Rabu, 25 Januari 2017

PERJANJIAN DAN IMPLEMENTASI PEMBIAYAAN AKAD AL- MUDHARABAH PADA BANK SYARIAH

PERJANJIAN DAN IMPLEMENTASI PEMBIAYAAN  AKAD  AL- MUDHARABAH PADA BANK SYARIAH



    Oleh
NURLINA
NIM: 01.133.108
PRODI : EKIS 4




SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) WATAMPONE
2017
A.  Pendahuluan
Salah satu kebersyukuran dari umat Islam Indonesia, yakni pemegang otoritas kekuasan di Indonesia telah menggaransi kehidupan hukum bagi masyarakat Islam Indonesia melalui legalisasi beberapa nilai-nilai hukum terutama berkaitan dengan bidang-bidang hukum privat termasuk bidang hukum munakahat  ke dalam produk undang-undang nasional, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan dalam Lembaran Negara RI Nomor 1 Tahun 1974, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang Wakaf dalam Lembaran Negara RI Nomor 159 Tahun 2004, Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang  Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama dalam Lembaran Negara RI Nomor 22 Tahun 2006, Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah dalam Lembaran Negara RI Nomor 94 Tahun 2008, Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam yang dikeluarkan oleh Presiden RI pada tanggal 10 Juni 1991, dan Peraturan Mahkamah Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2008 tentang Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah yang ditetapkan oleh Ketua Mahkamah Agung tanggal 10 September 2008, serta masih banyak lagi peraturan hukum tertulis lainnya yang mengatur tentang bidang-bidang keperdataan yang tunduk berdasarkan dogma hukum Islam.[1]
Pembiayaan mudharabah merupakan perjanjian atas sesuatu jenis perkongsian, dimana pihak pertama (shahibul maal) menyediakan dana dan pihak kedua (mudharib) bertanggung jawab atas pengelolaan usaha. Keuntungan hasil usaha dibagi sesuai dengan nisbah porsi bagi hasil yang telah disepakati bersama sejak awal maka kalau mengalami kerugian shahibul maal akan kehilangan sebagian imbalan dari hasil kerja keras dan managerial skill selama proyek berlangsung. Mudharabah disebut juga qiradh yang berarti “memutuskan”. Dalam hal ini, si pemilik modal telah memutuskan untuk menyerahkan sejumlah uang untuk .
diperdagangkannya berupa barang-barang dan memutuskan sekalian sebagian dari keuntungan bagi pihak kedua orang yang berakad qiradh ini.  Berdasarkan kenyataan di atas, perlu suatu titik temu agar keinginan para pihak tersebut dapat disatukan satu sama lain. Kerjasama mudharabah antara pemilik modal dan pelaksana usaha merupakan langkah tepat, sebagaimana dilakukan Nabi Muhammad SAW ketika bekerjasama dengan seorang wanita pengusaha bernama Siti Khadijah. Adapun caranya, Khadijah menyerahkan modal berupa barang dagangan untuk di bawa Muhammad berniaga antara negeri Mekkah dengan Syam (Syiria).
B.  Pengertian al-mudharabah
Al- mudharabah adalah akad perjanjian antara dua pihak atau lebih untuk melakukan kerja sama usaha.satu pihak akan menempatkan modal sebesar 100% yang di sebut dengan shahibul maal, dan pihak lainnya sebagai pengelelolah usaha, di sebut dengan mudharib.bagi hasil dari usaha yang di kerjasamakan di hitung sesuai dengan nisbah yang di sepakati antara pihak-pihak yang berkerja sama. [2]
Secara muamalah, pemilik modal (shahibul maal) menyerahkan modalnya kepada pedagang/ pengusaha. Untuk di gunakan dalam aktivitas perdagangan atau usaha. Keuntungan atas usaha perdangangan yang di lakukan oleh mudharib itu akan di bagihasilkan dengan shahibul maal pembagian hasil usaha ini berdasarkan yang telah di sepakatkan dalam akad.
