PERJANJIAN DAN
IMPLEMENTASI PEMBIAYAAN AKAD AL- MUDHARABAH PADA BANK SYARIAH
Oleh
NURLINA
NIM: 01.133.108
PRODI : EKIS 4
SEKOLAH TINGGI
AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN)
WATAMPONE
2017
A.
Pendahuluan
Salah satu kebersyukuran dari umat Islam Indonesia, yakni
pemegang otoritas kekuasan di Indonesia telah menggaransi kehidupan hukum bagi masyarakat
Islam Indonesia melalui legalisasi beberapa nilai-nilai hukum terutama
berkaitan dengan bidang-bidang hukum privat termasuk bidang hukum
munakahat ke dalam produk undang-undang
nasional, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam
Lembaran Negara RI Nomor 1 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004
tentang Wakaf dalam Lembaran Negara RI Nomor 159 Tahun 2004, Undang-Undang
Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam Lembaran Negara
RI Nomor 22 Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan
Syariah dalam Lembaran Negara RI Nomor 94 Tahun 2008, Instruksi Presiden Nomor
1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan oleh Presiden RI
pada tanggal 10 Juni 1991, dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia
Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang ditetapkan oleh
Ketua Mahkamah Agung tanggal 10 September 2008, serta masih banyak lagi
peraturan hukum tertulis lainnya yang mengatur tentang bidang-bidang
keperdataan yang tunduk berdasarkan dogma hukum Islam.[1]
Pembiayaan mudharabah merupakan perjanjian atas sesuatu
jenis perkongsian, dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan dana dan
pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan
hasil usaha dibagi sesuai dengan nisbah porsi bagi hasil yang telah disepakati
bersama sejak awal maka kalau mengalami kerugian shahibul maal akan kehilangan
sebagian imbalan dari hasil kerja keras dan managerial skill selama proyek
berlangsung. Mudharabah disebut juga qiradh yang berarti “memutuskan”. Dalam
hal ini, si pemilik modal telah memutuskan untuk menyerahkan sejumlah uang
untuk .
diperdagangkannya berupa barang-barang dan memutuskan
sekalian sebagian dari keuntungan bagi pihak kedua orang yang berakad qiradh
ini. Berdasarkan kenyataan di atas,
perlu suatu titik temu agar keinginan para pihak tersebut dapat disatukan satu
sama lain. Kerjasama mudharabah antara pemilik modal dan pelaksana usaha
merupakan langkah tepat, sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad SAW ketika
bekerjasama dengan seorang wanita pengusaha bernama Siti Khadijah. Adapun
caranya, Khadijah menyerahkan modal berupa barang dagangan untuk di bawa
Muhammad berniaga antara negeri Mekkah dengan Syam (Syiria).
B.
Pengertian
al-mudharabah
Al-
mudharabah adalah akad perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan kerja
sama usaha.satu pihak akan menempatkan modal sebesar 100% yang di sebut dengan shahibul maal, dan pihak lainnya sebagai
pengelelolah usaha, di sebut dengan mudharib.bagi
hasil dari usaha yang di kerjasamakan di hitung sesuai dengan nisbah yang di
sepakati antara pihak-pihak yang berkerja sama. [2]
Secara
muamalah, pemilik modal (shahibul maal) menyerahkan modalnya kepada pedagang/
pengusaha. Untuk di gunakan dalam aktivitas perdagangan atau usaha. Keuntungan
atas usaha perdangangan yang di lakukan oleh mudharib itu akan di bagihasilkan
dengan shahibul maal pembagian hasil usaha ini berdasarkan yang telah di
sepakatkan dalam akad.
Tabungan
mudharabah di pergunakan oleh bank dalam mengelolah jasa simpanan dari nasabah
yang ingin menitipkan dananya untuk tujuan-tujuan tertentu. tujuan yang di
makksud biasanya berkaitan dengan hajat beribadah yang di butuhkan dana besas
dan tidak terjangkau.sperti ibadah qurban, ibadah haji, atau pendidikan. Atas
dasar tersebut tabungan mudharabah sering juga di sebut dengan tabungan
berjangka(targeted saving). Berbeda
dengan wa’diah yang besifat tabungan biasa.[3]
C.
