PERBANKAN SYARI’AH DAN PRODUK-PRODUK
BANK SYARI’AH
Oleh :
ERLITA
01133095
EKONOMI SYARIAH
KELOMPOK 4
SEKOLAH ISLAM AGAMA ISLAM NEGERI
( STAIN ) WATAMPONE
2017
A.
Pendahuluan
Eksistensi lembaga keuangan
khususnya sektor perbankan menempati posisi yang sangat strategis dalam
menjembatani kebutuhan modal kerja dan investasi di sektor rill dengan pemilik
dana. Dengan demikian pungsi utama sektor perbankan dalam infrastruktur
kebijakan makro ekonomi memamg diarahkan dalam konteks bagaimana menjadikan
uang efektif untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi.
Sejak langkah pertama pendiriannya, bank-bank syariah
telah menunjukkan trend perkembangan yang positif sehingga dapat memainkah
peranan pentingnya dalam memobilisasi, mengalokasi, dan memanfaatkan sumber
daya dengan lebih baik (Haron dan Ahmad, 2001). Salah satu faktor pendukung
yang menunjang trend positif ini adalah pembagian hasil usaha dalam pembiayaan
yang menggunakan konsep profit sharing dan revenue sharing dengan akad
mudharabah, meski pada awalnya, konsep ini tidak begitu luas dimengerti oleh
masyarkat (Siregar, 2002). Profit sharing dan revenue sharing merupakan
pembagian hasil usaha dengan ketentuan nisbah pihak penyalur dana dan penerima
dana usaha. Sehingga besarnya pembagian dipengaruhi oleh hasil usaha yang
dijalani.
Konsep profit sharing atau yang juga disebut dengan
profit and loss sharing menawarkan pembagian hasil usahadengan perhitungan pendapatan/keuntungan bersih (net profit),
yaitu laba kotor dikurangi beban biaya yang diekluarkan selama operasional
usaha. Sedangkan konsep revenue sharing adalah konsep yang menawarkan pembagian
hasil usaha berdasarkan perhitungan laba kotor (gross profit).
Kosep inilah yang membedakannya dengan bank-bank
konvensional yang menawarkan tingkat suku bunga yang tinggi agar dapat menarik
minat masyarakat menabungkan uangnya di bank. Besarnya bunga dalam pembagian
hasil usaha ditetapkan pada awal perjanjian kerjasama dengan keuntungan yang
pasti bagi investor. Bahkan meski kreditur mengalami kerugian dalam usahanya,
investor tetap mendapatkan bunga yang disepakati sebelumnya.
B. Perbankan Syariah
Perbankan syariah dalam peristilahan
internasional dikenal sebagai Islamic
Bangking atau juga disebut dengan interest-freebanking.
Peristilahan denganmenggunakan kata dengan menggunakan islamic tidak dapat
dilepaskan dari asal usul perbankan syari’’ah itu sendiri. Bank syari’ah pada
awalnya dikembangkan sebagai suatu respon dari kelompok dan praktisi perbankan
muslim yang berupaya mengakomodasikan dari berbagai pihak yang menginginkan
agar tersedia jasa transaksi keuangan yang dilaksanakan sejalan dengan nilai
moral dan prinsip-prinsip syari’ah islam. Utamanya adalah berkaitan dengan
pelarangan praktik riba, kegiatan maisir (spekulasi), dan gharar (ketidak
jelasan).
Bank syariah adalah lembaga keuangan
yang usaha pookoknya memberikan pembiayaan dan jasa-jasa lainnya dalam lalu
lintas pembiayaan serta predaran uang yang pengoperasiannya disesuaikan dengan
prinsip syariah islam. Antonio dan Perwataatmadja membadakan menjadi dua
pengertian, yaitu bank islam dan bank yang beroperasi dengan prinsip syari’ah
islam.[1]
Perbankan Syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut
tentang Bank Syari’ah dan Unit Usaha-Usaha Syari’ah, mencakup kelembagaan,
kegiatan usaha serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usaha
lainnya.Sama seperti halnya dengan bank konvensional, bank syariah juga
menawarkan nasabah dengan bank konvensional adalah dalam produk perbankan.
Hanya saja bedanya denga bank konvensional adalah dalam hal penentuan harga,
baik terhadap harga jual maupun harga belinya. Produk-produk yang ditawarkan
sudah tentu sangat Islami., termasuk dalam memberikan pelayanan kepada
nasabahnya.
C. PERKEMBANGAN SISTEM PERBANKAN SYARIAH
Pada
awalnya penerapan sistem perbankan syariah, pembentukan lembaga keuangan
syariah, serta penciptaan produk – produk syariah dalam sistem keuangan
dimaksudkan untuk menciptakan suatu kondisi bagi umat muslim agar melaksanakan
semua aspek kehidupan termasuk aspek ekonominya dengan berlandaskan pada
Al-Qur’an dan As-Sunnah. Saat ini sistem perekonomian Islam mengalami
perkembangan yang cukup pesat dan menjadi objek kajian dan penelitian kalangan
barat. Sistem syariah dewasa ini telah terintegrasikan dan berinteraksi dengan
sistem perekonomian dunia. Sistem perbankan syariah tidak lagi hanya dimonopoli
dan diklaim sebagai sistem perbankan negara –negara Islam
Pengembangan perbankan syariah
di Indonesia dimaksudkan antara lain untuk menyediakan alternatif pelayanan
kepada masyarakat baik dalam bentuk penyimpanan dana atau jenis jasa lainnya
maupun berupa pembiayaan yang dilakukan berdasarkan prinsip syariah. Adanya
produk syariah tersebut memberikan tempat bagi masyarakat.
Upaya pengembangan perbankan syariah di
Indonesia merupakan kegiatan yang mendasar dan memiliki dampak yang luas, bukan
saja bagi perekonomian nasional tetapi juga kegiatan ekonomi masyarakat. Oleh
karena itu, untuk mengembangkan perbankan syariah tersebut perlu diikutsertakan
unsur – unsur yang dapat membantu perkembangan sistem perbankan syariah antara
lain bankir syariah, para ahli ekonomi, hukum dan perbankan Islam, serta para
ulama.
Pelanggaran terhadap praktik
riba dilarang oleh Islam. Terdapat berbagai sumber yang berkaitan dengan pelarangan
terhadap praktik riba. Mengingat keawaman penulis dalam masalah fiqih dan
hadist, pada bagian ini penulis tidak bermaksud membahas mengenai masalah bunga
bank sebagai praktik riba dilihat dari pandangan syariah, tapi sekedar
mengambil dari berbagai sumber untuk kemudian dibuat kesimpulan sebagai latar
belakang permasalahan yang terkait dengan masalah penerimaan tingkat bunga bank
sebagai riba.
D. SISTEM PERBANKAN SYARIAH INDONESIA
Dalam rangka menghadapi perkembangn perekonomian nasional
yang berubah cepat, tantangan yang dinamis, semakin kompleks, serta
terintegrasi dengan perekonomian internasional, diperlukan berbagai penyesuian
kebijakan di bidang perbankan. Kebijakan ini diharapkan dapat memperbaiki dan
memperkokoh ketahanan perbankan nasional. Kebijakan perbankan yang
komprehensif, transparan dan mengandung kepastian hukum tersebut di antaranya
berkaitan dengan pengaturan kepemilikan dan permodalan, kepengurusan, perluasan
jaringan, serta perubahan kegiatan usaha Bank Syariah. Artinya, Bank Indonesia,
antara lain tetap mempertimbangkan faktor – faktor kemampuan Bank Syariah,
prinsip kehati – hatian operasional, tingkat persaingan yang sehat, tingkat
kejenuhan jumlah bank yang melakukan kegiatan usaha berdasarkan prinsip
syariah, pemerataan pembangunan ekonomi nasional, kelayakan rencana kerja,
serta kemampuan dan atau kelayakan pemilik, pengurus, dan pejabat.
Dalam
pendirian Bank Syariah diperlukan dukungan permodalan yang kuat dan pemilik
bank yang layak serta kondisi keuangan yang sehat sehingga Bank Syariah mampu
bersaing dalam dunia perbankan internasional. Hal ini sejalan dengan
perkembangan globalisasi sistem keuangan dan pembukaan akses pasar serta
perlakuan non-diskriminasi. Sehubungan dengan itu terhadap pihak asing
diberikan juga kesempatan untuk berperan serta dalam kepemilikan dan
kepengurusan Bank Syariah dengan tetap memperhatikan aspek kemitraan dengan
pihak nasional. Selain permodalan yang kuat, bank perlu didukung pula oleh
pengurus, Dewan Pengawas Syariah, dan pejabat yang mampu dan kompeten untuk
mengelola bank secara sehat.
Sementara itu, penambahan
jaringan Bank Syariah dimungkinkan untuk memperluas jangkauan layanan melalui
pembukuan Unit Pelayanan Syariah dengan tetap memperhatikan rencana kerja bank,
dan kelayakan, serta kemampuan keuangan bank. Selain itu, perluasan jaringan
juga harus memperhatikan tingkat kejenuhan jumlah bank yang akan melakukan
kegiatan usaha berdasarkan prinsip syariah, tingkat persaingan pemerataan
pembangunan ekonomi nasional. Dalam rangka mendukung kebijakan yang transparan
dan mengandung kepastian hukum, diperlukan pengaturan secara jelas tentang
kelembagaan Bank Syariah. Sementara itu dalam rangka kepastian hukum perlu
dicantumkan sanksi yang tegas dan transparan kepada Bank Syariah dan atau pihak
lain yang melanggar ketentuan. Hal ini dimaksudkan sebagai upaya Bank Indonesia
untuk mendorong bank lebih memperhatikan prinsip kehati-hatian dalam
menjalankan kegiatan usahanya dan untuk kelancaran pelaksanaan tugas pengawasan
dan pembinaan Bank Syariah oleh Bank Indonesia.
E. Produk Perbankan Syariah
Sama seperti halnya dengan bank konvensional, bank
syariah juga menawarkan nasabah dengan bank konvensional adalah dalam produk
perbankan. Hanya saja bedanya denga bank konvensional adalah dalam hal penentuan
harga, baik terhadap harga jual maupun harga belinya. Produk-produk yang
ditawarkan sudah tentu sangat Islami., termasuk dalam memberikan pelayanan
kepada nasabahnya. Berikut ini jeis-jenis produk bank syariah yang ditawarkan
adalah sebagai berikut:
Al-wadi’ah (Simpanan)
Tabungan merupakan jenis simpanan yang sangat populer di
lapisan masyarakat Indonesia mulai dari masyarakat kota hingga masyarakat
pedesaan.[2] Al-Wadi’ah atau dikenal dengan nama titipan
atau simpanan, merupakan titipan murni dari satu pihak ke pihak lain, baik
perorangan maupun badan hukum yang harus dijaga dan dikembalikain kapan saja
bila si penitip menghendaki.Penerima simpanan disebut yad al-amanah yang
artinya tangan amanah. Si penyimpan tidak bertanggung jawab atas segala kehilangan
dan kerusakan yang terjadi pada titipan selama hal itu bukan akibat dari
kelalaian atau kecerobohan yang bersangkutan dalam memelihara barang titipan.
Penggunaan uang titipan harus terlebih dulu meminta izin kepada si pemilik uang
dan dengan catatan si pengguna uang menjamin akan mengembalikan uang tersebut
secara utuh. Dengan demikian prinsip yad al-amanah (tangan amanah) menjadi yad
adh-dhamanah (tangan penanggung). Menurut Undang-Undang Perbankan Syariah Nomor
21 tahun 2008 tabungan adalah simpanan berdasarkan wadiah dan atau investasi
dana berdasarkan akad mudharabah atau akad lain yang tidak bertentangan dengan
prinsip syariah yang penarikannya hanya dapat dilakukan menurut syarat dan
ketentuan tertentu yang disepakati (buku tabungan, slip penarikan, ATM dan
sarana lainnya), tetapi tidak dapat ditarik dengan cek, bilyet giro, dan atau
alat lainnya yang dipersamakan dengan itu.[3]
Prinsip wadi’ah yang diterapkan adalah wadi’ah yad
dhamanah yang diterapkan pada produk rekening giro. Wadh’ah dhamanah berbeda
dengan wadi’ah amanah. Dalam wadi’ah amanah harta titipan tidak boleh
dimanfaatkan oleh yang dititipi, sedangkan dhamanah yang dititipi (bank) boleh
memanfaatkan harta titipan tersebut. Implikasi hukumnya sama dengan qardh,
dimanan nasabah meminjamkan uang kepada bank. Pemilik dana tidak mendapat
imbalan tapi insentif yang tidak diperjanjikan. Dalam praktiknya nisbah antara
bank (shahibul maal) dengan deposan (mudharib) biasanya bonus untuk giro wadiah
sebesar 30%, nisbah 40%:60% untuk simpanan tabungan dan nisbah 45%:55% untuk
simpanan deposito. Deposito merupakan dana nasabah yang ada pada bank yang penarikannya
dapat dilakukan pada saat jatuh tempo atau jangka waktu yang ditentukan.
Misalnaya 3 bulan, 6 bulan, dan seterusnya. Pada produk deposito ini bank
menggunakan prinsip bagi hasil.[4]
Pembiayaan Dengan Bagi Hasil
Sistem ini adalah suatu sistem yang meliputi tata cara
pembagian hasil usaha antara penyedia dana dengan pengelola dana. Pembagian
hasil usaha ini dapat terjadi antara pihak bank dengan nasabah penyimpan dana
maupun antara bank dengan nasabah penerima dana.[5]
a. Al-musyarakah (Partisipasi Modal)
Al-musyarakah adalah akad kerja sama antara dua pihak
atau lebih untuk melakukan usaha tertentu. Musyarakah berarti
kemitraan dalam suatu usaha dan dapat diartikan sebagai bentuk kemitraan antara
dua orang atau lebih yang menggabungkan modal atau kerja mereka untuk berbagi
keuntungan, serta menikmati hak dan tanggung jawab yang sama.[6]
Masing-masing pihak memberikan dana atau amal dengan kesepakatan bahwa
keuntungan atau resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.
Al-musyarakah dalam praktik perbankan diaplikasikan dalam
hal pembiayaan proyek. Dalam hal ini nasabah yang dibiayai dengan bank
sama-sama menyediakan dana untuk melaksanakan proyek tersebut. Keuntungan dari
proyek dibagi sesuai dengan kesepakatan untuk bank setelah terlebih dulu
mengembalikan dana yang dipakai nasabah. Al-musyarakah dapat pula dilakukan
untuk kegiatan investasi seperti pada lembaga keuangan modal ventura.
b. Al-mudharabah
Mudharabah adalah akad kerjasama usaha antara dua pihak
dimana pihak pertama pemilik modal (shahibul maal) menyediakan seluruh
(100%) modal, sedangkan pihak lainnya menjadi pengelola (mudharib).
Keuntungan usaha secara mudharabah dibagi menurut kesepakatan yang
dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal
selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola. Seandainya kerugian
ini diakibatkan karena kecurangan atau kelalaian si pengelola, si pengelola
harus bertanggung jawab atas kerugian tersebut.[7]
Dan didalam prktiknya mudharabah terbagi menjadi 2 macam, yakni:
a) mudharabah muthlaqah merupakan kerja sama antara pihak
pertama dan pihak lain yang cakupannya lebih luas. Maksudnya tidak dibatasi
oleh waktu, spesifikasi usaha dan daerah bisnis.
b) mudharabah muqayyadah merupakan kebalikan dari
mudharabah muthlaqah di mana pihak lain dibatasi oleh waktu spesifikasi usaha
dan daerah bisnis.
Dan keistmewaan dari sebuah mudharabah adalah pada peran
ganda dari mudharib, yakni sebagai wakil (agen) sekaligus mitra. Mudharib
adalah wakil dari rabb al- mal dalam setiap transaksi yang ia lakukan pada
harta mudharabah. Mudharib kemudian menjadi mitra dari rabb al-mal ketika ada
keuntungan.
c. Al-muzara’ah
Pengertian AI-muzara’ah adalah kerja sama pengolahan
pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap. Pemilik lahan menyediakan
lahan kepada penggarap untuk ditanami produk pertanian dengan imbalan bagian
tertentu dari hasil panen. Dalam dunia perbankan kasus ini diaplikasikan untuk
pembiayaan bidang plantation atas dasar bagi hasil panen.
Pemilik lahan dalam hal ini menyediakan lahan, benih, dan
pupuk. Sedangkan penggarap menyediakan keahlian, tenaga, dan waktu. Keuntungan
diperoleh dari hasil panen dengan imbalan yang telah disepakati.
d. Al-musaqah
Pengertian AI-musaqah merupakan bagian dari al-muza’arah
yaitu penggarap hanya bertanggung jawab atas penyiraman dan pemeliharaan dengan
menggunakan dana dan peralatan mereka sendiri. Imbalan tetap diperoleh dari
persentase hasil panen pertanian. Jadi tetap dalam konteks adalah kerja sama
pengolahan pertanian antara pemilik lahan dengan penggarap.
Produk
pembiayaan perbankan syariah derdasarkan prinsip jual-beli
Prinsip ini merupakan suatu sistem yang menerapkan tata
cara jual beli, di mana bank akan membeli terlebih dahulu barang yang
dibutuhkan atau mengangkat nasabah sebagai agen bank melakukan pembelian barang
atas nama bank, kemudian bank menjual barang tersebut kepada nasabah dengan
harga sejumlah harga beli ditambah keuntungan (margin).[8] Aplikasinya dengan menggunakan akad murabahah,
salam dan istishna’.[9]
a. Bai’al Murabahah
Pengertian Bai’al-Murabahah merupakan kegiatan jual beli
pada harga pokok dengan tambahan keuntungan yang disepakati. Dalam hal ini
penjual harus terlebih dulu memberitahukan harga pokok yang ia beli ditambah
keuntungan yang diinginkannya.
Sebagai contoh harga pokok barang “X” Rp 100.000,-. Keuntungan yang
diharapkan adalah sebesar Rp 5.000,-, sehingga harga jualnya Rp 105.000,-.
Kegiatan Bai’al-Murabahah ini baru dilakukan setelah ada kesepakatan dengan
pembeli, baru kemudian dilakukan pemesanan. Dalam dunia perbankan kegiatan
Bai’al-Murabahah pada pembiayaan produk barang-barang investasi baik dalam
negeri maupun luar negeri seperti Letter of credit atau lebih dikenal dengan
nama L/C.
b. Bai’as-Salam
Salam adalah
akad jual beli barang pesanan dengan pembayaran dimuka menurut syarat-syarat
tertentu, atau jual beli sebuah barang untuk diantar kemudian dengan pemayaran
di awal.[10]
Bai’as-salam artinya pembelian barang yang diserahkan
kemudian hari, sedangkan pembayaran dilakukan di muka. Prinsip yang harus
dianut adalah harus diketahui terlebih dulu jenis, kualitas dan jumlah barang
dan hukum awal pembayaran harus dalam bentuk uang.
c. Bai’al Istishna’
Bai’ Al istishna’ merupakan bentuk khusus dari akad
Bai’assalam, oleh karena itu ketentuan dalam Bai` Al istishna’ mengikuti
ketentuan dan aturan Bai’as-salam. Pengertian Bai’ Al istishna’ adalah kontrak
penjualan antara pembeli dengan produsen (pembuat barang). Kedua belah pihak
harus saling menyetujui atau sepakat lebih dulu tentang harga dan sistem
pembayaran. Kesepakatan harga dapat dilakukan tawar-menawar dan sistem
pembayaran dapat dilakukan di muka atau secara angsuran per bulan atau di
belakang.
Produk
pembiayaan perbankan syariah berdasarkan prinsip sewa-menyewa
Prinsip sewa menyewa pada dasarnya adalah pemindahan hak
guna atas barang atau jasa, melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan
pemindahan hak kepemilikan atas barang itu sendiri. Ijarah terbagi atas dua macam yaitu:
1)
Pembiayaan Ijarah
Merupakan
akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa (bank syariah) dengan penyewa
(nasabah) untuk mendapatkan imbalan jasa atas objek sewa yang disewakannya.
2)
Pembiayaan Ijarah Muntahia Bittamlik (IMBT)
Merupakan
akad sewa menyewa antara pemilik objek sewa (bank syariah) dengan penyewa
(nasabah) untuk mendapatkan imbalan jasa atas objek sewa yang disewakannya
dengan opsi pemindahan hak milik obyek sewa pada saat tertentu sesuai dengan
akad yang disepakati di awal.
Produk
Pelayanan Jasa (Fee Based Income Product)
Prinsip ini meliputi seluruh layanan non-pembiayaan yang
diberikan bank. Bentuk produk yang berdasarkan prinsip wakalah, kafalah,
sharf, hawalah dan rahn ini antara lain:
a. Al-Wakalah (Amanat)
Wakalah atau wakilah artinya penyerahan atau pendelegasian
atau pemberian mandat dari satu pihak kepada pihak lain. Mandat ini harus
dilakukan sesuai dengan yang telah disepakati oleh si pemberi mandat.
b. Al-Kafalah (Garansi)
Al-Kafalah merupakan jaminan yang diberikan penanggung
kepada pihak ketiga untuk memenuhi kewajiban pihak kedua atau yang ditanggung.
Dapat pula diartikan sebagai pengalihan tanggung jawab dari satu pihak kepada
pihak lain. Dalam dunia perbankan dapat dilakukan dalam hal pembiayaan dengan
jaminan seseorang.
c. Sharf
Sharf adalah
jual beli atau pertukara mata uang. Asalnya mata uang hanya emas dan perak,
uang emas disebut dinar dan uang perak disebut dirham. Kedua mata uang tersebut
disebut dengan mata uang intrinsik. Zaman sekarang mata uang juga berbentuk
nikel, tembaga dan kertas yang diberi nilai tertentu.
d. Al-Hawalah
Al-Hawalah merupakan pengalihan utang dari orang yang
berutang kepada orang lain yang wajib menanggungnya. Atau dengan kata lain
pemindahan beban utang dari satu pihak kepada lain pihak. Dalam dunia keuangan
atau perbankan dikenal dengan kegiatan anjak piutang atau factoring.
e. Ar-Rahn
Ar-Rahn merupakan kegiatan menahan salah satu harta milik
si peminjam sebagai jaminan atas pinjaman yang diterimanya. Kegiatan seperti
ini dilakukan seperti jaminan utang atau gadai.
F. PENUTUP
Perbankan
Syari’ah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syari’ah dan Unit
Usaha-Usaha Syari’ah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha serta cara dan
proses dalam melaksanakan kegiatan usaha lainnya.Sama seperti halnya dengan
bank konvensional, bank syariah juga menawarkan nasabah dengan bank
konvensional adalah dalam produk perbankan. Hanya saja bedanya denga bank
konvensional adalah dalam hal penentuan harga, baik terhadap harga jual maupun
harga belinya. Produk-produk yang ditawarkan sudah tentu sangat Islami.,
termasuk dalam memberikan pelayanan kepada nasabahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Algaoud M., Latifa dan. Lewis K Mervyn dan Perbankan
Syariah : Prinsip, Praktik dan Prospek, Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta,
2007
Anshari Ghafur Abdul,
Perbankan Syariah di Indonesia, Yogyakarta : Gadjah Mada University
Press, 2007
Antonio Syafi’I, M.
dkk., Bank Syariah: Analisis Kekuatan , Kelemahan, Peluang dan Ancaman, Ed. II, Cet. I, Yogyakarta :
Ekonisia, 2006
Ascarya, Akad dan
Produk Bank Syariah, Jakarta : Raja Grafindo Persada, 2007
Ismail,
Perbankan Syariah, Jakarta : Kencana Prenada Media Group, 2011
Muhammad, Model-model
Akad Pembiayaan di Bank Syariah, Yogyakarta : UII Press, 2009
Perwataatmadja
Karnaen dkk, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta:
PT Dana Bhakti Wakaf
Saeed Abdullah, Bank
Islam dan Bunga : Studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer, Cet. III, Yogyakarta:
Pustaka Pelajar, 2008
Soemitra Andri, Bank
dan Lembaga Keuangan Syariah, Jakarta: Kencana, 2009
Wiroso, Produk
Perbankan Syariah, Jakarta : LPFE Usakti, 2009
[1] Karnaen Perwataatmadja
dan M. Syafe’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam, Yogyakarta:
PT Dana Bhakti Wakaf, 1997, hlm, 1.
[4] Abdul
Ghafur Anshari, Perbankan Syariah di Indonesia, (Yogyakarta : Gadjah
Mada University Press, 2007), hlm.94
[5] M.
Syafi’I Antonio, dkk., Bank Syariah: Analisis Kekuatan , Kelemahan, Peluang
dan Ancaman, Ed.
II, Cet.
I, (Yogyakarta : Ekonisia, 2006), hlm.
18
[6] Mervyn
K. Lewis dan Latifa M. Algaoud, Perbankan Syariah : Prinsip, Praktik dan
Prospek, (Jakarta: PT. Serambi Ilmu Semesta, 2007), hlm. 63
[7]Abdullah Saeed, Bank
Islam dan Bunga : Studi Kritis Larangan Riba dan Interpretasi Kontemporer, Cet. III, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2008), hlm. 91
Tidak ada komentar:
Posting Komentar