Tabungan mudharabah di pergunakan oleh bank dalam mengelolah jasa simpanan dari nasabah yang ingin menitipkan dananya untuk tujuan-tujuan tertentu. tujuan yang di makksud biasanya berkaitan dengan hajat beribadah yang di butuhkan dana besas dan tidak terjangkau.sperti ibadah qurban, ibadah haji, atau pendidikan. Atas dasar tersebut tabungan mudharabah sering juga di sebut dengan tabungan berjangka(targeted saving). Berbeda dengan wa’diah yang besifat tabungan biasa.[3]
C.    Perkembangan pembiayaan mudharabah pada bank syariah
Dalam sejarah perbankkan nasional, Indonesia pernah mengalami krisis perbankkan. Dalam waktu singkat, dari bulan juli 1997 sampai dengan 13 maret 1999, pemerintah telah menutup tidak kurang dari 55 bank. Selain itu pemerintah telah mengambil alih 11 bank (bank take over). Selanjutnya pemerintah melakukan rekapitulasi terhadap 9 bank lainya. Dan semua bank BUMN  serta BPD harus ikut di rekapitulasi. Dari 240 bank yang ada sebelum krisis moneter kini hanya tinggal 73 bank swasta yang dapat bertahan tanpa bantuan pemerintah. Biaya rekturisasi dan penyehatan perbankkan Indonesia akan sangat mahal. Ada kemungkinan sebagian besar biaya penyelamatan perbankkan tersebut akan di tanggung  rakyat melalu APBN.[4] Akibat kerugian usaha selama bulan maret hinggah april 2001 beberapa bank gulung tikar. Untuk mengurangi bank-bank yang bermasalah pemerintah telah mengeluarkan dana 640 triliun rupiah. Majalah asiaweek menilai perbankkan Indonesia berada dalam keadaan yang menghawatirkan justru pada saat perbankkan lain mulai bangkit dari krisis.
Di saat prekonomian nasional mengalami krisis dan dunia perbankkan belum tampak akan pulih , perbankkan islam akan menunjukkan fenomena yang perkembangannya telah mengejutkan para pengamat perbankkan. Konvensional maupun kalangan perbankkan konvensional. Bank-bank besar dari Negara-negara non muslim telah memasuki pasar perbankkan islam dengan membuka Islamic window,tidak kurang dari Citibank, chasemanhattan bank, ANZ bank dan jardine fleming, telah membuka Islamic window agar dapat berkiprah memberikan jasa-jasa perbankkan islam.
Demikian halnya perbankan syariah di Indonesia pasca reformasi mengalami perkembangan yang siknifikan, terutama sejak di perkenankanya konversi cabang bank umum konvensional menjadi bank syariah, sehinggah bermunculan bank yang membuka cabang syariah atau mengkorvensikan menjadi bank syariah.
Namun kita dapat menutup mata bahwa masih banyak masyarakat yang memiliki persepsi yang keliru terhadap bank syariah, bank syariah sering di persepsikan sebagai baitul maal yaitu lembaga sosial yang membantu pengembangan umat. Implikasinya adalah:
a.       Bank syariah tidak boleh meminta jaminan dalam pembiayaannya.
b.      Bank syariah tidak boleh mengenakan denda bila nasabah tidak membayar tepat waktu.
c.       Bank syariah tidak boleh menyita jaminan.
Bank syariah di persepsikan sebagai bank bagi hasil. Implikasinya adalah:
1.    Untuk semua kebutuhan nasabah harus menggunakan mudharabah/musyarakah.
2.    Bagi hasil harus lebih menguntungkan di banding bunga bank, sehinggah bagi hasil nasabah pembiayaan harus lebih kecil dari pada bunga, sedangkan bagi hasil nasabah penyimpan harus lebih besar dari pada bunga.