Perkembangan
pembiayaan mudharabah pada bank
syariah
Dalam
sejarah perbankkan nasional, Indonesia pernah mengalami krisis perbankkan.
Dalam waktu singkat, dari bulan juli 1997 sampai dengan 13 maret 1999,
pemerintah telah menutup tidak kurang dari 55 bank. Selain itu pemerintah telah
mengambil alih 11 bank (bank take over). Selanjutnya
pemerintah melakukan rekapitulasi terhadap 9 bank lainya. Dan semua bank
BUMN serta BPD harus ikut di
rekapitulasi. Dari 240 bank yang ada sebelum krisis moneter kini hanya tinggal
73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah. Biaya rekturisasi
dan penyehatan perbankkan Indonesia akan sangat mahal. Ada kemungkinan sebagian
besar biaya penyelamatan perbankkan tersebut akan di tanggung rakyat melalu APBN.[4]
Akibat kerugian usaha selama bulan maret hinggah april 2001 beberapa bank
gulung tikar. Untuk mengurangi bank-bank yang bermasalah pemerintah telah
mengeluarkan dana 640 triliun rupiah. Majalah asiaweek menilai perbankkan
Indonesia berada dalam keadaan yang menghawatirkan justru pada saat perbankkan
lain mulai bangkit dari krisis.
Di
saat prekonomian nasional mengalami krisis dan dunia perbankkan belum tampak
akan pulih , perbankkan islam akan menunjukkan fenomena yang perkembangannya
telah mengejutkan para pengamat perbankkan. Konvensional maupun kalangan
perbankkan konvensional. Bank-bank besar dari Negara-negara non muslim telah
memasuki pasar perbankkan islam dengan membuka Islamic window,tidak kurang dari Citibank, chasemanhattan bank, ANZ
bank dan jardine fleming, telah membuka Islamic window agar dapat berkiprah
memberikan jasa-jasa perbankkan islam.
Demikian
halnya perbankan syariah di Indonesia pasca reformasi mengalami perkembangan
yang siknifikan, terutama sejak di perkenankanya konversi cabang bank umum
konvensional menjadi bank syariah, sehinggah bermunculan bank yang membuka cabang
syariah atau mengkorvensikan menjadi bank syariah.
Namun
kita dapat menutup mata bahwa masih banyak masyarakat yang memiliki persepsi
yang keliru terhadap bank syariah, bank syariah sering di persepsikan sebagai
baitul maal yaitu lembaga sosial yang membantu pengembangan umat. Implikasinya
adalah:
a. Bank
syariah tidak boleh meminta jaminan dalam pembiayaannya.
b. Bank
syariah tidak boleh mengenakan denda bila nasabah tidak membayar tepat waktu.
c. Bank
syariah tidak boleh menyita jaminan.
Bank
syariah di persepsikan sebagai bank bagi hasil. Implikasinya adalah:
1. Untuk
semua kebutuhan nasabah harus menggunakan mudharabah/musyarakah.
2. Bagi
hasil harus lebih menguntungkan di banding bunga bank, sehinggah bagi hasil
nasabah pembiayaan harus lebih kecil dari pada bunga, sedangkan bagi hasil
nasabah penyimpan harus lebih besar dari pada bunga.
3. Bagi
hasil di bayar setahun sekali seperti pembayaran deviden,
4. Bank
akan turut campur dalam manajemen perusahaan nasabah.
5. Bank
akan turut memiliki perusahaan nasabah.
D.
Unsur dan syarat perjanjian mudharabah
seperti
telah di uraikan bahwa mudharabah adalah suatu transaksi pembiayaan berdasarkan
syariah. Transaksi mudharabah di gunakan juga sebagai transaksi pembiayaan
islam. Menurut Elias G .kazarian yang di kutip oleh Sutan Remy Syahdaeni,
unsure utama perjanjian mudharabah adalah kepercayaan.[5]
Kepercayaan
adalah unsur yang paling penting dalam
mudharabah, yaitu kepercayaan dari shahibul mal kepada mudharib. Lebih jauh
Sutan Remy Syahdaeni Mengatakan kepercayaan merupakan unsure terpenting karna
dalam transaksi mudharabah, shahibul mal tidak boleh meminta jaminan atau
agunan dari mudharib, shahibul mal juga tidak boleh ikut campur dalam
pengelolaan proyek atau usaha yang nota bene di biayai dengan dana shahibul mal
tersebut. Dengan demikian mudharib mengelolah dan menjalankan usaha atau proyek
tersebut tanpa camur tangan dari shahibul mal. [6]
Menurut
Sutan Remy Syahdaeni, karna unsure kepercayaan merupakan unsure penentu , maka
dalam perjanjian mudharabah, shahibul mal juga dapat mengakhiri perjanjian
secara sepihak apabila shahibul mal tidak lagi memiliki kepercayaan kepada
mudharib.
