pengawasan, DPS.



PENDAHULUAN

Dalam cetak biru pengembangan perbankan syariah disebutkan bahwa tujuan dari perbankan syariah yaitu terwujudnya sistem perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-hatian serta mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan berbasis bagi hasil dan transaksi riil dalam kerangka keadilan, tolong menolong dan menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan masyarakat. Dengan kata lain, tujuan pengembangan perbankan syariah ke depan adalah menciptakan perbankan syariah yang mampu mendukung terwujudnya perekonomian yang kuat sehingga diperlukan prudential banking regulation agar usahanya dapat selalu berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
Untuk itu, Bank Indonesia sebagai bank sentral memiliki kewenangan dan berkewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan terhadap seluruh kegiatan perbankan. Tujuan pembinaan dan pengawasan perbankan oleh Bank Indonesia mencakup empat aspek, yaitu sebagai berikut:
1.        Power to Licence, merupakan kewenangan dalam mengatur perizinan bank sebagai proses pengawasan paling awal.
2.        Power to Regulate, merupakan otoritas pengawas untuk mengatur kegiatan operasi bank dalam bentuk ketentuan-ketentuan sehingga dapat mendorong terciptanya sistem perbankan yang sehat, sekaligus dapat memenuhi kebutuhan masyarakat akan dana yang cukup dan kualitas pelayanan jasa perbankan.
3.        Power to Control, merupakan kewenangan dasar yang dimiliki oleh BI untuk melakukan pengawasan, dengan batas-batas pengawasan yang jelas. Tujuannya ialah agar bank-bank yang berada dalam pengawasannya juga merasakan adanya pengawasan terhadap mereka.
4.        Power to Impose Sunction, merupakan kewenangan dalam menetapkan dan menjatuhkan sanksi kepada bank yang tidak mematuhi hal-hal yang telah diatur dalam ketiga aspek di atas.
Keempat aspek pengawasan yang menjadi otoritas Bank Indonesia berlaku bagi semua jenis bank sesuai Undang-Undang Perbankan, termasuk di dalamnya bank syariah. Esensi pengawasan itu juga tampak relevan dengan misi dan nilai-nilai ekonomi Islam untuk menegakkan hukum keadilan, profesionalitas dan tanggung jawab.
Namun demikian, dalam perspektif ekonomi Islam, selain keempat aspek pengawasan Bank Indonesia tersebut, masih diperluas lagi dengan adanya elemen-elemen yang terdapat dalam perbankan syariah yang tidak ditemukan dalam perbankan konvensional, yakni posisi, kewenangan, tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional, serta hubungannya dengan Majlis Ulama Indonesia (MUI).



PEMBAHASAN

A. Bank Indonesia sebagai Otoritas Pengawasan Bank
Pengaturan dan pengawasan yang efektif sangat diperlukan bagi keamanan dan kesehatan lembaga keuangan, tak terkecuali bank syariah. Regulasi tidak akan memiliki peran yang cukup berarti tanpa disertai sistem monitoring yang tepat. Oleh karena itulah, efektivitas pengawasan merupakan suatu keharusan.[1] Agar pengawasan bisa berjalan secara efektif, maka tujuannya harus dinyatakan secara jelas dengan mekanisme yang tepat. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa sistem keuangan bisa berjalan secara aman dan sehat, sesuai dengan ajaran Islam dan bisa menyesuaikan dengan ketentuan internasional serta mampu bersaing dalam tataran domestik atau di pasar keuangan internasional.
Kesehatan atau kondisi keuangan dan non-keuangan bank merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, masyarakat pengguna jasa bank maupun Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan Bank di Indonesia,[2] sehingga untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan beberapa pendekatan yaitu:
1.        Kebijakan memberikan keleluasaan berusaha (deregulasi);
2.        Kebijakan prinsip kehati-hatian bank (prudential banking); dan
3.        Pengawasan bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara konsisten ketentuan intern yang dibuat sendiri (self regulatory banking) dalam melaksanakan kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu kepada prinsip kehati-hatian.
Hal diatas kemudian di atur dalam Undang-undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mengamanatkan Bank Indonesia sebagai otoritas yang melakukan Pengaturan dan Pengawasan Bank. Dalam rangka melaksanakan tugasnya, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, melaksanakan pengawasan bank, serta mengenakan sanksi terhadap bank. Selain itu, Bank Indonesia berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip kehati-hatian.
Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia meliputi pengawasan langsung dan tidak langsung. Dalam hal ini, Bank Indonesia berwenang mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dimana hal ini dapat dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak terafiliasi dari bank. Hal ini sangat penting untuk dilakukan agar prudential regulation yang diterapkan dapat secara efektif dengan melakukan transparansi dan akuntabilitas melalui accounting dan auditing serta good corporate governance.
Selanjutnya, Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaaan terhadap bank.[3] Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank Indonesia transaksi tersebut diduga merupakan tindak pidana di bidang perbankan.Dalam hal keadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam undang-undang tentang Perbankan yang berlaku.
B. Sistem Pengawasan pada Bank oleh Bank Indonesia
Industri perbankan yang sehat juga perlu didukung dengan pengawasan bank yang independen dan efektif. Untuk itu, dalam menjalankan tugas pengawasan bank, saat ini BI melaksanakan sistem pengawasannya dengan menggunakan 2 (dua) pendekatan yakni pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance based supervision) dan pengawasan berdasarkan risiko (risk based supervision/RBS). Dengan adanya pendekatan RBS tersebut, bukan berarti mengesampingkan pendekatan berdasarkan kepatuhan, namun merupakan upaya untuk menyempurnakan sistem pengawasan sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan efisiensi pengawasan perbankan. Secara bertahap, pendekatan pengawasan yang diterapkan oleh BI akan beralih menjadi sepenuhnya pengawasan berdasarkan risiko.
1. Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance Based Supervision)
Pendekatan pengawasan berdasarkan kepatuhan pada dasarnya menekankan pemantauan kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank. Pendekatan ini lebih terfokus pada mengacu pada kondisi bank di masa lalu dengan tujuan untuk memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar menurut prinsip-prinsip kehati-hatian.
2. Pengawasan Berdasarkan Risiko (Risk Based Supervision)
Tujuan utama dari pengawasan Bank adalah melindungi kepentingan masyarakat penyimpan (deposan dan Kreditur) yang mempercayakan dananya pada bank untuk memperoleh pembayaran kembali dan manfaatnya dari bank sesuai dengan sifat, jenis, dan cara pembayaran yang telah dijanjikan.[4] Untuk itu Bank Indonesia menyempurnakan sistem pengawasannya melalui pendekatan pengawasan berdasarkan risiko. Dengan menggunakan pendekatan tersebut pengawasan/pemeriksaan suatu bank difokuskan pada risiko-risiko yang melekat (inherent risk) pada aktivitas fungsional bank serta sistem pengendalian risiko (risk control system).
Untuk mendukung efektivitas implementasi pengawasan berbasis risiko, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama, tersedianya kerangka ketentuan (regulatory framework). Kedua, terjalinnya komunikasi dan sinergi antara pengawas dengan manajemen bank yang memungkinkan tercapainya kesamaan cara pandangmengenai penilaian dan risiko dan tindak lanjut. Ketiga, adanya transparansi dan kesadaran manajemen bank terhadap pentingnya manajemen risiko.[5]
Melalui pendekatan ini akan lebih memungkinkan otoritas pengawasan bank untuk proaktif dalam melakukan pencegahan terhadap permasalahan yang potensial timbul di bank. Pendekatan pengawasan berdasarkan risiko memiliki siklus pengawasan sebagai berikut :

Jenis-Jenis Risiko Bank :
a.         Risiko Kredit : Risiko yang timbul sebagai akibat kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya.
b.        Risiko Pasar : Risiko yang timbul karena adanya pergerakan variabel pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki oleh Bank,yang dapat merugikan Bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga dan nilai tukar.
c.         Risiko Likuiditas : Risiko yang antara lain disebabkan Bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh waktu.
d.        Risiko Operasional : Risiko yang antara lain disebabkan adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses internal,kesalahanmanusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang mempengaruhi operasional Bank.
e.         Risiko Hukum : Risiko yang disebabkan oleh adanya kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontra.
f.          Risiko Reputasi : Risiko yang antara lain disebabkan adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha Bank atau persepsi negatif terhadap Bank.
g.        Risiko Strategik : Risiko yang antara lain disebabkan adanya penetapan dan pelaksanaan strategi Bank yang tidak tepat dalam pengambilan keputusan bisnis atau kurang responsifnya Bank terhadap perubahan eksternal.
h.        Risiko Kepatuhan : Risiko yang disebabkan Bank tidak mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan lain yang berlaku.

Mekanisme Pengawasan pada Bank Syariah
Pada dasarnya pengaturan dan pengawasan bank syariah dimaksudkan untuk meningkatkan keyakinan dari setiap orang yang mempunyai kepentingan dengan bank, bahwa bank-bank dari segi finansial tergolong sehat, dan sesuai dengan ajaran Islam serta di dalam bank tidak terkandung segi-segi yang merupakan ancaman terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan dananya di bank. Berdasarkan kerangka keuangan Islam pengawasan setidaknya harus mencakup dua dimensi utama, yakni patuh terhadap standar yang telah ditentukan oleh Basel Committeedan Ketentuan hukum tentang bank dan keuangan di Negara masing-masing; patuh terhadap norma-norma syariah untuk memberikan kepercayaan kepada masyarakat bahwa produknya tidaklah sama dengan produk yang ditawarkan system konvensional.[6]
Di Indonesia, Bank Indonesia secara spesifik membuat aturan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan GCG bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang mengatur secara konprehensif mekanisme pengawasan di bank syariah meliputi komposisi, karakteristik, struktur, dan mekanisme dasar yang harus dimiliki oleh Dewan Komisaris dan Direksi.[7] Selain itu, diatur juga tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah.
Berikut dijelaskan tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah.
A. Dewan Komisaris
Peraturan perundang-undangan memberikan tanggung jawab yang jelas dan tegas terhadap tanggung jawab Dewan Komisaris. Mengingat kedudukan Dewan Komisaris sebagai organ perseroan, tanggung jawab ini bertujuan untuk menjamin agar Dewan Komisaris melakukan fungsi pengawasan dengan I’tikad baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab. Kesalahan maupun kelalaian Dewan Komisaris yang menyebabkan kerugian bagi perseroan harus dipertanggung jawabkan oleh Dewan Komisaris bahkan sampai pertanggungjawaban pribadi. Untuk itu PBI-2009 mengatur tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris.
Jumlah anggota dewan Komisaris paling kurang 3 (tiga) orang dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi, terdiri dari Komisaris dan Komisaris Indepennden. Jumlah Komisaris Independen Paling kurang 50% (lima puluh perseratus) dari jumlah anggota dewan Komisaris. Semua Anggota dewan Komisaris harus memenuhi persyaratan telah lulus Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test) sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Selain itu, Anggota dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada 1 (satu) lembaga/perusahaan bukan lembaga keuangan dan tidak memiliki hubungan keluarga dengan anggota dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi.
Selanjutnya, mengenai tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris pada perbankan sebagaimana diatur dalam PBI-2009, antara lain:
1.        Dewan Komisaris wajib melakukan pengawasan atas terselenggaranya pelaksanaan GCG dalam setiap kegiatan usaha BUS pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi
2.        Dewan Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Direksi, serta memberikan nasihat kepada Direksi.
3.        Dalam melakukan pengawasan, Dewan Komisaris wajib memantau dan mengevaluasi pelaksanaan kebijakan strategis BUS dan Dewan Komisaris dilarang terlibat dalam pengambilan keputusan kegiatan operasional BUS, kecuali pengambilan keputusan untuk pemberian pembiayaan kepada Direksi sepanjang kewenangan Dewan Komisaris tersebut ditetapkan dalam Anggaran Dasar BUS atau dalam Rapat Umum Pemegang Saham.
4.        Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti temuan audit dan/atau rekomendasi dari hasil pengawasan Bank Indonesia, auditor intern, Dewan Pengawas Syariah dan/atau auditor ekstern.
5.        Dewan Komisaris wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia paling lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukannya, baik itu pelanggaran peraturan perundang-undangan di bidang keuangan dan perbankan maupun suatu kondisi yang dapat membahayakan kelangsungan usaha BUS.
6.        Dalam rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, Dewan Komisaris wajib membentuk Komite Pemantau Risiko, Komite Remunerasi dan Nominasi, dan Komite Audit. Pengangkatan anggota komite ditetapkan oleh Direksi berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris.
7.        Dewan Komisaris wajib memastikan bahwa komite yang telah dibentuk menjalankan tugasnya secara efektif dan wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja. Pedoman dan tata tertib kerja komite harus dievaluasi dan dilakukan pengkinian secara berkala, dan pedoman dan tata tertib kerja ini sifatnya mengikat bagi setiap anggota Dewan Komisaris. Dalam pedoman dan tata tertib ini harus mencantumkan waktu kerja dan pengaturan rapat.
8.        Dewan Komisaris wajib menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya secara optimal. Minimal rapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 2 (dua) bulan dan wajib dihadiri paling kurang oleh 2/3 (dua per tiga) dari jumlah anggota Dewan Komisaris.
9.        Rapat Dewan Komisaris wajib dipimpin oleh Komisaris Utama. Jika Komisaris Utama berhalangan hadir maka rapat Dewan Komisaris dapat dipimpin oleh salah seorang anggota Dewan Komisaris. Seluruh keputusan Dewan Komisaris yang dituangkan dalam risalah rapat merupakan keputusan bersama seluruh anggota Dewan Komisaris dan hasil rapat Dewan Komisaris wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan dengan baik. Jika terjadi perbedaan pendapat (dissenting opinions) atas hasil keputusan rapat Dewan Komisaris, maka perbedaan pendapat tersebut wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasannya.

B. Dewan Direksi.
Dewan direksi memiliki fungsi utama dalam manajemen, yakni menetapkan tujuan stratejik dan prinsip-prinsip yang akan dijadikan sebagai acuan lembaga keuangan islam. Kewajiban dan tanggung jawab otoritas pengambilan keputusan untuk masing-masing level manajemen harus ditentukan berdasarkan wewenang dan tanggung jawab masing-masing anggota dewan direksi. Dewan direksi juga memiliki kewajiban untuk menjaga transparansi dalam menjalankan operasional perusahaan yang mengacu pada standar operasional Lembaga Keuangan Syariah yang ditentukan oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS), Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI), Islamic Financial Service Board (IFSB), ataupun atas otoritas pengawas.
Dewan direksi tidak akan mampu menjalankan tanggung jawabnya secara efektif tanpa didukung oleh sistem control internal yang bagus, prosedur akuntansi yang relevan, audit internal dan eksternal yang efektif, manajemen risiko yang efisien, memiliki aturan cheks and balances, serta adanya perangkat regulasi dan prosedur yang komprehensif. Dewan direksi tidak mungkin akan bisa melakukan semua tugas tersebut secara efektif, jika mereka hanya mengedepankan self interest dan mengabaikan kepentingan para stakeholder yang meliputi para pemegang saham, depositor, pegawai ataupun pihak lain yang berkepentingan.[8] Dengan demikian, kehadiran otoritas pengawas dan auditor eksternal adalah sebuah keniscayaan guna mendorong dan memastikan dewan direksi untuk menjalankan tugas-tugas sebagaimana yang telah ditentukan.
Selain itu, dewan direksi harus memiliki profesionalitas, kompetensi, dan integritas moral yang sangat diperlukan untuk mengelola bank syariah. Kualifikasi ini sangat diperlukan bagi bank syariah, dikarenakan keberadaan bank syariah yang dibangun berdasarkan nilai-nilai moral kemanusiaan, bersifat altruistik dan tidak mementingkan self-interest.  [9]Dengan kata lain, dewan direksi tidak boleh menerima keuntungan terselubung untuk kepentingan pribadi mereka. Mereka tidak diperkenankan memanipulasi harga saham, atau mendapatkan keuntungan lainnya terkait dengan pengetahuan mereka atas usaha bank. Hal ini sangat penting untuk dilakukan secara jujur dan sehat untuk mencegah terjadinya moral hazard dalam manajemen bank.
Untuk itu, Bank Indonesia secara spesifik mengatur tugas dan tanggung jawab dewan direksi dalam PBI 2009, antara lain:
1.        Direksi bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pengelolaan BUS berdasarkan prinsip kehati-hatian dan Prinsip Syariah.
2.        Direksi wajib mengelola BUS sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya sebagaimana diatur dalam Anggaran Dasar BUS dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.        Direksi wajib melaksanakan GCG dalam setiap kegiatan usaha BUS pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi, Direksi wajib menindaklanjuti temuan audit dan/atau rekomendasi dari hasil pengawasan Bank Indonesia, auditor intern, Dewan Pengawas Syariah dan/atau auditor ekstern.
4.        Dalam rangka melaksanakan GCG, Direksi wajib memiliki fungsi paling kurang: a. Audit Intern; b. Manajemen Risiko dan Komite Manajemen Risiko; dan c. Kepatuhan.
5.        Direksi wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada pemegang saham melalui Rapat Umum Pemegang Saham.
6.        Direksi harus mengungkapkan kepada pegawai kebijakan BUS yang bersifat strategis di bidang kepegawaian.
7.        Anggota Direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain yang mengakibatkan pengalihan tugas dan fungsi Direksi.
8.        Direksi hanya dapat menggunakan jasa konsultan, penasihat, atau yang dapat dipersamakan dengan itu sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. proyek bersifat khusus yang sangat diperlukan untuk kegiatan usaha BUS; b. didasari oleh kontrak yang jelas, yang sekurang-kurangnya mencakup tujuan, ruang lingkup kerja, tanggung jawab, jangka waktu pelaksanaan pekerjaan dan biaya; dan c. konsultan merupakan pihak independen yang profesional dan memiliki kualifikasi yang cukup untuk melaksanakan proyek secara efektif dan efisien.
9.        Direksi wajib menyediakan data dan informasi yang akurat, relevan dan tepat waktu kepada Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah.
10.    Setiap anggota Direksi wajib memiliki kejelasan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan bidang tugasnya.
11.    Direksi wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja yang bersifat mengikat bagi setiap anggota Direksi. Pedoman dan tata tertib kerja paling kurang mencantumkan: a. waktu kerja; dan b. pengaturan rapat.
12.    Setiap keputusan Direksi bersifat mengikat dan menjadi tanggung jawab seluruh anggota Direksi.
13.    Setiap kebijakan dan keputusan strategis wajib diputuskan melalui rapat Direksi. Hasil rapat Direksi wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan dengan baik. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinions) atas hasil keputusan rapat Direksi, maka perbedaan pendapat tersebut wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasannya.
C. Dewan Pengawas Syariah.
Secara umum pengawasan Bank Syariah dilakukan oleh Bank Indonesia sebagai otoritas Pembina dan pengawas bank. Namun secara khusus dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah yang ada pada tiap bank yang menjalankan usahanya berdasarkan prinsip syariah.[10]
Dewan Pengawas Syariah merupakan badan independen yang bertugas melakukan pengarahan (directing), pemberian konsultasi (consulting), melakukan evaluasi (evaluating), dan pengawasan (supervising) terhadap kegiatan bank syariah dalam rangka memastikan bahwa kegiatan usaha bank syariah tersebut mematuhi (compliance) terhadap prinsip syariah sebagaimana telah ditentukan oleh fatwa dan syariah islam.
Dewan Pengawas Syariah merupakan keunikan tersendiri yang dimiliki oleh lembaga keuangan syariah. Organisasi ini terdiri dari cendekiawan Syariah yang bertugas mengawasi dan memantau kegiatan lembaga keuangan untuk memastikan bahwa lembaga tersebut patuh terhadap prinsip syariah.[11] Adanya Dewan Pengawas Syariah ini merupakan salah satu hal pokok yang membedakan antara bank konvensional dengan bank syariah. Tugas utama DPS adalah mengawasi pelaksanaan operasional bank dan produk-produknya supaya tidak menyimpang dari aturan syariah.
Menurut Standar AAOIFI, dewan syariah setidaknya harus terdiri atas tiga anggota cendekiawan syariah[12] yang diangkat berdasarkan rapat umum pemegang saham (RUPS) dan dalam keadaan tidak merangkap jabatan sebagai konsultan di seluruh Bank Umum Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah.Hal ini perlu dilakukan karena DPS sebagai badan independen dapat terlepas dari konflik kepentingan.
Dalam pelaksanaan tugasnya, diatur dalam pasal 46 PBI-2009. Berikut Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah:
1.        Dewan Pengawas Syariah wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan prinsip-prinsip GCG.
2.        Tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah adalah memberikan nasihat dan saran kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip Syariah.
3.        Pelaksanaan tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah meliputi: menilai dan memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman operasional dan produk yang dikeluarkan Bank, mengawasi proses pengembangan produk baru Bank agar sesuai dengan fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia, meminta fatwa kepada Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia untuk produk baru Bank yang belum ada fatwanya, melakukan review secara berkala atas pemenuhan Prinsip Syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta pelayanan jasa Bank, dan Meminta data dan informasi terkait dengan aspek syariah dari satuan kerja Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Apabila dalam pelaksanaan produk baru yang telah ditawarkan ternyata tidak memenuhi prinsip syariah, maka dalam hal ini Dewan Pengawas Syariah tidak memiliki wewenang untuk menghentikan produk tersebut karena ini merupakan otoritas Bank Indonesia sebagai Bank Sentral yang menghentikan produk yang dimaksud.
4.        Dewan Pengawas Syariah wajib menyampaikan Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas Syariah secara semesteran yang disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat 2 (dua) bulan setelah periode semester dimaksud berakhir. Dalam laporannya dibuat pernyataan bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan ketentuan syariah. Pernyataan ini kemudian dimuat dalam laporan keuangan bank.[13]
5.        Dari segi kinerja bisa jadi tugas Dewan Pengawas Syariah lebih berat dari dewan komisaris. Hal ini bisa dilihat dari jumlah rapat yang wajib dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah dibandingkan oleh Dewan Komisaris. Dalam Pasal 49 ayat 1 PBI-2009 disebutkan rapat Dewan Pengawas Syariah wajib diselenggarakan paling kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. Sedangkan bagi dewan komisaris wajib diselenggarakan paling kurang 1 (satu) kali dalam 2 (dua) bulan.
Dewan Pengawas Syariah di Berbagai Negara
Dalam tulisan ini akan dijelaskan pelaksanaan Dewan Pengawas Syariah di beberapa negara muslim diantaranya Malaysia, Kuwait, Pakistan,dan dan non-muslim seperti Inggris. Alasan memilih keempat negara tersebut karena Malaysia dan Kuwait memiliki kemiripan dengan Indonesia yang mengadopsi dual banking system. Pakistan sistem perbankan secara keseluruhan menerapkan system perbankan sesuai dengan syariat Islam (full fledged Islamic financial system). Sedangkan Inggris adalah negara non-muslim yang menerapkan sistem konvensional namun memberikan penawaran produk berasaskan prinsip Islam melalui Unit Usaha Syariah (Islamic Window).
A. Malaysia
Malaysia merupakan negara pertama yang memperkenalkan sistem perbankan Islam di Asia Tenggara, yakni ketika beroperasinya Bank Islam Malaysia Berhad pada 1983 setelah disahkannya Undang-Undang Perbankan Islam Nomor 276 tahun 1983. Setelah 10 tahun, pada tanggal 4 Maret 1993, Bank Negara Malaysia memperkenalkan skema dikenal sebagai “Skema Perbankan Bebas Bunga” dimana bank konvensional mungkin menawarkan produk perbankan Islam melalui unit usaha syariah. Dengan kebijakan itu, banyak bank konvensional yang membuka unit usaha syariah sehingga beberapa cendekiawan muslim dipilih untuk menjadi anggota komite syariah (dewan pengawas syariah).
Sebagai bagian dari upaya untuk menyelaraskan penafsiran Syariah antara bank dan perusahaan takaful, maka Bank Negara Malaysia mendirikan Dewan Syariah Nasional pada 1 Mei 1997.Dewan ini adalah otoritas tertinggi di industri perbankan Islam dan takaful di Malaysia.
Dewan Syariah Nasional di Malaysia merupakan otoritas yang berhubungan dengan bisnis perbankan Islam, takaful, bisnis keuangan Islam, pengembangan bisnis keuangan Islam, atau bisnis lain yang didasarkan pada prinsip-prinsip Syariah yang diawasi dan diatur oleh Bank Negara Malaysia.Kualifikasi pemilihan anggota Dewan Pengawas Syariah di Malaysia dan Indonesia sama yaitu memiliki pengetahuan keahlian, atau pengalaman yang diperlukan dalam bidang Hukum Islam (Ushul al-Fiqh), maupun hukum dagang (Fiqh al-mu'amalat).Selain itu, harus memiliki reputasi yang baik, berkarakter, dan memiliki integritas yang baik. Namun Dewan Pengawas Syariah di Malaysia memiliki aturan yang sangat ketat dibanding Dewan Pengawas Syariah di Indonesia seperti pendiskualifikasi mereka yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik, tidak menghadiri 75 persen pertemuan yang telah dijadwalkan dalam satu tahun tanpa alasan yang wajar, dan pemecatan bagi mereka yang dinyatakan bersalah atas tindak pidana yang serius, atau pelanggaran lainnya dan diancam dengan pidana penjara satu tahun atau lebih.
B. Pakistan
Pada 1947 ketika Pakistan tampil sebagai sebuah negara yang merdeka dan berdaulat mereka mulai melakukan pembaruan sistem perbankan. Namun, Implementasi sistem keuangan Islam di Pakistan dimulai sejak 1949 dengan sistem perbankan secara keseluruhan sesuai dengan syariat Islam (full fledged Islamic financial system).
Berbeda dengan Indonesia pembentukan Dewan Syariah berada dalam Bank Negara Pakistan. Dewan Syariah merupakan otoritas tunggal yang berkaitan dengan keuangan Islam.
Berbeda dengan Indonesia dan Malaysia, setiap anggota Dewan Syariah di Bank Negara Pakistan diperbolehkan untuk menjadi dewan pengawas syariah di lembaga keuangan. Namun hanya dibatasi untuk satu lembaga keuangan saja.
C. Kuwait Model
Bank syariah pertama di Kuwait, Kuwait Finance House, berdiri pada 1977. Akan tetapi, regulasi yang dibutuhkan baru dikeluarkan pada tahun 2003, yaitu UU Nomor 30 Tahun 2003 tentang Bank Sentral Kuwait, sebagai tambahan terhadap Bab 3 UU Nomor 32 Tahun 1968. Pengaturan terkait dengan Dewan Pengawas Syariah diatur dalam UU 32/1968 tentang Bank Sentral Kuwait bahwa bahwa setiap lembaga keuangan Islam harus memiliki Dewan Pengawas Syariah sendiri. Sehingga di dalam Bank Sentral Kuwait tidak memiliki Dewan Syariah. Jika terjadi konflik di antara anggota Dewan Pengawas Syariah tentang keputusan Syariah, Dewan Direksi dari Institusi Keuangan Islam yang ditunjuk dapat melaporkannya kepada “Dewan Fatwa” di Kementerian Wakaf dan Urusan Islam. Keputusan dari Dewan Fatwa di Departemen Wakaf dan Urusan Islam akan menjadi otoritas final atas konflik yang terjadi.Memang hampir mirip dengan Indonesia tetapi yang membedakannya jika terjadi perbedaan pendapat mengenai keputusan Syariah, dewan direksi dapat meminta fatwa kepada Komisi Fatwa Dewan Syariah Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Kemudian fatwa tersebut menjadi landasan untuk membuat Peraturan Bank Indonesia.
Selanjutnya hal yang berbeda dengan Indonesia mengenai pengaturan bagi anggota Dewan Pengawas Syariah. Di Kuwsait tidak ada batasan bagi anggota Dewan Pengawas Syariah untuk menjadi DPS lebih dari satu lembaga keuangan. Sedangkan di Indonesia membatasi bahwa kewenangan DPS untuk rangkap jabatan.
D. Inggris
Kehadiran bank syariah ternyata tidak hanya dilakukan oleh masyarakat muslim, tetapi juga bank milik non muslim. Saat ini bank Islam sudah tersebar diberbagai negara muslim dan non muslim, baik di benua Amerika, Australia, dan Eropa, termasuk di Britania Raya.
Pada tahun 1980 transaksi berbasis syariah sudah terjadi di pasar keuangan London. Komoditi Murabahah merupakan yang sering dugunakan di London Metal Exchange. Selanjutnya Beberapa lembaga keuangan internasional besar seperti Citi Bank, Deutsche Bank, dan HSBC telah hadir di Timur Tengah dan Asia Tenggara selama beberapa tahun. Sehingga, mereka memiliki pengalaman untuk mengakomodasi permintaan dan mengembangkan produk-produk Islam, dengan membuka Unit Usaha Syariah yang berbasis di Inggris. Unit Usaha Syariah ini telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan keuangan Islam di Inggris karena sebagai institusi global mereka memiliki pengalaman dalam pengembangan produk dan akses mereka ke sumber daya yang jauh lebih besar daripada yang tersedia di Timur Tengah dan Asia Tenggara.
Pada akhir 2004 lalu, Inggris memproklamirkan sebuah bank berbasis Islam Ini merupakan bank Islam pertama di Inggris yang lahir untuk menjawab permintaan dari lebih kurang 1,8 juta penduduk Muslim Inggris sekaligus merupakan bank Islam pertama di Eropa. Masyarakat keuangan di Inggris pun menyambut baik kehadiran bank Islam di negaranya. Bank yang pertama memperoleh izin untuk menyelenggarakan prinsip perbankan yang murni syariah ini diberi namaIslamic Bank of Britain atau Bank Islam Britain (BIB). Terbentuknya bank ini merupakan hasil kerja sama Islamic Joint Venture Partnership (IJVP) dengan kepemilikan saham yang didominasi oleh saham perseorangan, yaitu dari Qatar, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. Izinnya (lisensinya) diperoleh langsung dari The Financial Services Authoritys (FSA).
FSA adalah sebuah lembaga independen yang bertugas sebagai regulator dan pengawasan terhadap institusi keuangan baik dari perbankan maupun pasar modal. Dalam industri perbankan syariah, FSA juga berperan untuk menguji kompetensi calon Dewan Pengawas Syariah.
Bagi FSA, Dewan Pengawas Syariah diasumsikan sebagai Direktur perusahaan sehingga harus didaftarkan secara resmi di bawah persetujuan FSA. Untuk menilai kesesuaian seseorang tersebut, FSA memiliki standar yang dikenal sebagai “Fit and Proper Test”. Jadi, hanya calon yang memiliki kompetensi dan pengalaman yang relevan yang akan direkrut.



PENUTUP

Dalam lembaga keuangan permasalahan asymetri information sangat dominan. Dengan pendekatan Principal Theory, nasabah dan pemilik menjadi principal dan manajemen menjadi agent. Oleh karenya diperlukan regulasi untuk menselaraskannya. Selain itu, Dewan pengawas syariah dan Bank Indonesia sebagai pemegang otoritas pengawasan tidak bisa bekerja sendiri tanpa adanya unsur keterbukaan, untuk itu perbankan, dituntut pula memiliki penguasaan administrasi, juga memiliki integritas yang tinggi dibidang kepatuhan syariah yang difatwakan oleh dewan syariah nasional.
Hal ini perlu dilakukan mengingat Bank merupakan suatu perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari nasabah. Jika sebuah bank mengalami kegagalan, dampak yang ditimbulkan akan meluas mempengaruhi nasabah dan lembaga-lembaga yang menyimpan dananya atau menginvestasikan modalnya di bank, dan akan menciptakan dampak ikutan secara domestik maupun pasar internasional.
Karena pentingnya peran bank dalam melaksanakan fungsinya maka perlu diatur secara baik dan benar. Hal ini bertujuan utnuk menjaga kepercayaan nasabah terhadap aktivitas perbankan. Salah satu peraturan yang perlu dibuat untuk mengatur perbankan adalah peraturan mengenai permodalan bank yang berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian.







DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Mal An Abdullah, Corporate Governance Perbankan Syariah di Indonesia Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek Jakarta: Gema Insani, 2001.
Ayub, Muhammad, Understanding Islamic Finance Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009
Chapra, M. Umer dan Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Gandapradja, Permadi, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Grunieng, Hennie van dan Zaid Iqbal dalam Simon Archer dan Rifaat Ahmed Abdel Karim, Islamic Finance: The Regulatory Challenge Singapura: John willey & Son, 2007.
Rae, Dian Ediana Rae, Transaksi Derivatif dan Masalah Regulasi Ekonomi di Indonesia Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2008, 248.
Undang-undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
Usman, Rachmadi, Aspek-aspek hukum perbankan di Indonesia Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama, 2003
Wibowo, Muh. Ghafur Potret Perbankan Syariah Terkini: Kajian Kritis Perkembangan Perbankan Syariah Terkini Yogyakarta: Biruni Press, 2007.



[1]M. Umer Chapra dan Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 70.  
[2] Muh. Ghafur Wibowo, Potret Perbankan Syariah Terkini: Kajian Kritis Perkembangan Perbankan Syariah Terkini (Yogyakarta: Biruni Press,2007), h. 28. 
[3] Pasal 30 Undang-undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia 
[4] Permadi Gandapradja, Dasar dan Prinsip Pengawasan Bank (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 1. 
[5] Dian Ediana Rae, Transaksi Derivatif dan Masalah Regulasi Ekonomi di Indonesia (Jakarta: PT Elex Media Komputindo, 2008), h. 248. 
[6] M. Umer Chapra dan Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 101. 
[7] Mal An Abdullah, Corporate Governance Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010), h. 75. 
[8] M. Umer Chapra dan Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 43-44. 
[9] M. Umer Chapra dan Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta: Bumi Aksara, 2008), h. 46. 
[10] Rachmadi Usman, Aspek-aspek hukum perbankan di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama, 2003), h. 68. 
[11] Hennie van Grunieng dan Zaid Iqbal dalam Simon Archer dan Rifaat Ahmed Abdel Karim, Islamic Finance: The Regulatory Challenge (Singapura: John willey & Son, 2007), h. 28. 
[12] Muhammad Ayub, Understanding Islamic Finance (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 590. 
[13] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani, 2001), h. 50.

1 komentar:

  1. assalammualaikum, saya maau berkomentar, bahwa Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.
    dan Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK.
    hal ini sesuai amanat UU No 21 Tahun 2011 tentang otoritas jasa keuangan.

    BalasHapus