3.    Bagi hasil di bayar setahun sekali seperti pembayaran deviden,
4.    Bank akan turut campur dalam manajemen perusahaan nasabah.
5.    Bank akan turut memiliki perusahaan nasabah.
D.  Unsur  dan syarat perjanjian mudharabah
seperti telah di uraikan bahwa mudharabah adalah suatu transaksi pembiayaan berdasarkan syariah. Transaksi mudharabah di gunakan juga sebagai transaksi pembiayaan islam. Menurut Elias G .kazarian yang di kutip oleh Sutan Remy Syahdaeni, unsure utama perjanjian mudharabah adalah kepercayaan.[5]
Kepercayaan adalah unsur  yang paling penting dalam mudharabah, yaitu kepercayaan dari shahibul mal kepada mudharib. Lebih jauh Sutan Remy Syahdaeni Mengatakan kepercayaan merupakan unsure terpenting karna dalam transaksi mudharabah, shahibul mal tidak boleh meminta jaminan atau agunan dari mudharib, shahibul mal juga tidak boleh ikut campur dalam pengelolaan proyek atau usaha yang nota bene di biayai dengan dana shahibul mal tersebut. Dengan demikian mudharib mengelolah dan menjalankan usaha atau proyek tersebut tanpa camur tangan dari shahibul mal. [6]
Menurut Sutan Remy Syahdaeni, karna unsure kepercayaan merupakan unsure penentu , maka dalam perjanjian mudharabah, shahibul mal juga dapat mengakhiri perjanjian secara sepihak apabila shahibul mal tidak lagi memiliki kepercayaan kepada mudharib.
Selanjutnya akan di uraikan syarat-syarat perjanjian mudharabah . syarat- syarat perjanjian operasional yang di perlukan dalam pelaksanaan
Pembiayaan mudharabah antara lain sebagai berikut:
a.    Modal harus jelas jumlahnya.
b.    Jika modal berbentuk barang maka harus di taksir berbentuk rupiah,
c.     Modal yang di berikan oleh bank harus berbentuk tunai dan di serahkan kepada nasaba;
d.   Keuntungan di bagi  setelah seluruh atau sebagian modal di kembalikan
Meneurut penulis syarat- syarat perjanjian mudharabah yang di kemukakan oleh para pakar tersebut di atas, masih sangat umum, tidak jauh berbeda dengan syarat perjanjian musyarakah.
Syarat perjanjian mudharabah yang paling rinci di kemukakan oleh Sutan Remy Syahdaeni. Menerangkan syarat-syarat perjanjian mudharabah dari berbagai pustaka dan menghubungkannya dengan hokum positif, yaitu.
1.      Pejanjian mudharabah dapat di buat secara formal maupun informal, secara tertulis maaupun lisan.
2.       Perjanjian mudharabah dapat pula di langsungkan antara beberapa shahibul mal dan beberapa mudharib (seperti halnya kredit sindikasi). \
3.       Pada hakekatnya kewajiban utama shahibul mal adalah menyerahkan modal mudhaarabah kepada mudharib, bila hal itu tidak di lakukan, maka perjanjian tidak sah;
4.      Para pihak harus cakap bertindak hokum;
5.      Shahibul mal berkewajiban menyediakan dana , mudharib kewajiban menyediakan keahlian, waktu, pikiran, upaya untuk mengelola proyek atau kegiatan usaha. ;
6.      Shahibul mal berhak memproleh kembali investasi dari hasil likuidasi usaha mudharbah tersebut apanila usaha mudharabah telah di selesaikan mudharib dan jumlah hasil likuidasi itu cukup untuk pengembalian dana investasi tersebut.
7.      Shahibul mal tidak boleh meminta jaminan dari mudharib , persyaratan yang demikian itu dalam perjanjian mudharabah batal dan tidak berlaku.
E.  Aplikasi perjanjian mudharabah pada bank syariah.
Prinsip bagi hasil (profit sharing) merupakan karakteristik  umum dan landasan dasar bagi operasional bank islam secara keseluruhan. Secara syariah prinsipnya berdasarkan kaidah al- mudharabah. Berdasarkan prinsip ini bank islam akan berfungsi sebagai mitra, baik dengan penabung maupun bagi pengusaha yang meminjam dana. Dengan menabung baik akan bertindak sebagai mudharabah/ pengelola , sedangkan penabung sebagai shahibul mal/ penyandang dana. Antara keduanya diadakan akad mudharabah yang menyatakan pembagian keuntungan masing-masing pihak.
Disisi lain pengusaha atau peminjam dana, baik islam akan bertindak sebagai shahibul mal ( penyandang dana, baik yang berasal dari tabungan /deposito/ maupun dana bank sendiri berupa modal pemegang saham). Se,emtara itu pengusaha atau peminjam akan berfungsi sebgai mudharib atau pengelola karna telah melakukan usaha dengan cara memutar dan mengelola dana bank. [7]
Dari uraian di atas. Tampak bahwa sebagai slah satu prinsip atau tekni financial dalam ekonomi islam, dalam operasional perbankan syariah
Mudharabah  telah di perluas meliputi 3 pihak .