Selanjutnya
akan di uraikan syarat-syarat perjanjian mudharabah . syarat- syarat perjanjian
operasional yang di perlukan dalam pelaksanaan
Pembiayaan mudharabah
antara lain sebagai berikut:
a. Modal
harus jelas jumlahnya.
b. Jika
modal berbentuk barang maka harus di taksir berbentuk rupiah,
c. Modal yang di berikan oleh bank harus
berbentuk tunai dan di serahkan kepada nasaba;
d. Keuntungan
di bagi setelah seluruh atau sebagian
modal di kembalikan
Meneurut
penulis syarat- syarat perjanjian mudharabah yang di kemukakan oleh para pakar
tersebut di atas, masih sangat umum, tidak jauh berbeda dengan syarat
perjanjian musyarakah.
Syarat
perjanjian mudharabah yang paling rinci di kemukakan oleh Sutan Remy Syahdaeni.
Menerangkan syarat-syarat perjanjian mudharabah dari berbagai pustaka dan
menghubungkannya dengan hokum positif, yaitu.
1. Pejanjian
mudharabah dapat di buat secara formal maupun informal, secara tertulis maaupun
lisan.
2. Perjanjian mudharabah dapat pula di
langsungkan antara beberapa shahibul mal dan beberapa mudharib (seperti halnya
kredit sindikasi). \
3. Pada hakekatnya kewajiban utama shahibul mal
adalah menyerahkan modal mudhaarabah kepada mudharib, bila hal itu tidak di
lakukan, maka perjanjian tidak sah;
4. Para
pihak harus cakap bertindak hokum;
5. Shahibul
mal berkewajiban menyediakan dana , mudharib kewajiban menyediakan keahlian,
waktu, pikiran, upaya untuk mengelola proyek atau kegiatan usaha. ;
6. Shahibul
mal berhak memproleh kembali investasi dari hasil likuidasi usaha mudharbah
tersebut apanila usaha mudharabah telah di selesaikan mudharib dan jumlah hasil
likuidasi itu cukup untuk pengembalian dana investasi tersebut.
7.
Shahibul mal tidak
boleh meminta jaminan dari mudharib , persyaratan yang demikian itu dalam
perjanjian mudharabah batal dan tidak berlaku.
E.
Aplikasi
perjanjian mudharabah pada bank syariah.
Prinsip
bagi hasil (profit sharing) merupakan
karakteristik umum dan landasan dasar
bagi operasional bank islam secara keseluruhan. Secara syariah prinsipnya
berdasarkan kaidah al- mudharabah. Berdasarkan
prinsip ini bank islam akan berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung
maupun bagi pengusaha yang meminjam dana. Dengan menabung baik akan bertindak
sebagai mudharabah/ pengelola , sedangkan penabung sebagai shahibul mal/
penyandang dana. Antara keduanya diadakan akad mudharabah yang menyatakan pembagian keuntungan masing-masing
pihak.
Disisi
lain pengusaha atau peminjam dana, baik islam akan bertindak sebagai shahibul mal ( penyandang dana, baik
yang berasal dari tabungan /deposito/ maupun dana bank sendiri berupa modal
pemegang saham). Se,emtara itu pengusaha atau peminjam akan berfungsi sebgai
mudharib atau pengelola karna telah melakukan usaha dengan cara memutar dan
mengelola dana bank. [7]
Dari
uraian di atas. Tampak bahwa sebagai slah satu prinsip atau tekni financial
dalam ekonomi islam, dalam operasional perbankan syariah
Mudharabah telah di perluas meliputi 3 pihak .
1. Para
nasabah menyimpan dana(depositor) sebagai shahibul mal;
2. Bank
sebagai suatu intermediary; dan
3. Pengusaha
sebagai mudharib yang membutuhkan dana . bank bertindak sebagai
pengusaha(mudharib) dalam hal bank menerima dana dari nasabah penyimpan
dana(depositor). [8]
Syarat
–syarat sahnya perjanjian mudharabah dalam perbankan islam.[9]
1. Bank
menerima dan dari nasabah menyimpan dana dalam bentuk mudharabah tidak
terbatas.
2. Bank
boleh menggunakan dana yang di terima untuk keperluan investasi bank ;
3. Untuk
menentukan besarnya keuntungan nasabah dan membayar keuntungan itu, bank
mengumpulkan semua keuntungan dari semua proyek (investasi) yang di biayai
bank.
4. Bank
dalam memberikan pembiayaan di lakukan dengan mudharabah terbatas. Bank tidak
boleh mencampuri manajemen nasabah yang memperoleh pembiayaan mudharabah.,
5. Dlam
mudharabah, bank tidak boleh meminta jaminan apapun ,
6. Tanggung
jawab shahibul mal dan mudharib;
7. Pembagian
keuntungan di tentukan di muka;
8. Mudharib boleh di beri gaji.
F. Konsep Mudharabah dalam Perspektif
Perjanjian Syariah
Al-Fairuz Abadi di dalam al-Qâmûs al-Muhîth mengatakan:
Mudhârabah secara bahasa: al-mudhârabah dari dharaba; dharabat
ath-thayru tadhribu berarti pergi mencari rezeki; dharaba fi al-ardhi
dharb[an] wa dharbân[an]: keluar berdagang atau berperang, atau bergegas
atau pergi. Dharaba fi al-ardhi bermakna safar (bepergian) seperti
dinyatakan dalam Quran Surah An-Nisa’: 101. Adakalanya bepergian itu untuk
mencari rezeki (QS al-Muzammil:73)
Menurut Ibn Manzhur di dalam Lisan al-‘Arab, kata
mudharib digunakan untuk menyebut al-âmil, sebab dialah yang
bepergian, datang dan pergi mencari rezeki. Mudhârabah adalah istilah
penduduk Irak dan lebih banyak digunakan oleh mazhab Hanafi dan Hanbali.
Penduduk Hijaz menyebut mudharabah dengan qirâdh
atau muqâradhah (Nasrodin, 2009:242), yang lebih banyak digunakan
oleh ulama mazhab Syafii dan Maliki. Secara istilah, mudhârabah atau qirâdh,
adalah persekutuan badan dengan harta. Maknanya, seseorang menyerahkan hartanya
.
G.
Implementasi Pembiayaan
Mudharabah di Bank Syariah
slam
memosisikan kegiatan ekonomi sebagai salah satu aspek penting untuk mendapatkan
kemuliaan (falah), dan karenanya kegiatan ekonomi-sebagaimana kegiatan
lainnya-perlu dituntun dan dikontrol agar berjalan seirama dengan ajaran Islam
secara keseluruhan. Diantara inovasi keuangan yang ada pada perbankan syariah adalah produk
pembiayaan dengan skema mudharabah. Namun Bank Indonesia menyebutkan
bahwa produk utama perbankan syariah yang umumnya ditawarkan menggunakan skema debt
based financing (murabahah dan ijarah).[10]
Hingga Desember 2014 produk pembiayaan perbankan syariah yang paling besar
proporsinya adalah produk murabahah (59% total pembiayaan), sedangkan
ijarah 6%. Bagi perbankan, produk-produk tersebut juga menjadi produk favorit
bank, dikarenakan skema transaksinya yang mudah diterapkan dan tidak berisiko
tinggi. Murabahah dianggap sebagai salah satu produk yang banyak
dikritisi akademisi karena dalam skema ini, tidak terjadi sharing risiko
antara bank dengan nasabah.Risiko sepenuhnya ditanggung oleh nasabah, sedangkan
bank syariah relatif aman dari risiko.
Para
teoritikus perbankan Islam mengemukakan aktivitas investasi dalam bank Islam
didasarkan pada dua konsep yang legal, yaitu mudharabah dan musyarakah,
sebagai alternatif dalam menerapkan sistem bagi hasil (profit and loss
sharing/PLS). Teori ini menyatakan, bahwa bank Islam akan memberikan sumber
pembiayaan (finansial) yang luas kepada peminjam (debitur) berdasarkan atas
bagi risiko (baik menyangkut keuntungan maupun kerugian), yang berbeda dengan
pembiayaan (finansial) sistem bunga pada dunia perbankan konvensional yang
semua risikonya ditanggung oleh pihak peminjam (debitur).[11]
Konsep bagi hasil, dalam menghadapi
ketidakpastian merupakan salah satu prinsip yang sangat mendasar dari ekonomi
Islam, yang dianggap dapat mendukung aspek keadilan. Secara definitif,
aktivitas bagi hasil adalah sebuah usaha yang dibangun berdasarkan kesepakatan
antara pemodal dan pengusaha untuk memberikan pembagian hasil berdasarkan
persentase tertentu dari hasil usaha.
Kesepakatan
ini dilakukan secara adil dan transparan. Adil artinya setiap mitra mendapatkan
bagi hasil sesuai dengan kontribusi yang diberikannya, baik modal, keterampilan
maupun tenaga, sementara transparan diartikan bahwa pemodal dan pengusaha
saling mengetahui jumlah bagi hasil yang diperolehnya dan progress usaha
itu sendiri. Mudharabah adalah suatu pernyataan yang mengandung pengertian
bahwa seseorang memberi modal niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan
dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai
perjanjian, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal.
Seharusnya, dalam kondisi ideal perekonomian,
akad mudharabah dan musyarakah dengan skema profit loss
sharing adalah yang sebaiknya paling banyak diimplementasikan oleh
perbankan syariah karena skema profit loss sharing ini membagi risiko
antara bank dan nasabah. Sehingga ketika perekonomian sedang menurun, potensi
terjadinya kredit macet secara sistemik dapat dihindari atau diminimalisir.
loss
sharing juga dianggap lebih unggul karena banyak
digunakan untuk sektor produktif. Al mudharabah biasanya diterapkan pada
produk pembiayaan dan pendanaan. Rendahnya pembiayaan dengan skema bagi hasil
pada bank syariah menunjukkan bank syariah masih belum mampu menempatlan diri
pada posisi yang siap melakukan sharing risk dengan nasabahnya. Dominasi
pembiayaan skema jual beli (murabahah) pada sisi yang lain menunjukkan
bahwa bank syariah masih pada posisi yang hanya siap melakukan tranfer risk ke
pihak nasabahnya. Oleh karena itu agar bank syariah dapat meningkatkan
pembiayaan skema bagi hasil perlu diatasi kendala yang berkaitan dengan
implementasi pembiayaan skema bagi hasil pada bank syariah.
H.
Kendala Pembiayaan Mudharabah
Bank
enggan berpartisipasi pada instumen Profit Loss Sharing (PLS) karena
beberapa alasan, diantaranya adalah risiko inheren pada bank, tambahan biaya monitoring,
kurangnya transparansi dan keengganan para deposan untuk mengambil risiko.Pada
penerapan skema mudharabah di produk pembiayaan, diantara problemnya
pada operasional perbankan Islam adalah : standar moral, ketidakefektifan model
pembiayaan bagi hasil, berkaitan dengan para pengusaha, segi biaya, segi
teknis, kurang menariknya sitem bagi hasil dalam aktivitas bisnis, serta
permasalahan efisiensi. Sedangkan musyarakah bukan sesuatu yang umum
dalam portofolio bank Islam, karena bank umumnya berfungsi sebagai lembaga
intermediasi bukan untuk berpartisipasi dalam bisnis sebagai mitra bisnis atau
mendasarkan pembiayaan berbasis ekuitas Salman Ahmed Shaikh (2011) mengemukakan
bahwa intermediasi keuangan dapat dilakukan melalui equity financing.
dapat
meringankan dari sisi keuangan dan menjadi pembeda atas utang berbasis
pembiayaan komersial, serta ada sedikit ruang untuk menunjukkan perbedaan atas
pembayaran utang yang jumlahnya telah ditetapkan di depan. Agency problem dan
moral hazard menjadi tantangan dalam menerapkan Islamic equity
financing. Masalah agency dalam kontrak mudharabah dapat
terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya : penggunaan biaya proyek yang berlebihan,
penahanan keuntungan yang akan dibagikan kepada pemilik modal, dan berbagau
kecurangan yang dapat mengurangi laba atau aset perusahaan (Muhammad, 2005b).
Dengan melakukan simulasi, penelitian Shaikh menganalisis agency problem dalam
mudharabah dan dampaknya terhadap imbalan secara ekonomi diantara para
pihak yang bermitra. Berdasarkan penelaahanmya, Shaikh menyajikan dua
kemungkinan perjanjian yang dapat membuat model pembiayaan mudharabah lebih
diterima dan secara luas digunakan dalam intermediasi keuangan yaitu dengan dua
perjanjian yang dapat dilakukan : a) Mudharib diminta untuk memberikan
kontribusi modal. b) Mudharib diminta untuk berbagi dalam kerugian
sampai batas tertentu. Kedua perjanjian tersebut akan dapat meminimalisir
masalah adverse selection, moral hazard dan principal-agent conflict.
Kesimpulan penelitian Shaikh adalah bahwa dengan adanya perjanjian, maka equity
financing dapat digunakan secara lebih luas. Namun menurut Shaikh masih
terjadi ironi dimana nilai-nilai Islam seperti keadilan (justice),
persamaan (equality), kebenaran (truth), kepercayaan (trust),
kebaikan (kindness), kejujuran (honesty) dan pertanggungjwaban (responsibilty)
yang sering disebut dalam literatur dan seminar-seminar ekonomi Islam, dalam
kenyataan, kurangnya nilai-nilai tersebut dalam praktik adalah alasan utama
mengapa mode partisipatif tetap tidak dapat digunakan.
I.
Peluang
Pembiayaan Mudharabah
Disamping
kendala, ada juga peluang untuk mengembangkan pembiayaan skema mudharabah di
Indonesia yaitu kerjasama antara bank syariah dengan Baitul Mal wa Tamwil (BMT).
Hasil penelitian Zaenuri (2014) pada kemitraan yang telah terbangun dan
belum terbangun antara BMT dan bank syariah di Jawa Tengah menunjukkan bahwa
pola kerjasama antara BMT dengan bank syariah cukup bervariasi dengan akad yang
dipakai bervariasi pula. 28 Bentuk model yang dipakai pada dasarnya hasil
negosiasi kedua belah pihak dengan memperhatikan kepentingan masing-masing.
Model executing adalah yang paling banyak dipakai dimana bank syariah
memberi pembiayaan kepada BMT dan BMT menyalurkan dana tersebut atas nama BMT
sendiri dengan segala untung dan risikonya. Hanya sedikit yang memakai pola channeling
dimana BMT hanya menjadi penyalur pembayaran bank kepada para nasabah kredit
mikro perbankan. [12]Dari
segi kemitraan ideal BMT dan bank syariah, diketahui bahwa harapan BMT mengenai
kerjasama kemitraan dengan bank syariah antara lain adalah model kerjasama dan
kemitraan yang paling dibutuhkan oleh BMT adalah yang dirasa lebih syariah,
misalnya memakai mudharabah bukan murabahah. Kesesuaian syariah
ini diindikasikan dengan keadilan porsi bagi hasil yang mendekati teori ideal.
Penentuan bagi hasil hendaknya ditentukan berdasarkan proyeksi usaha dan
pengalaman masa lalu. Hasil penelitian tersebut juga mengngkapkan alasan
kemitraan BMT dengan bank syariah adalah menambah modal kerja dan memenuhi
kebutuhan pembiayaan dan likuiditas untuk para anggotanya, kebutuhan untuk
membangun sarana prasarana fisik, membangun sinergi dan jejaring organisasi
serta kelembagaan sehingga akses menjadi lebih mudah dalam pengembangan serta
keinginan untuk meningkatkan kualitas SDM. Pilihan kerjasama BMT dengan bank
syariah didorong oleh alasan-alasan :
a. memiliki
kesamaan prinsip dalam pembiayaan.
b. memiliki
kesamaan komitmen perjuangan ekonomi syariah.
c. dapat
menjadi mitra pendamping dalam memajukan dan mengembangkan BMT.
Peluang
pengembangan pembiayaan mudharabah pada bank syariah masih terbuka
mengingat di Indonesia juga banyak tumbuh UMKM yang masih membutuhkan campur
tangan pihak luar dalam hal permodalan khususnya, untuk pengembangan usahanya.
Pola pembiayaan mudharabah antara bank syariah dengan UMKM tentu akan
sangat membantu industri kecil akan berkembang usahanya.
J.
Mengatasi Kendala dalam
Implementasi Pembiayaan Mudharabah
Berdasarkan hasil penelitian Muhammad (2005b) bahwa
untuk mengatasi kendala dalam pembiayaan mudharabah, maka dapat dilakukan
halhal sebagai berikut:
1. Jika
shahibul mal/pemilik proyek/principal sebelum melakukan kontrak
pembiayaan mudharabah dengan mudharib/pelaku proyek/agent melakukan
penyeleksian atau screening atribut proyek yaitu sistem informasi
akuntansi, tingkat return bisnis, tingkat risiko minimal, biaya
pemantauan rendah, adanya kepastian hasil yang diharapkan, aturan (klausul)
pengawasan, jangka waktu kontrak, jaminan yang dimiliki, tingkat kesehatan
proyek, dan prospek proyek.; maka proyek tersebut akan mengandung masalah agency
rendah.
2. Jika
shahibul mal/pemilik proyek/principal sebelum melakukan kontrak
pembiayaan mudharabah dengan mudharib/pelaku proyek/agent melakukan
penyeleksian atau screening secara ketat terhadap atribut-atribut mudharib
yaitu : kefamiliaran terhadap pasar, mampu mengoreksi risiko, kelangsungan
usaha/proyek yang dimilki, kemampuan mengartikulasi bahasa proyek, lama usia
proyek, track record, rekomendasi pihak lain, proyek milik sendiri,
berasal dari keluarga pebisnis, memiliki laporan keuangan, memiliki keahlian di
bidang usahanya, memiliki komitmen terhadap janji, serta ada hubungan historis
dengan shahibul mal maka diharapkan masalah agency dalam kontrak mudharabah
yang dijalani bank syariah terjadi secara minimal.
3. Kepatuhan shahibul mal terhadap
ketentuan syariah dalam kontrak mudharabah dapat digunakan untuk
meminimalkan masalah agency dalam pembiayaan mudharabah di bank
syariah.
4. Semakin ketat dalam menerapkan incentive
compatible constraints yang baik dapat digunakan untuk memperkecil
terjadinya masalah agency dalam kontrak mudharabah di bank
syariah.
Sebelas
variabel incentive compatible constraints yaitu : screening atribut
mudharabah, screening atribut proyek, kepatuhan shahibul mal atas
syariah, proporsi nisbah untuk nasabah, hadiah yang diberikan kepada mudharib,
denda yang dikenakan kepada mudharib, barang jaminan yang diberikan
kepada nasabah, bisnis dengan risiko rendah,
pelaksanaan audit batas minimum profit margin, dan pengawasan
rutin; Sementara Karim menjelaskan, bahwa untuk mengurangi kemungkinan
terjadinya risiko asimetrik informasi (moral hazard), maka bank syariah
menerapkan batasan-batasan tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada mudharib
:
1. menerapkan
batasan agar porsi modal dari pihak mudharib-nya lebih besar dan
/mengenakan jaminan.
2. Menerapkan
syarat agar mudharib melakukan bisnis yang risiko operasinya lebh
rendah.
3. Menetapkan
syarat agar mudharib melakukan bisnis dengan arus kas yang transparan.
4. menetapkan syarat agar mudharib melakukan
bisnis yang biaya tidak terkontrolnya rendah. Batasan atau syarat tersebut di
atas merupakan bagian dari proses monitoring dan supervisi bank syariah atas
pembiayaan mudharabah yang disalurkan. Dengan demikian pembiayaan dengan
skema mudharabah dapat diimplementasikan dengan risiko yang dapat
diminimalisir oleh pihak bank syariah apabila bank syariah secara ketat
menerapkan batasan-batasan kepada calon mudharibnya.
K.
Penutup
Berdasarkan pembahasan penulis dengan mengacu pokok
rumusan masalah maka dapat ditarik pokok kesimpulan sebagai berikut: Anatomi
perjanjian mudharabah yang dipraktikkan pada perbankan syariah di Indonesia
memang secara prinsip perlu dikritisi sebab ada beberapa klausula dalam
perjanjian yang diduga kuat melanggar prinsip-prinsip syariah, seperti legal
standing Bank Syariah dalam perjanjian yang berstatus ganda. Yang perlu
dikritisi lagi adalah kedudukan badan usaha perbankan syariah yang pada umumnya
masih status badan hukum PT yang merupakan duplikasi bentuk badan usaha yang
dikenal dalam sistem kapitalisme, tentu saja ini bertentangan dengan
prinsip-prinsip syariah. Adapun menyangkut klausula perjanjian mudharabah di
perbankan syariah jika dicermati secara jeli sesungguhnya masih terjebak pada
skema utang piutang antara Bank Syariah selaku shahibul mal dengan
nasabah selaku mudharib tentu skema demikian sangat riskan menjebak para
pihak kedalam riba. Bank syariah akan lebih ideal apabila menyalurkan
pembiayaan dengan skema bagi hasil kepada nasabahnya sehingga bank syariah akan
berbagi risiko (sharing risk) dengan para nasabah penerima pembiayaan,
bukan tranfer risk sebagaimana yang terjadi pada pembiayaan berbasia
jual beli.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Saeed Usaha Bagi
Hasil Antara Teori dan Praktik,,(cet;pertama , Kreasi Wacana, April 2010)
As-Sabatin, Yusuf, Bisnis
Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis, Bogor: Al-Azhar Press,
2011.
Bashir, Ahmad Azhar, Asas-Asas
Hukum Muamalat, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Djamil, Faturrahman,
Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan. Cet. 1, Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2001.
Imayanti Neni Sri, Perbankan Syariah dalam Persfektif Hukum
Ekonomi,(cet;1;Mandar maju ,Bandung, 2013
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta:
Kencana Prenada Media Group, 2005.
Mas’adi, Ghufron A, Fiqih
Muamalah Kontekstual, Cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Muhammad Djumhana , Hukum perbankkan di Indonesia, (citra
aditya bhakti; Bandung, 2000,)
Muhammad,
Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah : Mudharabah dalam Wacana Fiqh
dan Praktik Ekonomi Modern, Edisi Pertama, Cetakan Pertama (Yogyakarta :
BPFE, 2005)
Nasrodin, Analisis
Fiqihterhadap Implementasi Pembiayaan Modal Kerja IB pada PT Bank Tabungan
Negara (Persero), TBK Kantor Cabang Syariah
Pasaribu, Chairuman dan Lubis, Suhrawadi K, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Sultan Remy Syahraeni,perbankan islam dan kedudukannya dalam tata
hokum perbankkan Indonesia,(pustaka utama graffiti; Jakarta, 1999,)
diterbitkan
kerjasama Bank Indonesia dengan Tazkia Institute, 1999), hlm. 996.
[3] Ahmad dahlan, Bank syariah,(cet;1;teras:Yogyakarta,
2012) hal 164
[4] Zainuddin arifin, memahami bank syariah, lingkup, peluang, tantangan, dan prospek, (alvabet,
Jakarta,1999) ,hal 7.
[5] Sultan Remy
Syahraeni,perbankan islam dan
kedudukannya dalam tata hokum perbankkan Indonesia,(pustaka utama graffiti;
Jakarta, 1999,)hal.152
[6] Sultan Remy
Syahdaeni, Op.Cit, hal. 48
[7] Syafi’I Antonio, Op. Cit., hal. 137
[8] Muhammad Djumhana , Hukum perbankkan di Indonesia, (citra
aditya bhakti; Bandung, 2000,)hal. 338.
[9] Neni Sri Imayanti, Perbankan Syariah dalam Persfektif Hukum
Ekonomi,(cet;1;Mandar maju ,Bandung, 2013) hal.170.
[10] Abdullah Saeed Usaha
Bagi Hasil Antara Teori dan Praktik,,(cet;pertama , Kreasi Wacana, April 2010), hlm 3.
[11] Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam
Bisnis Syariah : Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern,
Edisi Pertama, Cetakan Pertama (Yogyakarta : BPFE, 2005), hlm. 108-112.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar