JURNAL
PENYALURAN DANA DALAM PRODUK PEMBIAYAAN BANK SYARIAH
Oleh: Jusmayati
Nim: 01133088
Jurusan
Ekonomi Syariah Kelompok 4 Semester 7
Sekolah
Tinggi Agama Islam Negeri(STAIN) Watampone
2017
ABSTRAK
Bank yang
beroperasi sesuai dengan prinsip syariah islam dalam dalam operasinya itu
mengikuti ketentuan-ketentuan syariah islam. Indonesia sebagai negara yang
mayoritas penduduknya beragama islam, telah lama mendambakan kehadiran sistem
lembaga keuangan yang sesuai dengan tuntutan kebutuhan dimaksud adalahperbankan
yang terbebasdari praktik bunga yaitu perbankan syariah. Konsep pembiayaan di
bank syariah berbeda dengan konsep kredit berbasis bunga diperbankan
konvesional. Dalam kenyataannya dengan konsep pembiayaan dibank syariah. Hal
inilah yang membelatarbelakangi adanya pembahasan ini. Dimana slaha satu fungsi bank adalah sebagai
lembaga perantara untuk menyalurkan dana pada masyarakat dan investasi lainnya
dengan prinsip syariah.
Kata kunci: penyaluran dana dan
pembiayaan
A. Pendahuluan
Pelaksaan
kegiatan pada bank islam diindonesia tunduk pada ketentuan
peraturan perundang-undang mengenai perbankan diindonesia, seperti
Undang-undang No. 7 Tahun 1992 dan Undang-undang No.10 Tahun 1998. Namun,
kegiatan pada bank islam ini pun harus sesuai dengan ketentuan syariah.
Ketentuan-ketentuan akad dalam hukum islam yang telah diuraikan menjadi
landasan dalam pelaksanaan kegitan pada bank islam.[1]
Pemerintah
telah mengeluarkan beberapa peraturan sehubungan dengan kegiatan usaha yang
telah yang dapat dilakukan oleh bank islam, baik bank umum syariah maupun bank
perkreditan rakyat syariah. Ban umum syariah menjalankan kegiatan usahanya
diatur oleh Indonesia melalui pasal 36 peraturan bank Indonesia
No.6/24/PBI/2004. Bank Indonesia juga telah membuat ketentuan mengenai akad
penghimpunan dan penyaluran dana bagi yang melaksanakan kegitan usaha
berdasarkan prinsip syariahdalam PBI No. 7/46/PBI/2005. Ketentuan persayratan
minimum akad-akad tersebut disusun dengan berpedoman pada fatwa-fatwa DSN.[2]
Menyalurkan dana (Lending) ke masyarakat, dalam hal
ini bank memberikan pinjaman ( kredit) kepada masyarakat[3].
Dengan kata lain, bank menyediakan dana bagi masyarakat yang membutuhkannya.
Pinjaman atau kredit yang diberikan dibagi berbagai jenis sesuai dengan
keinginan nasabah. Sebelum kredit diberikan bank terlebih dahulu menilai apakah
kredit tersebut layak atau tidak dibrikan kepada masyarakat, penilian ini
dilakukan agar bank terhindar dari kerugian akibat tidak dapat dikembalikannya
pinjaman yang disalurkan bank dengan berbagai sebab. Jenis kredit yang yang
biasa diberikan hampir semua bank adalah kredit investasi, kredit modal kerja
atau kredit perdagangan.[4]
B.
Pembahasan
Bank
syariah terdiri atas bank umum syariah dan bank pembiayaan rakyat syariah.
Dimana kegiatan usaha bank umum syariah tentantang penyaluran dana yaitu[5]:
1.
Menyalurkan pembiayaan bagi hasil
berdasarkan akad mudharabah, Akad musyarakah atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan prinsip syariah.
2.
Menyalurkan pembiayaan
berdasarkan akad mudarabah,akad salam, akad istishna atau akad lain yang tidak
bertentangan dengan akad syariah.
3.
Menyalurkan pembiayaan
berdasarkan akad qardh atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
4.
Menyalurkan pembiayaan penyewaan
barang bergerak atau tidak bergerak kepada nasabah berdasarkan akad ijarah dan atau sewa beli dalam bentuk IMB atau akad
lainnyayang tidak bertentangan dengan prinsip syariah.
Bank umum
syariah perlu menyalurkan dananya kepada pihak yang membutuhkan dana, agar
tidak terjadi idle fund. Bank umum
syariah dapat menyalurkan dananya dalam bentuk pembiayaan setra dalam bentuk
penempatan dana lainnya. Dengan aktivitas penyaluran dana ini bank syariah akan
memperoleh pendapatan dalam bentuk margin keuntungan bila menggunakan akad jual
beli, bagi hasil bila menggunakan akad kerja sama usaha, dan sewa bila
menggunakan akad sewa-menyewa.[6]
Fungsi
bank syariah yang kedua yaitu menyalurkan dana kepada masyarakat yang
membutuhkan (user of fund).
Masyarakat dapat memeroleh pembiayaan dari bank syariah asalkan dapat memenuhi
semua ketentuan dan prasyaratan yang berlaku. Menyalurkan dana merupakan
aktivitas yang sangat penting bagi bank syariah. Bank syariah akan memperoleh return atas dana yang disalurkan. Return atau pendaptan yang diperoleh dibank atas
penyaluran dana ini tergantung pada akadnya.
BPRS
menyalurkan dananya dalam bentuk pembiayaan dan penempatan pada bank syariah
lain atau BPRS lainnya. Dari aktivitas penyaluran dana ini BPRS memperoleh
pendapatan dalam bentuk margin keuntungan yang berasal dari pembiayaan dengan
akad jual beli atau pendapatan bagi hasil yang diperoleh dari pembiayaan kerja
sama usaha.[7]
Dalam
penyaluran dana pada nasabah secara garis besar produk pembiayaan syariah
terbagi kedalam 6 kategori berdasarkan tujuan penggunaanya.[8]
Penyaluran
dana kepada masyarakat oleh bank syariah berdasarkan prinsip-prinsip sebagai
berikut[9]:
a.
Prinsip Jual Beli
1.
Murabahah
Pembiayaan
murabahah, yaitu pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk
membeli suatu barang dengan kewajiban
mengembalikan talangan dana tersebut seluruhnya ditambah dengan margin
keuntungan bank pada waktu jatuh tempo. Bank memperoleh margin keuntungan
berupa selisih harga beli dari pemasok
dengan harga jual bank kepada nsabah.
Sebagai
dasar hukum pelaksanaan murabahah dalam sumber utama hukum islam adalah sebagai
berikut:
a.
Qs. Al-baqarah(2):275: “ dan
allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan yang riba.”
b.
HR. Al. Baihaqi dan Ibnu Majah
dari Abu sa’id al- khudri bahwa Rasulullah SAW.
Bersabda: “sesungguhnya jual beli itu harus dilakukan suka sama suka.”
Gambar pembiayaan murabahah
1.
Negosiasi &
Persyaratan
2. Akad jual beli
BANK 6. Bayar NASABAH
5.
terima barang
3.
B. barang SUPPLIER PENJUAL 4. Kirim
Pembiayaan murabahah telah diatur
dalam fatwa DSN No. 04/DSN-MUI/IV/2000. Dalam fatwa tersebut disebutkan
ketentuan umum mengenai murabahah, yaitu sebagai berikut[10]:
a.
Bank
dan nasabah harus melakukan akad murabahah yang bebas riba.
b.
Barang
yang dipejualbelikan tidak diharamkan oleh syariah islam.
c.
Bank
yang membiayai sebagian atau seluruh harga pembelian barang yang telah
disepakati kualifikasinya.
d.
Bank
membeli barang yang diperlukan nasabah atas nama bank sendiri, dan pembelian
ini harus sah dan bebas riba.
e.
Bank
harus menyampaikan semua hal yang berkaitan dengan pembelian, misalnya jika
pembelian dilakukan secara utang.
f.
Bank
kemudian menjual barang tersebut kepada nasabah( pemesan) dengan harga jual
senilai harga barang plus keuntungannya. Dalam kaitan ini bank harus member
tahu secara jujur harga pokok barang kepada nasabah berikut biaya yang
diperlukan.
g.
Nasabah
membayar harga barang yang telah disepakati tersebut pada jangka waktu tertentu
yang telah disepakati.
h.
Untuk
mencegah terjadinya penyalahgunaan tau kerusakan akad tersebut, pihak bank
dapat mengadakan penjanjian khusus dengan nasabah.
i.
Jika
bank hendak mewakili kepada nasabah
untuk membeli barang dari pihak ketiga, akad jual beli murabahab yang harus
dilakukan setelah barang, secara prinsip menjadi milik bank.
Contoh:
Tuan Ahmad sebagai pengusaha kayu, mengajukan permohonan pembiayaan murabahah
guna pembelian kayu seharga Rp. 200.000.000,-. Setelah dievaluasi oleh bank
syariah, usahanya layak dan permohonannya disetujui, maka mengangkat Tuan Ahmad
sebagai wakil bank syariah untuk membeli kayu dengan dana dan atas namanya
kemudian menjual kayu tersebut kembali kepada Tuan Ahmad ( sebagai pengusaha)
sejumlah Rp. 240.000.000,- dengan jangka waktu 3 bulan dan dibayar lunas pada
saat jatuh tempo. Asumsi penetapan harga jual Rp. 240.000.000,- telah dilakukan
dengan cara:
a.
Tawar
menawar harga jual antara Tuan Ahmad dengan bank.
b.
Harga
jual yang disetujui tidak akan berubah selama jangka waktu 3 bulan walaupun
dalam masa tersebut terjadi perubahan
harga atau perubahan tingkat bunga dibank konvensional.
2. Baiu Bithaman Ajil
Pembiayaan baiu bitaman ajil, yaitu
pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu
barang / jasa dengan kewajiban
mengembalikan talangan dana tersebut ditmbah margin keuntungan bank
secara mencicil sampai lunas dalam jangka waktu tertentu sesuai dengan
kesepakatan. Bank memperoleh keuntungan berupa selisih harga beli dari pemasok
dengan harga jual bank kepada nasabah.
Kalau diperhatikan produk bank
konvensional, maka baiu bithaman ajil dapat disamakan dengan kredit investasi,
sehingga pembiayaan dengan prinsip baiu bithaman ajil ini bersifat jangka
panjang. [11]
Dasar hukum pelaksanaan prinsip
baiu bithaman ajil mengacu pada al-quran surat an-nisa ayat 29 yang artinya “ hai orang-orang yang beriman janganlah kamu
makan harta sesamamu dengan jalan bathil, kecuali dengn jalan berniaga yang
berlaku dengan suka dianta kamu”. Sedangkan pada hadist yng diriwayatkan,
dari suhaib ra. Bahwa Rasulullah bersabda, “
tiga perkara didalamnya terdapat
keberkatan(1) menjual dengan pembayaran secara kredit. (2) muqaradhah (nama
lain dari mudharabah).(3)mencampur gandum
dengan tepung untuk keperluan rumah dan bukan untuk dijual.” (HR. Ibnu
Majar, Sublu Assalam 4/147). Bentuk kegiatan
pembiayaan ini dapat diterapkan dalam proses pengadaan barang bagi nasabah dan
pembiayaan impor dari luar negeri.
3. Istishna
Pembiayaan istisna adalah
pembiayaan berupa talangan dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu
barang atau jasa dengan pembayaran
dimuka, dicicil atau tangguh bayar. Nasabah wajib mengembalikan talangan dana
tersebut ditambah margin keuntungan bank secara mencicil sampai lunas dalam
jangka waktu tertentu atau tunai sesuai dengan kesepakatan. Bank memperoleh
margin keuntungan berupa selisih harga beli dari pemasok dengan harga jual bank
kepada nasabah.
Gambar
pembiayaan istishna
1. Pesan
2.
Beli
3.
Jual
Pada kegiatan usaha jual beli dengan istishna ini
juga dapat dilakukan dengan istishna
parallel yang dilakukan oleh bank kepada pihak lain. Hal ini diatur dalam
fatwa DSN No. 22/DSN-MUI/III/2002 mengenai jual beli istishna parallel dengan
ketentuan sebagai berikut:
a. Jika LKS( Lembaga Keuangan Syariah,
bank) melakukan transaksi istishna, untuk memenuhi kewajibannya kepada nasabah,
ia dapat melalukan istishna lagi dengan pihak lain pada objek yang sama, dengan
syarat istishna pertama tidak bergantung(mu’allaq) pada istishna kedua.
b. LKS ( Lembaga Keuangan Syariah, bank)
selaku mustashni’ tidak diperkenakan untuk memugut MDC( margin during construction) dari nasabah ( shani’),
karena hal ini tidak sesuai dengan prinsip syariah.
c. Ketentuan yang berlaku pada fatwa DSN
No. 06/ DSN-MUI/IV/2000 juga berlaku istishna parallel.
4. Salam
Pembiayaan salam, yaitu pembiayaan berupa talangan
dana yang dibutuhkan nasabah untuk membeli suatu barang atau jasa dengan
pembayaran dimuka sebelum barang atau jasa
diantarkan atau dibentuk. Nasabah berkewajiban mengembalikan talangan
dana tersebut ditambah margin keuntungan bank secara dicicil sampai lunas dalam
jangka waktu tertentu atau tunai sesuai dengan kesepakatan.
Pelaksanaan salam, selain antara nasabah dan bank, dapat juga dilakukan
antara bank dengan penjaul. Salam yang kedua ini disebut dengan salam
parallel dengan syarat-syarat, bahwa:1.
Akad kedua( salam parallel) terpisah
dari akad pertama(salam pertama); dan 2. Akad kedua dilakukan setelah
akad pertama sah.
b. Pembiayaan Bagi
Hasil
Perbankan dengan sistem bagi hasil dirancang untuk
terbinanya kebersamaan dalam menanggung risiko usaha dan berbagi hasil usaha
antara: pemilik dana (shohibul maal) yang
menyimpan uangya dibank, bank selaku pengelola dana (mudahrib), dan masyarakat yang membutuhkan dana yang bisa berstatus
peminjam dana atau pengelola usaha.
Pada penyaluran dana kepada masyarakat, sebagian
besar pembiayaan bank disalurkan dalam bentuk barang atau jasa yang dibelikan
bank untuk nasabahnya. Dengan demikian, pembiayaan hanya diberikan apabila
barang atau jasanya telah ada terlebih
dahulu. Dengan metode ada barang dulu baru ada uang, maka masyarakat dipacu
untuk memproduksi barang atau jasa atau mengadakan barang atau jasa.
Selanjutnya barang yang dibeli atau diadakan menjadi jaminan utang.[12]
a. Mudharabah
Pembiayaan mudharabah adalah pembiayaan seluruh
kebutuhan modal pada suatu usaha untuk jangka waktu terbatas sesuai dengan
kesepakatan. Hasil usaha bersih dibagi antara bank sebagai penyandang dana(shohibul
maal) dengan pengelola usaha( mudharib) sesuai dengan
kesepakatan. Umumnya porsi bagi hasil ditetpkn bagi mudharib lebih besar dari
pada shohibul maal. Pada akhir jangka waktu pembiayaan, dana pembiayaan
dikembalikan kepada bank.
b. Musyarakah
Pembiayaan musyarakah, yaitu pembiayaan sebagian
kebutuhan modal pada suatu usaha jangka waktu terbatas sesuai kesepakatan.hasil
usaha bersih dibagi antara bank sebagai penyandang dana ( shohibul maal) dengan
pengelola usaha (mudharib) sesuai dengan kesepakatan. Umumya, porsi bagi hasil
ditetapkan sesuai dengan persentase kontribusi masing-masing. Pada akhir jangka
waktu pembiayaan dikembalikan kepada bank.
Fatwa DSN No. 08/DSN-MUI/IV/2000 mengatur mengenai
pembiayaan musyarakah dengan ketentuan-ketentuan sebagai berikut:
a. Ijab Kabul
b. Subjek hukum
c. objek akad
1. modal
2. kerja
3. keuntungan
4. kerugian
d. Biaya operasional
c. Prinsip Sewa Menyewa
1. Ijarah
Ijarah merupakan pembiayaan bank untuk mengadaan
barang ditambah keuntungan yang disepakati dengan sistem pembayaran sewa tanpa
diakhiri dengan pemilikan. Dalam kegiatan ekonomi pada umumnya dikenal dengan
nama leasing ( sewa menyewa), dimana
pihak bank(leasor) memberikan kesempatan kepada nasabah atau penyewa(lessee)
untuk memperoleh manfaat dari barang untuk jangka waktu tertentu, dengan
ketentuan nasabah akan membayar sejumlah uang (sewa) pada waktu yang disepakati
secara periodic. Apabila telah habis jagka waktunya, benda atau barang yang
dijadikan objek ijarah tersebut tetap menjadi milik bank.
Dasar hukum prinsip ijarah adalah al-quran surat Qasas ayat 26:’ salah atu dari kedua gadis itu berkata;” wahai bapakku ambillah ia
sebagai orang yang bekerja dengan kita karena sesungguhnya orang yang paling
baik yang kamu ambil bekerja ialah orang yang kau lagi dapat percaya”. Sedangkan hadits yang menjadi
dasarnya adalah dari ibnu Umar R.A: Bersabda Rasulullah Saw, “ Berikanlah upah buruh itu sebelum kering
keringatnya.” Dan hadits dari Abi Said Al Hudry R.A: Bersabda Rasulullah
Saw, “ Barang siapa mempekerjakan pekerja
hendaklah mejelaskan upahnya.”
2. Ijarah Muntahiya
Bittamlik
Pembiayaan IMB adalah akad sewa menyewa barang antara
bank dengan penyewa yang diikuti janji, bahwa pada saat ditentukan kepemilikan
barang sewaan akan berpindah kepada mustajir.
d. Prinsip Pinjam
meminjam
Pembiayaan qardhul Hassan, yaitu pembiayaan berupa
pinjaman tanpa dibebani biaya apa pun bagi kaum dhuafa yang merupakan asnaf ZIS
dan ingin mulai berusaha kecil-kecilan. Nasabah hanya diwajibkan mengembalikan
pokok pinjamannya saja pada waktu jath tempo sesuai dengan kesepakatan dengan
membayar biaya-biaya administrasi yang diperlukan. Nasabah yang berhasil
dianjurkan mambayar ZIS untuk memperkuat dana qardhul Hassan. Bank memperoleh
pengembalian biaya administrasi dan menampung ZIS dari nasabah yang berhasil
usahanya. Dana qardhul Hassan ini dapat bersumber dari bagian modal bank,
keuntungan bank yng disisihkan, atau dari lembaga lain atau individu yang
mempercayakan penyaluran infaknya kepada bank.
PENUTUP
A. Kesimpulan
Penyaluran dana kepada masyarakat dalam bentuk :
1. Pembiayaan bagi hasil berdasarkan akad mudharabah
atau musyarakah.
2. Pembiayaan berdasarkan akad murabahah,
salam atau istishna.
3. Pembiayaan berdasarkan akad qardh.
4. Pembiayaan penyewaan barang bergerak dan
tidak bergerak kepada nasabah.
B. Saran
Diharapkan
dengan adanya penyaluran dana dimasyarakat yang diberikan pihak bank mampu
digunakan dengan efisien sesuai dengan kebutuhan.
DAFTAR PUSTAKA
Arifin, Z. Dasar-dasar Manajemen Bank Syariah. Jakarta:
Pustaka Alvabet. 2006.
Dendawijaya, L. Manajemen Perbankan Edisi 2. Bogor:
Penerbit Ghalia Indonesia. . 2005.
Ismail, Perbankan Syariah, Ed.1 cet. 1; Jakarta:
Kencana, 2011
Kasmir, Manajmen Perbankan, Ed.1 cet.2; Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001
Kasmir, Pemasaran Bank, Ed.Revisi cet. 4;
Jakarta: Kencana, 2010
Martono, Bank & Lembaga Keuangan Lain, Ed.1
cet.1; Yogyakarta: Ekonisia, 2002
Soemitra, Andri, Bank dan Kelembaga Keuangan Syariah,
Ed.1 cet. 1; Jakarta: Kencana, 2009
Uman, Khotibul , Trend
Pembentukan Bank Umum Syariah Pasca UU No.21 Tahun 2008 (Konsep, Regulasi dan
Implementasi), Ed.1 cet.1; Yogyakarta: BPFE, 2009
UU
Perbankan Syariah 2008(UU No. 21 Th. 2008), (
cet.1; Jakarta: Sinar Grafika Offset, 2008), h. 15
Wirdyanigsih
dkk, Bank
dan Asuransi Islam di Indonesia, Ed.1 cet. 3; Jakarta: Kencana, 2005
[1] Wirdyanigsih dkk, Bank
dan Asuransi Islam di Indonesia, Ed.1 ( cet. 3; Jakarta: Kencana,
2005), h. 101
[2] Ibid
[3] Kasmir, Manajmen Perbankan, Ed.1 ( cet.2;
Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2001), h. 80
[4] Kasmir, Pemasaran Bank, Ed.Revisi( cet. 4;
Jakarta: Kencana, 2010), h. 9
[5] UU Perbankan Syariah 2008(UU No. 21 Th. 2008), ( cet.1; Jakarta:
Sinar Grafika Offset, 2008), h. 15
[7] Ibid, h. 55
[8] Andri Soemitra, Bank dan Kelembaga Keuangan Syariah, Ed.1(
cet. 1; Jakarta: Kencana, 2009), h. 78
[9] Martono, Bank & Lembaga Keuangan Lain, Ed.1(
cet.1; Yogyakarta: Ekonisia, 2002), h. 99
[10] Ibid, h. 100
[11] Ibid, h. 102
[12] Khotibul Uman, Trend
Pembentukan Bank Umum Syariah Pasca UU No.21 Tahun 2008 (Konsep, Regulasi dan
Implementasi), Ed.1 (cet.1; Yogyakarta: BPFE, 2009), h. 57
Tidak ada komentar:
Posting Komentar