1.    Para nasabah menyimpan dana(depositor) sebagai shahibul mal;
2.    Bank sebagai suatu intermediary; dan
3.    Pengusaha sebagai mudharib yang membutuhkan dana . bank bertindak sebagai pengusaha(mudharib) dalam hal bank menerima dana dari nasabah penyimpan dana(depositor). [8]
Syarat –syarat sahnya perjanjian mudharabah dalam perbankan islam.[9]
1.      Bank menerima dan dari nasabah menyimpan dana dalam bentuk mudharabah tidak terbatas.
2.      Bank boleh menggunakan dana yang di terima untuk keperluan investasi bank ;
3.      Untuk menentukan besarnya keuntungan nasabah dan membayar keuntungan itu, bank mengumpulkan semua keuntungan dari semua proyek (investasi) yang di biayai bank.
4.      Bank dalam memberikan pembiayaan di lakukan dengan mudharabah terbatas. Bank tidak boleh mencampuri manajemen nasabah yang memperoleh pembiayaan mudharabah.,
5.      Dlam mudharabah, bank tidak boleh meminta jaminan apapun ,
6.      Tanggung jawab shahibul mal dan mudharib;
7.      Pembagian keuntungan di tentukan di muka;
8.       Mudharib boleh di beri gaji.
F.   Konsep Mudharabah dalam Perspektif Perjanjian Syariah
Al-Fairuz Abadi di dalam al-Qâmûs al-Muhîth mengatakan: Mudhârabah secara bahasa: al-mudhârabah dari dharaba; dharabat ath-thayru tadhribu berarti pergi mencari rezeki; dharaba fi al-ardhi dharb[an] wa dharbân[an]: keluar berdagang atau berperang, atau bergegas atau pergi. Dharaba fi al-ardhi bermakna safar (bepergian) seperti dinyatakan dalam Quran Surah An-Nisa’: 101. Adakalanya bepergian itu untuk mencari rezeki (QS al-Muzammil:73)
Menurut Ibn Manzhur di dalam Lisan al-‘Arab, kata mudharib digunakan untuk menyebut al-âmil, sebab dialah yang bepergian, datang dan pergi mencari rezeki. Mudhârabah adalah istilah penduduk Irak dan lebih banyak digunakan oleh mazhab Hanafi dan Hanbali.
Penduduk Hijaz menyebut mudharabah dengan qirâdh atau muqâradhah (Nasrodin, 2009:242), yang lebih banyak digunakan oleh ulama mazhab Syafii dan Maliki. Secara istilah, mudhârabah atau qirâdh, adalah persekutuan badan dengan harta. Maknanya, seseorang menyerahkan hartanya .
G. Implementasi Pembiayaan Mudharabah di Bank Syariah
slam memosisikan kegiatan ekonomi sebagai salah satu aspek penting untuk mendapatkan kemuliaan (falah), dan karenanya kegiatan ekonomi-sebagaimana kegiatan lainnya-perlu dituntun dan dikontrol agar berjalan seirama dengan ajaran Islam secara keseluruhan. Diantara inovasi keuangan yang ada pada perbankan syariah adalah produk pembiayaan dengan skema mudharabah. Namun Bank Indonesia menyebutkan bahwa produk utama perbankan syariah yang umumnya ditawarkan menggunakan skema debt based financing (murabahah dan ijarah).[10] Hingga Desember 2014 produk pembiayaan perbankan syariah yang paling besar proporsinya adalah produk murabahah (59% total pembiayaan), sedangkan ijarah 6%. Bagi perbankan, produk-produk tersebut juga menjadi produk favorit bank, dikarenakan skema transaksinya yang mudah diterapkan dan tidak berisiko tinggi. Murabahah dianggap sebagai salah satu produk yang banyak dikritisi akademisi karena dalam skema ini, tidak terjadi sharing risiko antara bank dengan nasabah.Risiko sepenuhnya ditanggung oleh nasabah, sedangkan bank syariah relatif aman dari risiko.
Para teoritikus perbankan Islam mengemukakan aktivitas investasi dalam bank Islam didasarkan pada dua konsep yang legal, yaitu mudharabah dan musyarakah, sebagai alternatif dalam menerapkan sistem bagi hasil (profit and loss sharing/PLS). Teori ini menyatakan, bahwa bank Islam akan memberikan sumber pembiayaan (finansial) yang luas kepada peminjam (debitur) berdasarkan atas bagi risiko (baik menyangkut keuntungan maupun kerugian), yang berbeda dengan pembiayaan (finansial) sistem bunga pada dunia perbankan konvensional yang semua risikonya ditanggung oleh pihak peminjam (debitur).[11]
 Konsep bagi hasil, dalam menghadapi ketidakpastian merupakan salah satu prinsip yang sangat mendasar dari ekonomi Islam, yang dianggap dapat mendukung aspek keadilan. Secara definitif, aktivitas bagi hasil adalah sebuah usaha yang dibangun berdasarkan kesepakatan antara pemodal dan pengusaha untuk memberikan pembagian hasil berdasarkan persentase tertentu dari hasil usaha.
Kesepakatan ini dilakukan secara adil dan transparan. Adil artinya setiap mitra mendapatkan bagi hasil sesuai dengan kontribusi yang diberikannya, baik modal, keterampilan maupun tenaga, sementara transparan diartikan bahwa pemodal dan pengusaha saling mengetahui jumlah bagi hasil yang diperolehnya dan progress usaha itu sendiri. Mudharabah adalah suatu pernyataan yang mengandung pengertian bahwa seseorang memberi modal niaga kepada orang lain agar modal itu diniagakan dengan perjanjian keuntungannya dibagi antara dua belah pihak sesuai perjanjian, sedangkan kerugian ditanggung oleh pemilik modal.
 Seharusnya, dalam kondisi ideal perekonomian, akad mudharabah dan musyarakah dengan skema profit loss sharing adalah yang sebaiknya paling banyak diimplementasikan oleh perbankan syariah karena skema profit loss sharing ini membagi risiko antara bank dan nasabah. Sehingga ketika perekonomian sedang menurun, potensi terjadinya kredit macet secara sistemik dapat dihindari atau diminimalisir.
loss sharing juga dianggap lebih unggul karena banyak digunakan untuk sektor produktif. Al mudharabah biasanya diterapkan pada produk pembiayaan dan pendanaan. Rendahnya pembiayaan dengan skema bagi hasil pada bank syariah menunjukkan bank syariah masih belum mampu menempatlan diri pada posisi yang siap melakukan sharing risk dengan nasabahnya. Dominasi pembiayaan skema jual beli (murabahah) pada sisi yang lain menunjukkan bahwa bank syariah masih pada posisi yang hanya siap melakukan tranfer risk ke pihak nasabahnya. Oleh karena itu agar bank syariah dapat meningkatkan pembiayaan skema bagi hasil perlu diatasi kendala yang berkaitan dengan implementasi pembiayaan skema bagi hasil pada bank syariah.
H.  Kendala Pembiayaan Mudharabah
 Bank enggan berpartisipasi pada instumen Profit Loss Sharing (PLS) karena beberapa alasan, diantaranya adalah risiko inheren pada bank, tambahan biaya monitoring, kurangnya transparansi dan keengganan para deposan untuk mengambil risiko.Pada penerapan skema mudharabah di produk pembiayaan, diantara problemnya pada operasional perbankan Islam adalah : standar moral, ketidakefektifan model pembiayaan bagi hasil, berkaitan dengan para pengusaha, segi biaya, segi teknis, kurang menariknya sitem bagi hasil dalam aktivitas bisnis, serta permasalahan efisiensi. Sedangkan musyarakah bukan sesuatu yang umum dalam portofolio bank Islam, karena bank umumnya berfungsi sebagai lembaga intermediasi bukan untuk berpartisipasi dalam bisnis sebagai mitra bisnis atau mendasarkan pembiayaan berbasis ekuitas Salman Ahmed Shaikh (2011) mengemukakan bahwa intermediasi keuangan dapat dilakukan melalui equity financing.
dapat meringankan dari sisi keuangan dan menjadi pembeda atas utang berbasis pembiayaan komersial, serta ada sedikit ruang untuk menunjukkan perbedaan atas pembayaran utang yang jumlahnya telah ditetapkan di depan. Agency problem dan moral hazard menjadi tantangan dalam menerapkan Islamic equity financing. Masalah agency dalam kontrak mudharabah dapat terjadi dalam berbagai bentuk, misalnya : penggunaan biaya proyek yang berlebihan, penahanan keuntungan yang akan dibagikan kepada pemilik modal, dan berbagau kecurangan yang dapat mengurangi laba atau aset perusahaan (Muhammad, 2005b). Dengan melakukan simulasi, penelitian Shaikh menganalisis agency problem dalam mudharabah dan dampaknya terhadap imbalan secara ekonomi diantara para pihak yang bermitra. Berdasarkan penelaahanmya, Shaikh menyajikan dua kemungkinan perjanjian yang dapat membuat model pembiayaan mudharabah lebih diterima dan secara luas digunakan dalam intermediasi keuangan yaitu dengan dua perjanjian yang dapat dilakukan : a) Mudharib diminta untuk memberikan kontribusi modal. b) Mudharib diminta untuk berbagi dalam kerugian sampai batas tertentu. Kedua perjanjian tersebut akan dapat meminimalisir masalah adverse selection, moral hazard dan principal-agent conflict. Kesimpulan penelitian Shaikh adalah bahwa dengan adanya perjanjian, maka equity financing dapat digunakan secara lebih luas. Namun menurut Shaikh masih terjadi ironi dimana nilai-nilai Islam seperti keadilan (justice), persamaan (equality), kebenaran (truth), kepercayaan (trust), kebaikan (kindness), kejujuran (honesty) dan pertanggungjwaban (responsibilty) yang sering disebut dalam literatur dan seminar-seminar ekonomi Islam, dalam kenyataan, kurangnya nilai-nilai tersebut dalam praktik adalah alasan utama mengapa mode partisipatif tetap tidak dapat digunakan.
I.     Peluang Pembiayaan Mudharabah
Disamping kendala, ada juga peluang untuk mengembangkan pembiayaan skema mudharabah di Indonesia yaitu kerjasama antara bank syariah dengan Baitul Mal wa Tamwil (BMT). Hasil penelitian Zaenuri (2014) pada kemitraan yang telah terbangun dan belum terbangun antara BMT dan bank syariah di Jawa Tengah menunjukkan bahwa pola kerjasama antara BMT dengan bank syariah cukup bervariasi dengan akad yang dipakai bervariasi pula. 28 Bentuk model yang dipakai pada dasarnya hasil negosiasi kedua belah pihak dengan memperhatikan kepentingan masing-masing. Model executing adalah yang paling banyak dipakai dimana bank syariah memberi pembiayaan kepada BMT dan BMT menyalurkan dana tersebut atas nama BMT sendiri dengan segala untung dan risikonya. Hanya sedikit yang memakai pola channeling dimana BMT hanya menjadi penyalur pembayaran bank kepada para nasabah kredit mikro perbankan. [12]Dari segi kemitraan ideal BMT dan bank syariah, diketahui bahwa harapan BMT mengenai kerjasama kemitraan dengan bank syariah antara lain adalah model kerjasama dan kemitraan yang paling dibutuhkan oleh BMT adalah yang dirasa lebih syariah, misalnya memakai mudharabah bukan murabahah. Kesesuaian syariah ini diindikasikan dengan keadilan porsi bagi hasil yang mendekati teori ideal. Penentuan bagi hasil hendaknya ditentukan berdasarkan proyeksi usaha dan pengalaman masa lalu. Hasil penelitian tersebut juga mengngkapkan alasan kemitraan BMT dengan bank syariah adalah menambah modal kerja dan memenuhi kebutuhan pembiayaan dan likuiditas untuk para anggotanya, kebutuhan untuk membangun sarana prasarana fisik, membangun sinergi dan jejaring organisasi serta kelembagaan sehingga akses menjadi lebih mudah dalam pengembangan serta keinginan untuk meningkatkan kualitas SDM. Pilihan kerjasama BMT dengan bank syariah didorong oleh alasan-alasan :
a.       memiliki kesamaan prinsip dalam pembiayaan.
b.      memiliki kesamaan komitmen perjuangan ekonomi syariah.
c.       dapat menjadi mitra pendamping dalam memajukan dan mengembangkan BMT.
Peluang pengembangan pembiayaan mudharabah pada bank syariah masih terbuka mengingat di Indonesia juga banyak tumbuh UMKM yang masih membutuhkan campur tangan pihak luar dalam hal permodalan khususnya, untuk pengembangan usahanya. Pola pembiayaan mudharabah antara bank syariah dengan UMKM tentu akan sangat membantu industri kecil akan berkembang usahanya.
J.    Mengatasi Kendala dalam Implementasi Pembiayaan Mudharabah
Berdasarkan hasil penelitian Muhammad (2005b) bahwa untuk mengatasi kendala dalam pembiayaan mudharabah, maka dapat dilakukan halhal sebagai berikut:
1.    Jika shahibul mal/pemilik proyek/principal sebelum melakukan kontrak pembiayaan mudharabah dengan mudharib/pelaku proyek/agent melakukan penyeleksian atau screening atribut proyek yaitu sistem informasi akuntansi, tingkat return bisnis, tingkat risiko minimal, biaya pemantauan rendah, adanya kepastian hasil yang diharapkan, aturan (klausul) pengawasan, jangka waktu kontrak, jaminan yang dimiliki, tingkat kesehatan proyek, dan prospek proyek.; maka proyek tersebut akan mengandung masalah agency rendah.
2.    Jika shahibul mal/pemilik proyek/principal sebelum melakukan kontrak pembiayaan mudharabah dengan mudharib/pelaku proyek/agent melakukan penyeleksian atau screening secara ketat terhadap atribut-atribut mudharib yaitu : kefamiliaran terhadap pasar, mampu mengoreksi risiko, kelangsungan usaha/proyek yang dimilki, kemampuan mengartikulasi bahasa proyek, lama usia proyek, track record, rekomendasi pihak lain, proyek milik sendiri, berasal dari keluarga pebisnis, memiliki laporan keuangan, memiliki keahlian di bidang usahanya, memiliki komitmen terhadap janji, serta ada hubungan historis dengan shahibul mal maka diharapkan masalah agency dalam kontrak mudharabah yang dijalani bank syariah terjadi secara minimal.
3.     Kepatuhan shahibul mal terhadap ketentuan syariah dalam kontrak mudharabah dapat digunakan untuk meminimalkan masalah agency dalam pembiayaan mudharabah di bank syariah.
4.     Semakin ketat dalam menerapkan incentive compatible constraints yang baik dapat digunakan untuk memperkecil terjadinya masalah agency dalam kontrak mudharabah di bank syariah.
Sebelas variabel incentive compatible constraints yaitu : screening atribut mudharabah, screening atribut proyek, kepatuhan shahibul mal atas syariah, proporsi nisbah untuk nasabah, hadiah yang diberikan kepada mudharib, denda yang dikenakan kepada mudharib, barang jaminan yang diberikan kepada nasabah, bisnis dengan risiko rendah,  pelaksanaan audit batas minimum profit margin, dan pengawasan rutin; Sementara Karim menjelaskan, bahwa untuk mengurangi kemungkinan terjadinya risiko asimetrik informasi (moral hazard), maka bank syariah menerapkan batasan-batasan tertentu ketika menyalurkan pembiayaan kepada mudharib :
1.    menerapkan batasan agar porsi modal dari pihak mudharib-nya lebih besar dan /mengenakan jaminan.
2.    Menerapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis yang risiko operasinya lebh rendah.
3.    Menetapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis dengan arus kas yang transparan.
4.     menetapkan syarat agar mudharib melakukan bisnis yang biaya tidak terkontrolnya rendah. Batasan atau syarat tersebut di atas merupakan bagian dari proses monitoring dan supervisi bank syariah atas pembiayaan mudharabah yang disalurkan. Dengan demikian pembiayaan dengan skema mudharabah dapat diimplementasikan dengan risiko yang dapat diminimalisir oleh pihak bank syariah apabila bank syariah secara ketat menerapkan batasan-batasan kepada calon mudharibnya.
K. Penutup
Berdasarkan pembahasan penulis dengan mengacu pokok rumusan masalah maka dapat ditarik pokok kesimpulan sebagai berikut: Anatomi perjanjian mudharabah yang dipraktikkan pada perbankan syariah di Indonesia memang secara prinsip perlu dikritisi sebab ada beberapa klausula dalam perjanjian yang diduga kuat melanggar prinsip-prinsip syariah, seperti legal standing Bank Syariah dalam perjanjian yang berstatus ganda. Yang perlu dikritisi lagi adalah kedudukan badan usaha perbankan syariah yang pada umumnya masih status badan hukum PT yang merupakan duplikasi bentuk badan usaha yang dikenal dalam sistem kapitalisme, tentu saja ini bertentangan dengan prinsip-prinsip syariah. Adapun menyangkut klausula perjanjian mudharabah di perbankan syariah jika dicermati secara jeli sesungguhnya masih terjebak pada skema utang piutang antara Bank Syariah selaku shahibul mal dengan nasabah selaku mudharib tentu skema demikian sangat riskan menjebak para pihak kedalam riba. Bank syariah akan lebih ideal apabila menyalurkan pembiayaan dengan skema bagi hasil kepada nasabahnya sehingga bank syariah akan berbagi risiko (sharing risk) dengan para nasabah penerima pembiayaan, bukan tranfer risk sebagaimana yang terjadi pada pembiayaan berbasia jual beli.










DAFTAR PUSTAKA
Abdullah Saeed Usaha Bagi Hasil Antara Teori dan Praktik,,(cet;pertama ,  Kreasi Wacana, April 2010)
As-Sabatin, Yusuf, Bisnis Islam dan Kritik atas Praktik Bisnis ala Kapitalis, Bogor: Al-Azhar Press, 2011.
Bashir, Ahmad Azhar, Asas-Asas Hukum Muamalat, Yogyakarta: UII Press, 2000.
Djamil, Faturrahman, Hukum Perjanjian Syariah dalam Kompilasi Hukum Perikatan. Cet. 1, Bandung: Citra Aditya Bakti, 2001.
Imayanti Neni Sri, Perbankan Syariah dalam Persfektif Hukum Ekonomi,(cet;1;Mandar maju ,Bandung, 2013
Marzuki, Peter Mahmud, Penelitian Hukum, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2005.
Mas’adi, Ghufron A, Fiqih Muamalah Kontekstual, Cet. 1, Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2002.
Muhammad Djumhana , Hukum perbankkan di Indonesia, (citra aditya bhakti; Bandung, 2000,)
Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah : Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern, Edisi Pertama, Cetakan Pertama (Yogyakarta : BPFE, 2005)
Nasrodin, Analisis Fiqihterhadap Implementasi Pembiayaan Modal Kerja IB pada PT Bank Tabungan Negara (Persero), TBK Kantor Cabang Syariah
Pasaribu, Chairuman dan Lubis, Suhrawadi K, Hukum Perjanjian dalam Islam, Jakarta: Sinar Grafika, 2004.
Sultan Remy Syahraeni,perbankan islam dan kedudukannya dalam tata hokum perbankkan Indonesia,(pustaka utama graffiti; Jakarta, 1999,)




[1]   Muhammad Safi’i Antonio, Bank Syari’ah Suatu Pengenalan Umum, (Jakarta:
diterbitkan kerjasama Bank Indonesia dengan Tazkia Institute, 1999), hlm. 996.
 [2] ismail,perbankan syariah, (cet;2:kencana:Jakarta,2013)hal 83
[3] Ahmad dahlan, Bank syariah,(cet;1;teras:Yogyakarta, 2012) hal 164
[4]  Zainuddin arifin, memahami bank syariah, lingkup, peluang, tantangan, dan prospek, (alvabet, Jakarta,1999) ,hal 7.
[5] Sultan Remy Syahraeni,perbankan islam dan kedudukannya dalam tata hokum perbankkan Indonesia,(pustaka utama graffiti; Jakarta, 1999,)hal.152
[6] Sultan Remy Syahdaeni, Op.Cit, hal. 48
[7] Syafi’I Antonio, Op. Cit., hal. 137
[8] Muhammad Djumhana , Hukum perbankkan di Indonesia, (citra aditya bhakti; Bandung, 2000,)hal. 338.
[9] Neni Sri Imayanti, Perbankan Syariah dalam Persfektif Hukum Ekonomi,(cet;1;Mandar maju ,Bandung, 2013) hal.170.
[10] Abdullah Saeed Usaha Bagi Hasil Antara Teori dan Praktik,,(cet;pertama ,  Kreasi Wacana, April 2010), hlm 3.
[11]  Muhammad, Konstruksi Mudharabah dalam Bisnis Syariah : Mudharabah dalam Wacana Fiqh dan Praktik Ekonomi Modern, Edisi Pertama, Cetakan Pertama (Yogyakarta : BPFE, 2005), hlm. 108-112.
[12] Ibid,  hlm. 108-112.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar