PENGATURAN DAN PENGAWASAN
PADA BANK SYARIAH
Oleh : Rati Ratnasari
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone
ABSTRAK
Peran bank dalam melaksanakan tugas dan fungsinya perlu
diatur secara baik dan benar. Hal ini bertujuan untuk menjaga kepercayaan
nasabah terhadap aktivitas perbankan. Salah satu peraturan yang perlu dibuat
untuk mengatur perbankan adalah peraturan mengenai permodalan bank yang
berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian.
Tulisan ini merupakan studi pustaka dimana penulis
mengelaborasi bagaimana pengaturan dan pengawasan pada bank syariah yang ada di
berbagai negera. Dalam tulisan ini, penulis mengambil sampel negara Malaysia,
Pakistan, Kuwait, dan Inggris. Alasan memilih keempat negara tersebut karena
Malaysia dan Kuwait memiliki kemiripan dengan Indonesia yang mengadopsi dual
banking system.
Kata Kunci: Dual Banking System, Regulator, Pengawasan, DPS.
PENDAHULUAN
Dalam cetak biru pengembangan perbankan syariah
disebutkan bahwa tujuan dari perbankan syariah yaitu terwujudnya sistem
perbankan syariah yang kompetitif, efisien, dan memenuhi prinsip kehati-hatian
serta mampu mendukung sektor riil secara nyata melalui kegiatan pembiayaan
berbasis bagi hasil dan transaksi riil dalam kerangka keadilan, tolong menolong
dan menuju kebaikan guna mencapai kemaslahatan masyarakat. Dengan kata
lain, tujuan pengembangan perbankan syariah ke depan adalah menciptakan
perbankan syariah yang mampu mendukung terwujudnya perekonomian yang kuat
sehingga diperlukan prudential banking regulation agar usahanya dapat
selalu berkembang dan memberikan kontribusi positif bagi masyarakat.
Untuk itu, Bank Indonesia sebagai bank sentral
memiliki kewenangan dan berkewajiban untuk membina serta melakukan pengawasan
terhadap seluruh kegiatan perbankan. Tujuan pembinaan dan pengawasan perbankan
oleh Bank Indonesia mencakup empat aspek, yaitu sebagai berikut:
1.
Power to
Licence, merupakan kewenangan dalam mengatur
perizinan bank sebagai proses pengawasan paling awal.
2.
Power
to Regulate, merupakan otoritas pengawas untuk
mengatur kegiatan operasi bank dalam bentuk ketentuan-ketentuan sehingga dapat
mendorong terciptanya sistem perbankan yang sehat, sekaligus dapat memenuhi
kebutuhan masyarakat akan dana yang cukup dan kualitas pelayanan jasa
perbankan.
3.
Power
to Control, merupakan kewenangan dasar yang
dimiliki oleh BI untuk melakukan pengawasan, dengan batas-batas pengawasan yang
jelas. Tujuannya ialah agar bank-bank yang berada dalam pengawasannya juga
merasakan adanya pengawasan terhadap mereka.
4.
Power
to Impose Sunction, merupakan kewenangan dalam
menetapkan dan menjatuhkan sanksi kepada bank yang tidak mematuhi hal-hal yang
telah diatur dalam ketiga aspek di atas.
Keempat aspek pengawasan yang menjadi otoritas Bank
Indonesia berlaku bagi semua jenis bank sesuai Undang-Undang Perbankan,
termasuk di dalamnya bank syariah. Esensi pengawasan itu juga tampak relevan dengan
misi dan nilai-nilai ekonomi Islam untuk menegakkan hukum keadilan,
profesionalitas dan tanggung jawab.
Namun demikian, dalam perspektif ekonomi Islam, selain
keempat aspek pengawasan Bank Indonesia tersebut, masih diperluas lagi dengan
adanya elemen-elemen yang terdapat dalam perbankan syariah yang tidak ditemukan
dalam perbankan konvensional, yakni posisi, kewenangan, tanggung jawab Dewan
Pengawas Syariah dan Dewan Syariah Nasional, serta hubungannya dengan Majlis
Ulama Indonesia (MUI).
PEMBAHASAN
A. Bank Indonesia sebagai Otoritas Pengawasan Bank
Pengaturan dan pengawasan yang efektif sangat diperlukan
bagi keamanan dan kesehatan lembaga keuangan, tak terkecuali bank syariah.
Regulasi tidak akan memiliki peran yang cukup berarti tanpa disertai sistem
monitoring yang tepat. Oleh karena itulah, efektivitas pengawasan merupakan
suatu keharusan.[1]
Agar pengawasan bisa berjalan secara efektif, maka tujuannya harus dinyatakan
secara jelas dengan mekanisme yang tepat. Tujuannya adalah untuk memastikan
bahwa sistem keuangan bisa berjalan secara aman dan sehat, sesuai dengan ajaran
Islam dan bisa menyesuaikan dengan ketentuan internasional serta mampu bersaing
dalam tataran domestik atau di pasar keuangan internasional.
Kesehatan atau kondisi keuangan dan non-keuangan bank
merupakan kepentingan semua pihak terkait, baik pemilik, masyarakat pengguna
jasa bank maupun Bank Indonesia selaku otoritas pengawasan Bank di Indonesia,[2]
sehingga untuk mencapai tujuan tersebut diperlukan beberapa pendekatan yaitu:
1.
Kebijakan
memberikan keleluasaan berusaha (deregulasi);
2.
Kebijakan
prinsip kehati-hatian bank (prudential banking); dan
3.
Pengawasan
bank yang mendorong bank untuk melaksanakan secara konsisten ketentuan intern
yang dibuat sendiri (self regulatory banking) dalam melaksanakan
kegiatan operasionalnya dengan tetap mengacu kepada prinsip kehati-hatian.
Hal diatas kemudian di atur dalam Undang-undang No 23
Tahun 1999 tentang Bank Indonesia yang mengamanatkan Bank Indonesia sebagai
otoritas yang melakukan Pengaturan dan Pengawasan Bank. Dalam rangka
melaksanakan tugasnya, Bank Indonesia menetapkan peraturan, memberikan dan mencabut
izin atas kelembagaan dan kegiatan usaha tertentu bank, melaksanakan pengawasan
bank, serta mengenakan sanksi terhadap bank. Selain itu, Bank Indonesia
berwenang menetapkan ketentuan-ketentuan perbankan yang memuat prinsip
kehati-hatian.
Pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia meliputi
pengawasan langsung dan tidak langsung. Dalam hal ini, Bank Indonesia berwenang
mewajibkan bank untuk menyampaikan laporan, keterangan, dan penjelasan sesuai
dengan tata cara yang ditetapkan oleh Bank Indonesia, dimana hal ini dapat
dilakukan terhadap perusahaan induk, perusahaan anak, pihak terkait dan pihak
terafiliasi dari bank. Hal ini sangat penting untuk dilakukan agar prudential
regulation yang diterapkan dapat secara efektif dengan melakukan
transparansi dan akuntabilitas melalui accounting dan auditing serta
good corporate governance.
Selanjutnya, Bank Indonesia dapat menugasi pihak lain
untuk dan atas nama Bank Indonesia melaksanakan pemeriksaaan terhadap bank.[3]
Bank Indonesia dapat memerintahkan bank untuk menghentikan sementara sebagian
atau seluruh kegiatan transaksi tertentu apabila menurut penilaian Bank
Indonesia transaksi tersebut diduga merupakan tindak pidana di bidang
perbankan.Dalam hal keadaan suatu bank menurut penilaian Bank Indonesia membahayakan
kelangsungan usaha bank yang bersangkutan dan/atau membahayakan sistem
perbankan atau terjadi kesulitan perbankan yang membahayakan perekonomian
nasional, Bank Indonesia dapat melakukan tindakan sebagaimana diatur dalam
undang-undang tentang Perbankan yang berlaku.
B. Sistem Pengawasan pada Bank oleh Bank Indonesia
Industri perbankan yang sehat juga perlu didukung dengan
pengawasan bank yang independen dan efektif. Untuk itu, dalam menjalankan tugas
pengawasan bank, saat ini BI melaksanakan sistem pengawasannya dengan
menggunakan 2 (dua) pendekatan yakni pengawasan berdasarkan kepatuhan (compliance
based supervision) dan pengawasan berdasarkan risiko (risk based
supervision/RBS). Dengan adanya pendekatan RBS tersebut, bukan berarti
mengesampingkan pendekatan berdasarkan kepatuhan, namun merupakan upaya untuk
menyempurnakan sistem pengawasan sehingga dapat meningkatkan efektivitas dan
efisiensi pengawasan perbankan. Secara bertahap, pendekatan pengawasan yang
diterapkan oleh BI akan beralih menjadi sepenuhnya pengawasan berdasarkan
risiko.
1. Pengawasan Berdasarkan Kepatuhan (Compliance
Based Supervision)
Pendekatan pengawasan berdasarkan kepatuhan pada
dasarnya menekankan pemantauan kepatuhan bank untuk melaksanakan ketentuan
ketentuan yang terkait dengan operasi dan pengelolaan bank. Pendekatan ini
lebih terfokus pada mengacu pada kondisi bank di masa lalu dengan tujuan untuk
memastikan bahwa bank telah beroperasi dan dikelola secara baik dan benar
menurut prinsip-prinsip kehati-hatian.
2. Pengawasan Berdasarkan Risiko (Risk
Based Supervision)
Tujuan utama dari pengawasan Bank adalah melindungi
kepentingan masyarakat penyimpan (deposan dan Kreditur) yang mempercayakan
dananya pada bank untuk memperoleh pembayaran kembali dan manfaatnya dari bank
sesuai dengan sifat, jenis, dan cara pembayaran yang telah dijanjikan.[4]
Untuk itu Bank Indonesia menyempurnakan sistem pengawasannya melalui pendekatan
pengawasan berdasarkan risiko. Dengan menggunakan pendekatan tersebut
pengawasan/pemeriksaan suatu bank difokuskan pada risiko-risiko yang melekat (inherent
risk) pada aktivitas fungsional bank serta sistem pengendalian risiko (risk
control system).
Untuk mendukung efektivitas implementasi pengawasan
berbasis risiko, terdapat beberapa persyaratan yang harus dipenuhi. Pertama,
tersedianya kerangka ketentuan (regulatory framework). Kedua,
terjalinnya komunikasi dan sinergi antara pengawas dengan manajemen bank yang
memungkinkan tercapainya kesamaan cara pandangmengenai penilaian dan risiko dan
tindak lanjut. Ketiga, adanya transparansi dan kesadaran manajemen bank
terhadap pentingnya manajemen risiko.[5]
Melalui pendekatan ini akan lebih memungkinkan otoritas
pengawasan bank untuk proaktif dalam melakukan pencegahan terhadap permasalahan
yang potensial timbul di bank. Pendekatan pengawasan berdasarkan risiko memiliki
siklus pengawasan sebagai berikut :
Jenis-Jenis Risiko Bank :
a.
Risiko
Kredit : Risiko yang timbul sebagai akibat
kegagalan counterparty memenuhi kewajibannya.
b.
Risiko
Pasar : Risiko yang timbul karena adanya pergerakan
variabel pasar (adverse movement) dari portofolio yang dimiliki oleh
Bank,yang dapat merugikan Bank. Variabel pasar antara lain adalah suku bunga
dan nilai tukar.
c.
Risiko
Likuiditas : Risiko yang antara lain disebabkan
Bank tidak mampu memenuhi kewajiban yang telah jatuh waktu.
d.
Risiko
Operasional : Risiko yang antara lain disebabkan
adanya ketidakcukupan dan atau tidak berfungsinya proses
internal,kesalahanmanusia, kegagalan sistem, atau adanya problem eksternal yang
mempengaruhi operasional Bank.
e.
Risiko
Hukum : Risiko yang disebabkan oleh adanya
kelemahan aspek yuridis. Kelemahan aspek yuridis antara lain disebabkan adanya
tuntutan hukum, ketiadaan peraturan perundang-undangan yang mendukung atau
kelemahan perikatan seperti tidak dipenuhinya syarat sahnya kontra.
f.
Risiko
Reputasi : Risiko yang antara lain disebabkan
adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha Bank atau persepsi
negatif terhadap Bank.
g.
Risiko
Strategik : Risiko yang antara lain disebabkan
adanya penetapan dan pelaksanaan strategi Bank yang tidak tepat dalam pengambilan
keputusan bisnis atau kurang responsifnya Bank terhadap perubahan eksternal.
h.
Risiko
Kepatuhan : Risiko yang disebabkan Bank tidak
mematuhi atau tidak melaksanakan peraturan perundang-undangan dan ketentuan
lain yang berlaku.
Mekanisme Pengawasan pada
Bank Syariah
Pada dasarnya pengaturan dan pengawasan bank syariah
dimaksudkan untuk meningkatkan keyakinan dari setiap orang yang mempunyai
kepentingan dengan bank, bahwa bank-bank dari segi finansial tergolong sehat,
dan sesuai dengan ajaran Islam serta di dalam bank tidak terkandung segi-segi
yang merupakan ancaman terhadap kepentingan masyarakat yang menyimpan dananya
di bank. Berdasarkan kerangka keuangan Islam pengawasan setidaknya harus
mencakup dua dimensi utama, yakni patuh terhadap standar yang telah ditentukan
oleh Basel Committeedan Ketentuan hukum tentang bank dan keuangan di
Negara masing-masing; patuh terhadap norma-norma syariah untuk memberikan
kepercayaan kepada masyarakat bahwa produknya tidaklah sama dengan produk yang
ditawarkan system konvensional.[6]
Di Indonesia, Bank Indonesia secara spesifik membuat
aturan dalam Peraturan Bank Indonesia No. 11/33/PBI/2009 tentang Pelaksanaan
GCG bagi Bank Umum Syariah dan Unit Usaha Syariah yang mengatur secara
konprehensif mekanisme pengawasan di bank syariah meliputi komposisi,
karakteristik, struktur, dan mekanisme dasar yang harus dimiliki oleh Dewan
Komisaris dan Direksi.[7]
Selain itu, diatur juga tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah.
Berikut dijelaskan tugas dan tanggung jawab Dewan
Komisaris, Direksi, dan Dewan Pengawas Syariah.
A. Dewan Komisaris
Peraturan perundang-undangan memberikan tanggung jawab
yang jelas dan tegas terhadap tanggung jawab Dewan Komisaris. Mengingat
kedudukan Dewan Komisaris sebagai organ perseroan, tanggung jawab ini bertujuan
untuk menjamin agar Dewan Komisaris melakukan fungsi pengawasan dengan I’tikad
baik, kehati-hatian, dan bertanggung jawab. Kesalahan maupun kelalaian Dewan
Komisaris yang menyebabkan kerugian bagi perseroan harus dipertanggung jawabkan
oleh Dewan Komisaris bahkan sampai pertanggungjawaban pribadi. Untuk itu
PBI-2009 mengatur tugas dan tanggung jawab Dewan Komisaris.
Jumlah anggota dewan Komisaris paling kurang 3 (tiga)
orang dan paling banyak sama dengan jumlah anggota Direksi, terdiri dari
Komisaris dan Komisaris Indepennden. Jumlah Komisaris Independen Paling kurang
50% (lima puluh perseratus) dari jumlah anggota dewan Komisaris. Semua Anggota
dewan Komisaris harus memenuhi persyaratan telah lulus Penilaian Kemampuan dan
Kepatutan (Fit and Proper Test) sesuai dengan ketentuan Bank Indonesia
tentang Penilaian Kemampuan dan Kepatutan (Fit and Proper Test). Selain
itu, Anggota dewan Komisaris hanya dapat merangkap jabatan sebagai anggota
dewan Komisaris, Direksi, atau Pejabat Eksekutif pada 1 (satu)
lembaga/perusahaan bukan lembaga keuangan dan tidak memiliki hubungan keluarga
dengan anggota dewan Komisaris dan/atau anggota Direksi.
Selanjutnya, mengenai tugas dan tanggung jawab Dewan
Komisaris pada perbankan sebagaimana diatur dalam PBI-2009, antara lain:
1.
Dewan
Komisaris wajib melakukan pengawasan atas terselenggaranya pelaksanaan GCG
dalam setiap kegiatan usaha BUS pada seluruh tingkatan atau jenjang organisasi
2.
Dewan
Komisaris wajib melaksanakan pengawasan terhadap pelaksanaan tugas dan tanggung
jawab Direksi, serta memberikan nasihat kepada Direksi.
3.
Dalam
melakukan pengawasan, Dewan Komisaris wajib memantau dan mengevaluasi
pelaksanaan kebijakan strategis BUS dan Dewan Komisaris dilarang terlibat dalam
pengambilan keputusan kegiatan operasional BUS, kecuali pengambilan keputusan
untuk pemberian pembiayaan kepada Direksi sepanjang kewenangan Dewan Komisaris
tersebut ditetapkan dalam Anggaran Dasar BUS atau dalam Rapat Umum Pemegang
Saham.
4.
Dewan
Komisaris wajib memastikan bahwa Direksi telah menindaklanjuti temuan audit
dan/atau rekomendasi dari hasil pengawasan Bank Indonesia, auditor intern,
Dewan Pengawas Syariah dan/atau auditor ekstern.
5.
Dewan
Komisaris wajib memberitahukan secara tertulis kepada Bank Indonesia paling
lambat 7 (tujuh) hari kerja sejak ditemukannya, baik itu pelanggaran peraturan
perundang-undangan di bidang keuangan dan perbankan maupun suatu kondisi yang
dapat membahayakan kelangsungan usaha BUS.
6.
Dalam
rangka mendukung efektivitas pelaksanaan tugas dan tanggung jawabnya, Dewan
Komisaris wajib membentuk Komite Pemantau Risiko, Komite Remunerasi dan
Nominasi, dan Komite Audit. Pengangkatan anggota komite ditetapkan oleh Direksi
berdasarkan keputusan rapat Dewan Komisaris.
7.
Dewan
Komisaris wajib memastikan bahwa komite yang telah dibentuk menjalankan
tugasnya secara efektif dan wajib memiliki pedoman dan tata tertib kerja.
Pedoman dan tata tertib kerja komite harus dievaluasi dan dilakukan pengkinian
secara berkala, dan pedoman dan tata tertib kerja ini sifatnya mengikat bagi
setiap anggota Dewan Komisaris. Dalam pedoman dan tata tertib ini harus
mencantumkan waktu kerja dan pengaturan rapat.
8.
Dewan
Komisaris wajib menyediakan waktu yang cukup untuk melaksanakan tugas dan tanggung
jawabnya secara optimal. Minimal rapat dilakukan 1 (satu) kali dalam 2 (dua)
bulan dan wajib dihadiri paling kurang oleh 2/3 (dua per tiga) dari jumlah
anggota Dewan Komisaris.
9.
Rapat
Dewan Komisaris wajib dipimpin oleh Komisaris Utama. Jika Komisaris Utama
berhalangan hadir maka rapat Dewan Komisaris dapat dipimpin oleh salah seorang
anggota Dewan Komisaris. Seluruh keputusan Dewan Komisaris yang dituangkan
dalam risalah rapat merupakan keputusan bersama seluruh anggota Dewan Komisaris
dan hasil rapat Dewan Komisaris wajib dituangkan dalam risalah rapat dan
didokumentasikan dengan baik. Jika terjadi perbedaan pendapat (dissenting
opinions) atas hasil keputusan rapat Dewan Komisaris, maka perbedaan
pendapat tersebut wajib dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta
alasannya.
B. Dewan Direksi.
Dewan direksi memiliki fungsi utama dalam manajemen,
yakni menetapkan tujuan stratejik dan prinsip-prinsip yang akan dijadikan
sebagai acuan lembaga keuangan islam. Kewajiban dan tanggung jawab otoritas pengambilan
keputusan untuk masing-masing level manajemen harus ditentukan berdasarkan
wewenang dan tanggung jawab masing-masing anggota dewan direksi. Dewan direksi
juga memiliki kewajiban untuk menjaga transparansi dalam menjalankan
operasional perusahaan yang mengacu pada standar operasional Lembaga Keuangan
Syariah yang ditentukan oleh Basel Committee on Banking Supervision (BCBS),
Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions (AAOIFI),
Islamic Financial Service Board (IFSB), ataupun atas otoritas pengawas.
Dewan direksi tidak akan mampu menjalankan tanggung
jawabnya secara efektif tanpa didukung oleh sistem control internal yang bagus,
prosedur akuntansi yang relevan, audit internal dan eksternal yang efektif,
manajemen risiko yang efisien, memiliki aturan cheks and balances, serta
adanya perangkat regulasi dan prosedur yang komprehensif. Dewan direksi tidak
mungkin akan bisa melakukan semua tugas tersebut secara efektif, jika mereka
hanya mengedepankan self interest dan mengabaikan kepentingan para stakeholder
yang meliputi para pemegang saham, depositor, pegawai ataupun pihak lain
yang berkepentingan.[8]
Dengan demikian, kehadiran otoritas pengawas dan auditor eksternal adalah
sebuah keniscayaan guna mendorong dan memastikan dewan direksi untuk
menjalankan tugas-tugas sebagaimana yang telah ditentukan.
Selain itu, dewan direksi harus memiliki
profesionalitas, kompetensi, dan integritas moral yang sangat diperlukan untuk
mengelola bank syariah. Kualifikasi ini sangat diperlukan bagi bank syariah,
dikarenakan keberadaan bank syariah yang dibangun berdasarkan nilai-nilai moral
kemanusiaan, bersifat altruistik dan tidak mementingkan self-interest. [9]Dengan
kata lain, dewan direksi tidak boleh menerima keuntungan terselubung untuk
kepentingan pribadi mereka. Mereka tidak diperkenankan memanipulasi harga
saham, atau mendapatkan keuntungan lainnya terkait dengan pengetahuan mereka
atas usaha bank. Hal ini sangat penting untuk dilakukan secara jujur dan sehat
untuk mencegah terjadinya moral hazard dalam manajemen bank.
Untuk itu, Bank Indonesia secara spesifik mengatur tugas
dan tanggung jawab dewan direksi dalam PBI 2009, antara lain:
1.
Direksi
bertanggung jawab penuh atas pelaksanaan pengelolaan BUS berdasarkan prinsip
kehati-hatian dan Prinsip Syariah.
2.
Direksi
wajib mengelola BUS sesuai dengan kewenangan dan tanggung jawabnya sebagaimana
diatur dalam Anggaran Dasar BUS dan peraturan perundang-undangan yang berlaku.
3.
Direksi
wajib melaksanakan GCG dalam setiap kegiatan usaha BUS pada seluruh tingkatan
atau jenjang organisasi, Direksi wajib menindaklanjuti temuan audit dan/atau
rekomendasi dari hasil pengawasan Bank Indonesia, auditor intern, Dewan
Pengawas Syariah dan/atau auditor ekstern.
4.
Dalam
rangka melaksanakan GCG, Direksi wajib memiliki fungsi paling kurang: a. Audit
Intern; b. Manajemen Risiko dan Komite Manajemen Risiko; dan c. Kepatuhan.
5.
Direksi
wajib mempertanggungjawabkan pelaksanaan tugasnya kepada pemegang saham melalui
Rapat Umum Pemegang Saham.
6.
Direksi
harus mengungkapkan kepada pegawai kebijakan BUS yang bersifat strategis di
bidang kepegawaian.
7.
Anggota
Direksi dilarang memberikan kuasa umum kepada pihak lain yang mengakibatkan
pengalihan tugas dan fungsi Direksi.
8.
Direksi
hanya dapat menggunakan jasa konsultan, penasihat, atau yang dapat dipersamakan
dengan itu sepanjang memenuhi persyaratan sebagai berikut: a. proyek bersifat
khusus yang sangat diperlukan untuk kegiatan usaha BUS; b. didasari oleh
kontrak yang jelas, yang sekurang-kurangnya mencakup tujuan, ruang lingkup
kerja, tanggung jawab, jangka waktu pelaksanaan pekerjaan dan biaya; dan c.
konsultan merupakan pihak independen yang profesional dan memiliki kualifikasi
yang cukup untuk melaksanakan proyek secara efektif dan efisien.
9.
Direksi
wajib menyediakan data dan informasi yang akurat, relevan dan tepat waktu
kepada Dewan Komisaris dan Dewan Pengawas Syariah.
10. Setiap anggota Direksi wajib memiliki kejelasan
tugas dan tanggung jawab sesuai dengan bidang tugasnya.
11. Direksi wajib memiliki pedoman dan tata tertib
kerja yang bersifat mengikat bagi setiap anggota Direksi. Pedoman dan tata
tertib kerja paling kurang mencantumkan: a. waktu kerja; dan b. pengaturan
rapat.
12. Setiap keputusan Direksi bersifat mengikat dan
menjadi tanggung jawab seluruh anggota Direksi.
13.
Setiap
kebijakan dan keputusan strategis wajib diputuskan melalui rapat Direksi. Hasil
rapat Direksi wajib dituangkan dalam risalah rapat dan didokumentasikan dengan
baik. Dalam hal terdapat perbedaan pendapat (dissenting opinions) atas
hasil keputusan rapat Direksi, maka perbedaan pendapat tersebut wajib
dicantumkan secara jelas dalam risalah rapat beserta alasannya.
C. Dewan Pengawas Syariah.
Secara umum pengawasan Bank Syariah dilakukan oleh Bank
Indonesia sebagai otoritas Pembina dan pengawas bank. Namun secara khusus
dilakukan oleh Dewan Pengawas Syariah yang ada pada tiap bank yang menjalankan
usahanya berdasarkan prinsip syariah.[10]
Dewan Pengawas Syariah merupakan badan independen yang
bertugas melakukan pengarahan (directing), pemberian konsultasi (consulting),
melakukan evaluasi (evaluating), dan pengawasan (supervising)
terhadap kegiatan bank syariah dalam rangka memastikan bahwa kegiatan usaha
bank syariah tersebut mematuhi (compliance) terhadap prinsip syariah
sebagaimana telah ditentukan oleh fatwa dan syariah islam.
Dewan Pengawas Syariah merupakan keunikan tersendiri
yang dimiliki oleh lembaga keuangan syariah. Organisasi ini terdiri dari
cendekiawan Syariah yang bertugas mengawasi dan memantau kegiatan lembaga
keuangan untuk memastikan bahwa lembaga tersebut patuh terhadap prinsip
syariah.[11]
Adanya Dewan Pengawas Syariah ini merupakan salah satu hal pokok yang
membedakan antara bank konvensional dengan bank syariah. Tugas utama DPS adalah
mengawasi pelaksanaan operasional bank dan produk-produknya supaya tidak
menyimpang dari aturan syariah.
Menurut Standar AAOIFI, dewan syariah setidaknya harus
terdiri atas tiga anggota cendekiawan syariah[12]
yang diangkat berdasarkan rapat umum pemegang saham (RUPS) dan dalam keadaan
tidak merangkap jabatan sebagai konsultan di seluruh Bank Umum Syariah dan/atau
Unit Usaha Syariah.Hal ini perlu dilakukan karena DPS sebagai badan independen
dapat terlepas dari konflik kepentingan.
Dalam pelaksanaan tugasnya, diatur dalam pasal 46
PBI-2009. Berikut Tugas dan Tanggung Jawab Dewan Pengawas Syariah:
1.
Dewan
Pengawas Syariah wajib melaksanakan tugas dan tanggung jawab sesuai dengan
prinsip-prinsip GCG.
2.
Tugas dan
tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah adalah memberikan nasihat dan saran
kepada Direksi serta mengawasi kegiatan Bank agar sesuai dengan Prinsip
Syariah.
3.
Pelaksanaan
tugas dan tanggung jawab Dewan Pengawas Syariah meliputi: menilai dan
memastikan pemenuhan Prinsip Syariah atas pedoman operasional dan produk yang
dikeluarkan Bank, mengawasi proses pengembangan produk baru Bank agar sesuai
dengan fatwa Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia, meminta fatwa
kepada Dewan Syariah Nasional – Majelis Ulama Indonesia untuk produk baru Bank
yang belum ada fatwanya, melakukan review secara berkala atas pemenuhan
Prinsip Syariah terhadap mekanisme penghimpunan dana dan penyaluran dana serta
pelayanan jasa Bank, dan Meminta data dan informasi terkait dengan aspek
syariah dari satuan kerja Bank dalam rangka pelaksanaan tugasnya. Apabila dalam
pelaksanaan produk baru yang telah ditawarkan ternyata tidak memenuhi prinsip
syariah, maka dalam hal ini Dewan Pengawas Syariah tidak memiliki wewenang
untuk menghentikan produk tersebut karena ini merupakan otoritas Bank Indonesia
sebagai Bank Sentral yang menghentikan produk yang dimaksud.
4.
Dewan
Pengawas Syariah wajib menyampaikan Laporan Hasil Pengawasan Dewan Pengawas
Syariah secara semesteran yang disampaikan kepada Bank Indonesia paling lambat
2 (dua) bulan setelah periode semester dimaksud berakhir. Dalam laporannya
dibuat pernyataan bahwa bank yang diawasinya telah berjalan sesuai dengan
ketentuan syariah. Pernyataan ini kemudian dimuat dalam laporan keuangan bank.[13]
5.
Dari segi
kinerja bisa jadi tugas Dewan Pengawas Syariah lebih berat dari dewan
komisaris. Hal ini bisa dilihat dari jumlah rapat yang wajib dilakukan oleh
Dewan Pengawas Syariah dibandingkan oleh Dewan Komisaris. Dalam Pasal 49 ayat 1
PBI-2009 disebutkan rapat Dewan Pengawas Syariah wajib diselenggarakan paling
kurang 1 (satu) kali dalam 1 (satu) bulan. Sedangkan bagi dewan komisaris wajib
diselenggarakan paling kurang 1 (satu) kali dalam 2 (dua) bulan.
Dewan Pengawas Syariah di
Berbagai Negara
Dalam tulisan ini akan
dijelaskan pelaksanaan Dewan Pengawas Syariah di beberapa negara muslim
diantaranya Malaysia, Kuwait, Pakistan,dan dan non-muslim seperti Inggris.
Alasan memilih keempat negara tersebut karena Malaysia dan Kuwait memiliki
kemiripan dengan Indonesia yang mengadopsi dual banking system. Pakistan
sistem perbankan secara keseluruhan menerapkan system perbankan sesuai dengan
syariat Islam (full fledged Islamic financial system). Sedangkan Inggris
adalah negara non-muslim yang menerapkan sistem konvensional namun memberikan
penawaran produk berasaskan prinsip Islam melalui Unit Usaha Syariah (Islamic
Window).
A. Malaysia
Malaysia merupakan negara pertama yang memperkenalkan sistem
perbankan Islam di Asia Tenggara, yakni ketika beroperasinya Bank Islam
Malaysia Berhad pada 1983 setelah disahkannya Undang-Undang Perbankan Islam
Nomor 276 tahun 1983. Setelah 10 tahun, pada tanggal 4 Maret 1993, Bank Negara
Malaysia memperkenalkan skema dikenal sebagai “Skema Perbankan Bebas Bunga”
dimana bank konvensional mungkin menawarkan produk perbankan Islam melalui unit
usaha syariah. Dengan kebijakan itu, banyak bank konvensional yang membuka unit
usaha syariah sehingga beberapa cendekiawan muslim dipilih untuk menjadi
anggota komite syariah (dewan pengawas syariah).
Sebagai bagian dari upaya untuk menyelaraskan penafsiran Syariah
antara bank dan perusahaan takaful, maka Bank Negara Malaysia mendirikan Dewan
Syariah Nasional pada 1 Mei 1997.Dewan ini adalah otoritas tertinggi di
industri perbankan Islam dan takaful di Malaysia.
Dewan Syariah Nasional di Malaysia merupakan otoritas
yang berhubungan dengan bisnis perbankan Islam, takaful, bisnis keuangan Islam,
pengembangan bisnis keuangan Islam, atau bisnis lain yang didasarkan pada
prinsip-prinsip Syariah yang diawasi dan diatur oleh Bank Negara
Malaysia.Kualifikasi pemilihan anggota Dewan Pengawas Syariah di Malaysia dan
Indonesia sama yaitu memiliki pengetahuan keahlian, atau pengalaman yang
diperlukan dalam bidang Hukum Islam (Ushul al-Fiqh), maupun hukum dagang (Fiqh
al-mu'amalat).Selain itu, harus memiliki reputasi yang baik, berkarakter, dan
memiliki integritas yang baik. Namun Dewan Pengawas Syariah di Malaysia
memiliki aturan yang sangat ketat dibanding Dewan Pengawas Syariah di Indonesia
seperti pendiskualifikasi mereka yang tidak melaksanakan tugasnya dengan baik,
tidak menghadiri 75 persen pertemuan yang telah dijadwalkan dalam satu tahun
tanpa alasan yang wajar, dan pemecatan bagi mereka yang dinyatakan bersalah
atas tindak pidana yang serius, atau pelanggaran lainnya dan diancam dengan
pidana penjara satu tahun atau lebih.
B. Pakistan
Pada 1947 ketika Pakistan tampil sebagai sebuah negara
yang merdeka dan berdaulat mereka mulai melakukan pembaruan sistem perbankan.
Namun, Implementasi sistem keuangan Islam di Pakistan dimulai sejak 1949 dengan
sistem perbankan secara keseluruhan sesuai dengan syariat Islam (full
fledged Islamic financial system).
Berbeda dengan Indonesia pembentukan Dewan Syariah
berada dalam Bank Negara Pakistan. Dewan Syariah merupakan otoritas tunggal
yang berkaitan dengan keuangan Islam.
Berbeda dengan Indonesia dan Malaysia, setiap anggota
Dewan Syariah di Bank Negara Pakistan diperbolehkan untuk menjadi dewan
pengawas syariah di lembaga keuangan. Namun hanya dibatasi untuk satu lembaga
keuangan saja.
C. Kuwait Model
Bank syariah pertama di Kuwait, Kuwait Finance House,
berdiri pada 1977. Akan tetapi, regulasi yang dibutuhkan baru dikeluarkan pada
tahun 2003, yaitu UU Nomor 30 Tahun 2003 tentang Bank Sentral Kuwait, sebagai
tambahan terhadap Bab 3 UU Nomor 32 Tahun 1968. Pengaturan terkait dengan Dewan
Pengawas Syariah diatur dalam UU 32/1968 tentang Bank Sentral Kuwait bahwa
bahwa setiap lembaga keuangan Islam harus memiliki Dewan Pengawas Syariah
sendiri. Sehingga di dalam Bank Sentral Kuwait tidak memiliki Dewan Syariah.
Jika terjadi konflik di antara anggota Dewan Pengawas Syariah tentang keputusan
Syariah, Dewan Direksi dari Institusi Keuangan Islam yang ditunjuk dapat
melaporkannya kepada “Dewan Fatwa” di Kementerian Wakaf dan Urusan Islam.
Keputusan dari Dewan Fatwa di Departemen Wakaf dan Urusan Islam akan menjadi
otoritas final atas konflik yang terjadi.Memang hampir mirip dengan Indonesia
tetapi yang membedakannya jika terjadi perbedaan pendapat mengenai keputusan
Syariah, dewan direksi dapat meminta fatwa kepada Komisi Fatwa Dewan Syariah
Nasional Majlis Ulama Indonesia (DSN-MUI). Kemudian fatwa tersebut menjadi
landasan untuk membuat Peraturan Bank Indonesia.
Selanjutnya hal yang berbeda dengan Indonesia mengenai
pengaturan bagi anggota Dewan Pengawas Syariah. Di Kuwsait tidak ada batasan
bagi anggota Dewan Pengawas Syariah untuk menjadi DPS lebih dari satu lembaga
keuangan. Sedangkan di Indonesia membatasi bahwa kewenangan DPS untuk rangkap
jabatan.
D. Inggris
Kehadiran bank syariah ternyata tidak hanya dilakukan
oleh masyarakat muslim, tetapi juga bank milik non muslim. Saat ini bank Islam
sudah tersebar diberbagai negara muslim dan non muslim, baik di benua Amerika,
Australia, dan Eropa, termasuk di Britania Raya.
Pada tahun 1980 transaksi berbasis syariah sudah terjadi
di pasar keuangan London. Komoditi Murabahah merupakan yang sering dugunakan di
London Metal Exchange. Selanjutnya Beberapa lembaga keuangan
internasional besar seperti Citi Bank, Deutsche Bank, dan HSBC telah hadir di
Timur Tengah dan Asia Tenggara selama beberapa tahun. Sehingga, mereka memiliki
pengalaman untuk mengakomodasi permintaan dan mengembangkan produk-produk
Islam, dengan membuka Unit Usaha Syariah yang berbasis di Inggris. Unit Usaha
Syariah ini telah memberikan kontribusi signifikan terhadap perkembangan
keuangan Islam di Inggris karena sebagai institusi global mereka memiliki
pengalaman dalam pengembangan produk dan akses mereka ke sumber daya yang jauh
lebih besar daripada yang tersedia di Timur Tengah dan Asia Tenggara.
Pada akhir 2004 lalu, Inggris memproklamirkan sebuah
bank berbasis Islam Ini merupakan bank Islam pertama di Inggris yang lahir
untuk menjawab permintaan dari lebih kurang 1,8 juta penduduk Muslim Inggris
sekaligus merupakan bank Islam pertama di Eropa. Masyarakat keuangan di Inggris
pun menyambut baik kehadiran bank Islam di negaranya. Bank yang pertama
memperoleh izin untuk menyelenggarakan prinsip perbankan yang murni syariah ini
diberi namaIslamic Bank of Britain atau Bank Islam Britain (BIB).
Terbentuknya bank ini merupakan hasil kerja sama Islamic Joint Venture Partnership
(IJVP) dengan kepemilikan saham yang didominasi oleh saham perseorangan,
yaitu dari Qatar, Uni Emirat Arab, dan Arab Saudi. Izinnya (lisensinya)
diperoleh langsung dari The Financial Services Authoritys (FSA).
FSA adalah sebuah lembaga independen yang bertugas
sebagai regulator dan pengawasan terhadap institusi keuangan baik dari
perbankan maupun pasar modal. Dalam industri perbankan syariah, FSA juga
berperan untuk menguji kompetensi calon Dewan Pengawas Syariah.
Bagi FSA, Dewan Pengawas Syariah diasumsikan sebagai
Direktur perusahaan sehingga harus didaftarkan secara resmi di bawah
persetujuan FSA. Untuk menilai kesesuaian seseorang tersebut, FSA memiliki
standar yang dikenal sebagai “Fit and Proper Test”. Jadi, hanya calon
yang memiliki kompetensi dan pengalaman yang relevan yang akan direkrut.
PENUTUP
Dalam lembaga keuangan permasalahan asymetri information
sangat dominan. Dengan pendekatan Principal Theory, nasabah dan pemilik menjadi
principal dan manajemen menjadi agent. Oleh karenya diperlukan regulasi untuk
menselaraskannya. Selain itu, Dewan pengawas syariah dan Bank Indonesia sebagai
pemegang otoritas pengawasan tidak bisa bekerja sendiri tanpa adanya unsur
keterbukaan, untuk itu perbankan, dituntut pula memiliki penguasaan administrasi,
juga memiliki integritas yang tinggi dibidang kepatuhan syariah yang difatwakan
oleh dewan syariah nasional.
Hal ini perlu dilakukan mengingat Bank merupakan suatu
perusahaan yang menjalankan fungsi intermediasi atas dana yang diterima dari
nasabah. Jika sebuah bank mengalami kegagalan, dampak yang ditimbulkan akan
meluas mempengaruhi nasabah dan lembaga-lembaga yang menyimpan dananya atau
menginvestasikan modalnya di bank, dan akan menciptakan dampak ikutan secara
domestik maupun pasar internasional.
Karena pentingnya peran bank dalam melaksanakan
fungsinya maka perlu diatur secara baik dan benar. Hal ini bertujuan utnuk
menjaga kepercayaan nasabah terhadap aktivitas perbankan. Salah satu peraturan
yang perlu dibuat untuk mengatur perbankan adalah peraturan mengenai permodalan
bank yang berfungsi sebagai penyangga terhadap kemungkinan terjadinya kerugian.
DAFTAR
PUSTAKA
Abdullah, Mal An Abdullah, Corporate
Governance Perbankan Syariah di Indonesia Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2010
Antonio, Muhammad Syafi’I, Bank
Syariah Dari Teori ke Praktek Jakarta: Gema Insani, 2001.
Ayub, Muhammad, Understanding
Islamic Finance Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009
Chapra, M. Umer dan Habib Ahmed, Corporate
Governance Lembaga Keuangan Syariah Jakarta: Bumi Aksara, 2008.
Gandapradja, Permadi, Dasar dan
Prinsip Pengawasan Bank Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004.
Grunieng, Hennie van dan Zaid Iqbal
dalam Simon Archer dan Rifaat Ahmed Abdel Karim, Islamic Finance: The
Regulatory Challenge Singapura: John willey & Son, 2007.
Rae, Dian Ediana Rae, Transaksi
Derivatif dan Masalah Regulasi Ekonomi di Indonesia Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2008, 248.
Undang-undang No 23 Tahun 1999
tentang Bank Indonesia
Usman, Rachmadi, Aspek-aspek hukum
perbankan di Indonesia Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama, 2003
Wibowo, Muh. Ghafur Potret
Perbankan Syariah Terkini: Kajian Kritis Perkembangan Perbankan Syariah
Terkini Yogyakarta: Biruni Press, 2007.
[1]M. Umer Chapra dan
Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), h. 70.
[2] Muh. Ghafur Wibowo, Potret
Perbankan Syariah Terkini: Kajian Kritis Perkembangan Perbankan Syariah
Terkini (Yogyakarta: Biruni Press,2007), h. 28.
[3] Pasal 30
Undang-undang No 23 Tahun 1999 tentang Bank Indonesia
[4] Permadi Gandapradja, Dasar
dan Prinsip Pengawasan Bank (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2004), h. 1.
[5] Dian Ediana Rae, Transaksi
Derivatif dan Masalah Regulasi Ekonomi di Indonesia (Jakarta: PT Elex Media
Komputindo, 2008), h. 248.
[6] M. Umer Chapra dan
Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), h. 101.
[7] Mal An Abdullah, Corporate
Governance Perbankan Syariah di Indonesia (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media,
2010), h. 75.
[8] M. Umer Chapra dan
Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), h. 43-44.
[9] M. Umer Chapra dan
Habib Ahmed, Corporate Governance Lembaga Keuangan Syariah (Jakarta:
Bumi Aksara, 2008), h. 46.
[10] Rachmadi Usman, Aspek-aspek
hukum perbankan di Indonesia (Jakarta: PT Gramedia Pustaka utama, 2003), h.
68.
[11] Hennie van Grunieng
dan Zaid Iqbal dalam Simon Archer dan Rifaat Ahmed Abdel Karim, Islamic
Finance: The Regulatory Challenge (Singapura: John willey & Son, 2007),
h. 28.
[12] Muhammad Ayub, Understanding
Islamic Finance (Jakarta: PT Gramedia Pustaka Utama, 2009), h. 590.
[13] Muhammad Syafi’i
Antonio, Bank Syariah Dari Teori ke Praktek (Jakarta: Gema Insani,
2001), h. 50.
assalammualaikum, saya maau berkomentar, bahwa Sejak tanggal 31 Desember 2012, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Pasar Modal, Perasuransian, Dana Pensiun, Lembaga Pembiayaan, dan Lembaga Jasa Keuangan Lainnya beralih dari Menteri Keuangan dan Badan Pengawas Pasar Modal dan Lembaga Keuangan ke OJK.
BalasHapusdan Sejak tanggal 31 Desember 2013, fungsi, tugas, dan wewenang pengaturan dan pengawasan kegiatan jasa keuangan di sektor Perbankan beralih dari Bank Indonesia ke OJK.
hal ini sesuai amanat UU No 21 Tahun 2011 tentang otoritas jasa keuangan.