MANAJEMEN RISIKO BANK SYARIAH
Oleh :
SRI ASTUTI
01133097
DOSEN PENGAJAR
SITTI NIKMAH MARZUKI,S.EI.,M.E
EKONOMI
SYARIAH KELOMPOK 4 SEMESTER 7
SEKOLAH
TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI ( STAIN ) WATAMPONE
Abstrak
Risiko
sebagai suatu potensi terjadinya suatu peristiwa (events) yang dapat
menimbulkan kerugian. Risiko yaitu suatu kemungkinan akan terjadinya hasil yang
tidak diinginkan, yang dapat menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi
serta tidak dikelola semestinya. Risiko dalam bidang perbankan merupakan suatu
kejadian potensial baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun
tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif pada pendapatan
maupun permodalan bank. Risiko-risiko tersebut tidak dapat dihindari namun
dapat dikelola dan dikendalikan.
Risiko dapat
dibedakan atas dua kelompok besar yaitu risiko yang sistematis (systematic
risk), yaitu risiko yang diakibatkan oleh adanya kondisi atau
situasi tertentu yang bersifat makro, seperti perubahan situasi politik,
perubahan kebijakan ekonomi pemerintah, perubahn situasi pasar, situasi krisis
atau resesi, dan sebagainya yang berdampak pada kondisi ekonomi secara umum;
dan Risiko yang tidak sistematis (unsystematic risk) yaitu risiko yang
unik, yang melekat pada suatu perusahaan atau bisnis tertentu saja.
A. Latar
Belakang
Bank syariah
merupakan lembaga keuangan bank yang dikelola dengan dasar-dasar syariah, baik
itu berupa nilai prinsip dan konsep. Sebagai sebuah entitas bisnis, dalam
kegiatan usahanya bank khususnya bank syariah menghadapi risiko-risiko yang
memiliki potensi mendatangkan kerugian. Risiko ini tidaklah bisa selalu
dihindari tetapi harus dikelola dengan baik tanpa harus mengurangi hasil yang
harus dicapai. Risiko yang dikelola dengan tepat dapat memberikan manfaat
kepada bank dalam menghasilkan laba.
Sebagai
salah satu pilar sektor keuangan dalam melaksanakan fungsi intermediasi dan
pelayanan jasa keuangan, sektor perbankan jelas sangat memerlukan adanya
distribusi risiko yang efisien. Tingkat efisiensi dalam distribusi risiko
inilah yang nantinya menentukan alokasi sumberdaya dana di dalam perekonomian.
Oleh karena itu pelaku sektor perbankan, dan bank syariah khususnya di tuntut
untuk mampu secara efektif mengelola risiko yang dihadapinya.
Penerapan
sistem manajemen risiko pada perbankan syariah sangat diperlukan. Baik untuk
menekan kemungkinan terjadinya kerugian akibay risiko maupun memperkuat
struktur kelembagaan, misalnya kecukupan modal untuk meningkatkan kapasitas,
posisi tawar dan reputasinya dalam menggaet nasabah. Kewajiban penerapan
manajemen risiko oleh Bank Indonesia (BI) yang disusul oleh ketentuan kecukupan
modal dan menambah beban perhitungannya yang dinilai sejauh ini cukup
kompleks,telah memberikan kontribusi penting bagi kelangsungan usaha perbankan
nasional.
Tuntutan
pengelolaan risiko semakin besar dengan adanya penetapan standar-standar
Internasional oleh Bank For Internasional Settlements (BLS) dalam bentuk
Basel I dan Basel II Accord. Dan Perbankan Indonesia mau tidak mau harus mulai
masuk kedalam era pengelolaan risiko secara terpadu (integrated management)
dan pengawasan berbasis risiko (risk based supervision).
Manajemen
risiko sangat penting bagi stabilitas perbankan,hal ini karena bisnis perbankan
serat berhubungan dengan risiko. Dalam kegiatannya,baik menghadapi berbagai
risiko,seperti risiko kredit (pembiayaan),risiko pasar dan risiko operasional dan sebagainya. Manajemen risiko yang baik bagi bank bisa memastikan
bank akan selamat dari kehancuran jika keadaan terburuk terjadi. Ada beberapa
alasan mengapa manajemen risiko harus diterapkan di Perbankan Syariah, dan
mengapa begitu penting. Alasan tersebut menurut zulfikar diantaranya meliputi:
1. Bank adalah
perusahaan jasa yang pendapatannya diperoleh dari interaksi dengan nasabah
sehingga risdiko tidak muingkin tidak ada.
2. Dengan
ini mengetahui risiko maka kita dapat
mengantisipasi dan mengambil tindakan yang diperlukan dalam menghadapi nasabah
bermasalah.
3. Dapat lebih
menumbuhkan pemahaman pengawasan,yang merupakan fungsi sangat penting dalam
aktivitas operasional.
4. Faktor
sejarah krisis Perbankan Nasional.
Sebagai
lembaga intermediasi keuangan berbasis kepercayan sudah seharusnya bank dan
bank syariah khususnya menerapkan system manajemen risiko. Hal tersebut sesuai
dengan peraturan Bank Indonesia No.5/8/PBI/2003 tentang penerapan manajemen
risiko bagi bank umum, yang mengatur agar masing-masing bank menerapkan
manajemen risiko sebagai upaya meningkatkan efektivitas Prudential Banking.
Penerapan manajemen risiko pada perbankan mempunyai sasaran agar setiap potensi
kerugian yang akan datang dapat diidentifikasi oleh manajemen sebelum
transaksi, atau pemberian pembiayaan dilakukan. Dan konsep manajemen risiko
yang terintegrasi, diharapkan mampu memberikan suatu sort and quick report kepada
board of director guna mengetahui risk exposure yang dihadapi
bank secara keseluruhan.
A. Definisi Risiko Bank
Risiko dapat
didefinisikan sebagai suatu potensi terjadinya suatu peristiwa (events)
yang dapat menimbulkan kerugian. Risiko yaitu suatu kemungkinan akan terjadinya
hasil yang tidak diinginkan, yang dapat menimbulkan kerugian apabila tidak
diantisipasi serta tidak dikelola semestinya. Risiko dalam bidang perbankan
merupakan suatu kejadian potensial baik yang dapat diperkirakan (anticipated)
maupun tidak dapat diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif
pada pendapatan maupun permodalan bank. Risiko-risiko tersebut tidak dapat
dihindari namun dapat dikelola dan dikendalikan.
Risiko dapat
dibedakan atas dua kelompok besar yaitu risiko yang sistematis (systematic
risk), yaitu risiko yang diakibatkan oleh adanya kondisi atau
situasi tertentu yang bersifat makro, seperti perubahan situasi politik,
perubahan kebijakan ekonomi pemerintah, perubahn situasi pasar, situasi krisis
atau resesi, dan sebagainya yang berdampak pada kondisi ekonomi secara umum;
dan Risiko yang tidak sistematis (unsystematic risk) yaitu risiko yang
unik, yang melekat pada suatu perusahaan atau bisnis tertentu saja. Macam-macam
Risiko yang dihadapi oleh Bank adalah sebagai berikut:[1]
1. Risiko
Likuiditas
Risiko
likuiditas pasar dimana risiko yang timbul karena bank tidak mampu melakukan
offsetting tertentu dengan harga karena kondisi likuiditas pasar yang tidak
memadai atau terjadi gangguan dipasar. Risiko likuiditas pendanaan dimana
risiko yang timbul karena bank tidak mampu mencairkan assetnya atau memperoleh
pendanaan dari sumber dana lain. Defenisi lainnya terkait Likuiditas adalah
kemampuan suatu perusahaan untuk
melunasi seluruh liabilitas jangka pendeknya, yaitu liabilitas yang
jatuh tempo kurang dari satu tahun. Untuk membayar berbagai liabilitas jangka
pendek yang tempo kurang dari satu tahun, seperti utang kepada pemasok, utang
gaji pegawai, dan utang pajak tertangguh, perusahaan biasanya menggunakan
aset-aset yang likuid. Sehingga, suatu perusahaan dikatakan likuid jika aset
lancar (likuid) yang dimilik lebih besar dibandingkan liabilitas lancar
(berjangka pendek). Pada kondisi itulah perusahaan dikatakan cukup likuid dalam
perusahaan.
2. Risiko
Pasar
Risiko yang
timbul akibat adanya perubahan variabel pasar, seperti: suku bunga, nilai
tukar, hargha equity dan harga komoditas sehingga nilai portofolio/asset yang
dimiliki bank menurun. Apa pun asetnya, bank islam akan menghadapi risiko ini
ketika aset yang dimiliki tidak dipegang hingga jatuh tempo, namun hanya
dipegang hingga periode waktu tertentu. Untuk terkena dampak risiko pasar, bank
islam tidak harus terlibat dalam aktivitas transaksi aktif. Dalam posisi pasif
sekalipun, bank terkena dampaknya, seperti pada nilai tukar mata uang.
3. Risiko Kredit
Dimana
risiko yang timbul akibat kegagalan (default) dari pihak lain (nasabah/debitur)
dalam memenuhi kewajibannya. Risiko ini disebut jua risiko gagal bayar (default risk), risiko pembiayaan (financing risk), risiko penurunan rating ( downgrading risk), dan risiko
penyelesaiaan (settlement risk). Termasuk
dalam risiko kridet yaitu risiko konsentrasi pembiayaan. Syariah membedakan
antara dua jenis gagal bayar, yaitu sebagai berikut:
a.
Yang mampu (gagal bayar sengaja)
b.
Gagal bayar karena bangkrut, yaitu
tidak mampu membayar kembali utangnya karena alasan-alasan yang ridak akui
syariah.
4. Risiko
Operasional
Risiko
operasional adalah risiko kerugian yang diakibatkan oleh pengendalian internal
yang kurang memadai, kegagalan proses internal, kesalahan manusia (human error), kegagalan sistem,
dan/atau adanya kejadian-kejadian
eksternal yang memengaruhi operasional bank. Selain itu, kegagalan memenuhi
peraturan, disebut dengan risiko kepatuhan (compliance
risk), dan risiko bisnis sering kali dimasukkan dalam kategori risiko
operasional.
5. Risiko
Kepatuhan
Risiko
kepatuhan timbul sebagai akibat tidak dipatuhinya atau tidak dilaksanakannya
peraturan-peraturan atau ketentuan-ketentuan yang berlaku atau yang telah ditetapkan
baik ketentuan internal maupun eksternal dan prinsip syariah. Selain memenuhi
semua regulasi dan peraturan perundang-undangan yang berlaku, sebagaimana mana
pada bank konvensional, bank islam diharuskan memenuhi prinsip-prinsip syarih
dalam aktivitas bisnisnya. Inilah yang harusnya mencirikan bank islam. Bank
islam harus benar-benar beroperasi murni berdasarkan syariat islam.
6. Risiko
Hukum
Risiko hukum
adalah terkait dengan risiko bank yang menangtgung kerugian sebagai akibat
adanya tuntutan hukum, kelemahan dalam aspek legal atau yuridis. Kelemahan ini
diakibatkan antara lain oleh ketiadaan peraturan perundang-undangan yang
mendukung atau kelemahan perikatan seperti tidak terpenuhinya syarat-syarat
syahnya kontrak dan pengikatan agunan yang tidak sempurna.
7. Risiko
Reputasi
Risiko yang
timbul akibat adanya publikasi negatif yang terkait dengan kegiatan usaha bank
atau karena adanya persepsi negatif terhadap bank. Pemangku kepentingan bank
meliputi nasabah, debitur, investor, regulator, dan masyarakat umum, meskipun
belum menjadi nasabah bank. Hal-hal yang sangat berpengaruh pada reputasi bank
adalah manajemen, peleyanan, ketaatan pada peraturan, kompensasi dan
sebagaimana. Risiko ini muncul antara lain, karena adanya pemberitaan media
dan/atau rumor mrngenai bank yang bersifat negatif serta adanya srategi
komunikasi yang kurang efektif. Kegagalan manajemen risiko kepatuhan dapat
menimbulkan penarikan besar-besaran dana dari pihak ketiga, menimbulkan masalah
likuiditas, ditutupnya bank oleh otoritas dan dapat mengalami kebangkrutan.
7. Risiko
Strategik
Risiko yang
timbul karena adanya penetapan dan pelaksanaan strategi usaha bank yang tidak
tepat, pengambilan keputusan bisnis yang tidak tepat atau kurang responsifnya
bank terhadap perubahan-perubahan eksternal. Risiko timbul, antara lain, karena
bank menetapkan yang kurang sejalan dengan visi dan misi bank, melakukan
analisis lingkungan strategis yang tidak komprehensif, dan/atau terdapat
ketidaksesuaian rencana strategis antarlevel strategis. Selain itu, risiko
strategis dapat juga muncul karena kegagal bank dalam mengantisipasi perubahan
lingkungan bisnis, seperti perubahan teknologi, perubahan kondisi ekonomi
makro, dinamika kompetisi di pasar, dan perubahan kebijkan otoritas terkait.
8. Risiko Investasi
Risiko inventasi adalah risiko akibat bank ikut menanggung kerugian usaha
nasabah yang dibiayai dalam pembiayaan bagi hasil berbasis profit and loss sharing. Risiko ini timbul apabila bank memberikan
pembiayaan berbasis bagi hasil kepada nasabah di mana bank itu ikut menanggung
risiko atas kerugian usaha nasabah yang dibiayai (profit and loss sharing). Dalam hal ini, perhitungan bagi hasil
tidak hanya didasarkan atas jumlah pendapatan atau penjualan pendapatan atau
penjualan yang diperoleh nasabah, namun dihitung dari keuntungan usaha yang
dihasilkan nasabah. Apabila usaha nasabah mengalami kebangkrutan, jumlah pokok
pembiayaan yang diberikan bank kepada nasabah tidak akan diperoleh kembali.
9. Risiko Imbal Hasil
Risiko imbal hasil (rate of return
risk) adalah risiko akibat perubahan tingkat imbal hasil yang dibayarkan
bank kepada nasabah karena terjadi perubahan tingkat imbal hasil yang diterima
bank dari penyaluran dana, yang dapat memengaruhi perilaku nasabah dana pihak
ketiga bank. Risiko ini timbul antara lain karena adanya perubahan perilaku
nasabah dana pihak ketiga bank yang disebabkan oleh perubahan ekspaktasi
tingkat imbal hasli yang diterima dari bank syariah.
B. Risiko-Risiko
Yang Dihadapi Bank Syariah
Secara umum,
risiko yang dihadapi perbankan syariah bisa diklasifikasikan menjadi dua bagian
besar. Yakni risiko yang sama dengan yang dihadapi bank konvensional dan risiko
yang memiliki keunikan tersendiri karena harus mengikuti prinsip-prinsip
syariah. Risiko kredit, risiko pasar, risiko investasi, risiko
operasional, risiko likuiditas, risiko imbal hasil, risiko
strategik, risiko kepatuhan, dan risiko hukum, harus dihadapi
bank syariah. Tetapi, karena harus mematuhi aturan syariah, risiko-risiko yang
dihadapi bank syariah pun menjadi berbeda.[2]
Bank syariah
juga harus menghadapi risiko-risiko lain yang unik (khas). Risiko unik ini
muncul karena isi neraca bank syariah yang berbeda dengan bank konvensional.
Dalam hal ini pola bagi hasil (profit and loss sharing) yang dilakukan
bank syari’ah menambah kemungkinan munculnya risiko-risiko lain. Seperti withdrawal
risk, fiduciary risk, dan displaced commercial risk. Dimana:
1.
Withdrawal risk merupakan
bagian dari spektrum risiko bisnis. Risiko ini sebagian besar dihasilkan dari
tekanan kompetitif yang dihadapi bank syariah dari nak konvesional
sebagai counterpart-nya. Bank syariah dapat terkena withdrawal risk
(risiko penarikan dana) disebabkan oleh deposan bila keuntungan yang mereka
terima lebih rendah dari tingkat return yang diberikan oleh rival
kompetitornya.
2.
Fiduciary risk sebagai
risiko yang secara hukum bertanggung jawab atas pelanggaran kontrak investasi
baik ketidaksesuaiannya dengan ketentuan syariah atau salah kelola (mismanagement)
terhadap dana investor.
3.
Displaced commercial risk adalah
transfer risiko yang berhubungan dengan simpanan kepada pemegang ekuitas.
Risiko ini bisa muncul ketika bank berada di bawah tekanan untuk mendapatkan
profit, namun bank justru harus memberikan sebagian profitnya kepada deposan
akibat rendahnya tingkat return.
Risiko-risiko
tersebut merupakan contoh risiko unik yang harus dihadapi bank syariah. Adapu
risisko yang dihadapi bank syariah dalam operasional yang terkait denga produk
pembiayaan yang dijalankan oleh bank syariah yaitu meliputi :
2. Risiko Terkait Produk
Risiko
Terkait Pembiayaan Berbasis Natural Certainty Countracts (NCC).Yang
dimaksud dengan analisis risiko pembiayaan berbasis natural certainty
countracts (NCC) adalah mengidentifikasi dan menganalisis dampak dari
seluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang diambil sudah
memperhitungkan risiko yang ada dari pembiayaan natural certainty countracts,
seperti murabahah, ijarah, ijarah mutahia bit tamlik, salam dan istisna’.
Penilaian risiko ini mencakup 2 (dua) aspek, yaitu sebagai brikut :
1.
Default risk (risiko
kebangkrutan): Yakni risiko yang terjadi pada first way out yang
dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Industry risk yaitu risiko
yang terjadi pada jenis usaha yang ditentukan oleh hal-hal sebagai berikut, karakteristik
masing-masing jenis usaha yang bersangkutan, riwayat eksposur pembiayaan yang
bersangkutan dibank konvensional dan pembiayaan yang bersangkutan dengan bank
syariah, terutama perkembangan non performing financing jenis usaha yang
bersangkutan. (2) Kinerja keungan jenis usaha yang bersangkutan (industry
financial standard). Kondisi internal perusahaan nasabah, seperti
manajemen, organisasi, pemasaran, teknis produksi dan keuangan. (3) Faktor
negatif lainnya yang mempengaruhi perusahan nasabah, seperti kondisi group
usaha, keadaan force manjeur, permasalahan hukum, pemogokan, kewajiban off
balance sheet (L/C impor, bank garansi) market risk (forex risk,
interest risk, scurity risk), riwayat pembayaran (tunggakan kewajiban) dan
restrukturisasi pembiayaan.
2. Recovery
risk (risiko jaminan). Yakni risiko yang terjadi pada second
way out yang dipengaruhi oleh hal-hal sebagai berikut: (1) Kesempurnaan
pengiktana jaminan. (2) Nilai jual kemblai jaminan (marketability
jaminan). (3) Faktor negatif lainnya, misalnya tuntutan hukum pihak lain atas
jaminan, lamanya transaksi ulang jaminan. (4) Kredibilitas penjamin (jika ada).
2. Risiko Terkait Pembiayaan
Berbasis Natural Uncertainty Countracts (NUC)
Yang
dimaksud dengan analisi Risiko Terkait Pembiayaan Berbasis Natural
Uncertainty Countracts (NUC) adalah mengidentifikasi dan menganalisis
dampak dari seluruh risiko nasabah sehingga keputusan pembiayaan yang diambil
sudah memeprhitungkan risiko yang ada dari pembiayaan berbasis NUC, seperti mudharabah
dan musyarakah. Penilaian risiko ini mencakup 3 (tiga) aspek, yaitu
sebagai berikut:
1.
Business risk
(risiko bisnis yang dibiayai) Adalah risiko yang terjadi pada first way out
yang dipengaruhi oleh Industri risk yaitu risiko yang terjadi pada jenis usaha
yang ditentukan oleh: (1) Karakteristik masing-masing jenis usaha yang
bersangkutan (2) Kinerja keuangan jenis uasaha yang bersangkutan (industry
financial standard) Faktor negative lainnya yang mempengaruhi perusahaan
nasabah, seperti kondisi group usaha, keadaan force majeure,
permasalahan hukum, pemogokan, kewajiban off balance sheet (L/C impor,
bank garansi), market risk (forex risk, interest risk, scurity risk), riwayat
pembayaran (tunggakan kewajiban) dan restrukturisasi pembiayaan. Shirinking
risk (resiko berkurangnya nilai pembiayaan).Adalah risiko yang terjadi
pada second way out yang dipengaruhi oleh:
2.
Unusual bisiness risk yaitu
risiko bisnis yang luar biasa yang ditentukan oleh : (1) Penurunan drastis
tingkat penjualan bisnis yang dibiayai. (2) Penurunan drastis harga jula
barang/jasa dari bisnis yang dibiayai. (3) Penurunan drastis harga barang/jasa
dari bisnis yang dibiayai.
3.
Jenis bagi hasil yang dilakukan,
apakah profit and loss sharing atau revenue sharing: (1) Untuk
jenis profit and loss sharing, shirnking risk muncul bila terjadi
loss sharing yang harus ditanggung oleh bank. (2) Untuk jenis revenue
sharing, shirnking risk terjadi bila nasabah tidak mampu menanggung biaya (nafaqah)
yang seharusnya ditanggung nasabah, sehingga nasabah tidak mampu melanjutkan
usahanya. Disaster risk yaitu keadaan force majeure yang
dampaknya sangat besar terhadap bisnis nasabah yang dibiayai bank.
4.
Character risk
(risiko karakter buruk mudharib) yaitu risiko yang terjadi pada third
way out yang dipengaruhi oleh hal berikut: (1) Kelalaian nasabah dalam menjalankan
bisnis yang dibiayai bank. (2) Pelanggaran ketentuan yang telah disepakati
sehingga nasabah dalam menjalankan bisnis yang dibiayai bank tidak lagi sesuai
dengan kesepakatan. (3) Pengelolaan intenal perusahaan, seperti manajemen,
organisasi, pemasaran, teknis produksi, dan keuangan, yang tidak dilakukan
secara profesional sesuai dengan standar pengelolaan yang disepakati antara
bank dan nasabah.[3]
Untuk
mengatasi character risk, bank menetapkan kovenan khusus
pembiayaan musyarakah dan mudharabah. Bila terjadi kerugian yang disebabkan
oleh character risk,
kerugian akan di bebankan kepada nasabah. Untuk menjamin agar nasabah mampu
menanggung kerugian akibat risiko tersebut, maka bank menetapkan adanya jaminan
(colleteral).
3. Risiko Terkait Koorporasi
Kompleksitas
dan volume pembiayaan koorporasi menimbulkan risiko tambahan selain risiko yang
terkait dengan produk. Analisis risiko yang terkait dengan pembiayan korporasi
meliputi:
a.
Risiko yang timbul dari perubahan
kondisi bisnis nasabah setelah pencairan pembiayaan. Terdapat setidaknya tiga
risiko yang dapat timbul dari perubahan kondisi bisnis nasabah setelah
pencairan pembiayaan, yaitu sebagai berikut: (1) Over tradingOver terjadi
ketika nasabah mengembangkan volume bisnis yang besar dengan dukungan modal
yang kecil (too much business volume with too little capital). Keadaan
ini akan menimbulkan krisis cash flow. (2) Adverse tradingAdverse trading
terjadi ketika nasabah mengembangkan bisnisnya dengan megambil kebijakan
melakukan pengeluaran tetap (fixed costs) yang besar setiap
tahunnya, serta bermain dipasar yang tingkat volume penjualannya tidak setabil.
Perusahaan yang mempunyai karakterstik seperti ini merupakan perusahaan yang secara
potensial berada dalam posisi yang lemah serta beresiko tinggi. (3) Liquidity
run terjadi ketika nasabah mengalami kesulitan likuiditas karena kehilangan
sumber pendapatan dan peningkatan pengeluaran yang disebabkan oleh alasan yang
tidak terduga. Kondisi ini tentu saja akan mempengaruhi kemampuan nasabah dalam
menyelesaikan kewajibannya kepada pihak bank. Sekalipun tidak dapat memprediksi
arus likuiditas sebuah perusahaan, bank dapat menaksir apakah perusahaan
tersebut memiliki likuiditas yang cukup atau dapat memperoleh dana tambahan
untuk mempertahankan caish flow seperti sedia kala.
b.
Risiko yang timbul dari komitmen
kapital yang berlebihan Sebuah perusahaan mungkin saja mengambil komitmen
kapital yang berlebihan dan menandatangani kontark untuk pengeluaran bersekala
besar. Apabila tidak mampu untuk meghargai komitmennya, bank dapat dipaksa
untuk dilikuidasi. Bank maupun suplier pembayaran perdagangan sering kali tidak
mampu untuk mengontrol suatu pengeluaran yang berlebihan dari sebuah perusahaan.
Namun demikian, bank dapat mencoba untuk memonitornya dengan melakukan
analisis, misalnya, neraca perusahaan tersebut yang terakhir dipublikasikan,
dimana komitmen pengeluaran kapital harus diungkap.
c.
Risiko yang timbul dari lemahnya
analisis bank. Terdapat tiga macam risiko yang timbul dari lemahnya analisis
bank, yakni sebagai berikut: (1) Analisis pembiayan yang keliru Dalam konteks
ini, terjadi bukan karena perubahan kondisi nasabah yang tak terduga, tetapi
dikernakan memang sudah sejak awal nasabah yang bersangkutan beresiko tinggi.
Keputusan pembiayaan bisa jadi adalah keputusan yang tidak valid. Kesalahan
dalam pengambilan keputusan ini biasanya bersumber dari informasi yang tersedia
kurang akurat. Untuk mengatasi hal ini, bank memerlukan staf yang terlatih dan
berpengalaman dalam menyusun suatu pendekatan pembiayaan. (2) Creative accounting
merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan kebijakan akuntansi
perusahaan yang memberikan keterangan yang menyesatkan tentang suatu laporan
posisi keuangan perusahaan. Dalam kasus ini, keuntugan dapat dibuat agar
terlihat lebih besar, aset terlihat lebuh bernilai, dan kewajiban dapat
disembunyikan dari neraca keuangan. (3) Karakter nasabah dapat memperdaya bank
dengan sengaja menciptakan pembiayaan macet. Bank perlu waspada terhadap
kemungkinan ini dengan mencoba untuk membuat suatu keputusan berdasarkan
informasi objektif tentang karakter nasabah. [4]
C. Dampak
Dari Risiko Yang Dihadapi Bank Syariah
Sebagai
dampak terjadinya risiko kerugian keuangan langsung, kerugian akibat risiko (risk
loss) pada suatu bank dapat berdampak pada pemangku kepentingan (stakeholders)
bank, yaitu pemegang saham, karyawan, dan nasabah, serta berdampak juga kepada
perekonomian secara umum. Pengaruh risk loss pada pemegang sahaman
karyawan adalah langsung, sementara pengaruh terhadap nasabah dan perekonomian
tidak langsung. Berikut akan diuraikan dampak potensial terhadap stakeholders
dan ekonomi.
1. Dampak terhadap Pemegang Saham
Pengaruh
risk loss terhadap pemegang saham antara lain:
a. Penurunan
nilai investasi, yang akn memberikan pengaruh terhadap penurunan harga dan/atau
penurunan keuntungan,turunnya harga saham menurunkan nilai perusahaan yang
berarti turunnya kesejahteraan pemegang saham;
b. Hilangnya
peluang memperoleh dividen yang seharusnya diterima sebagai akibat dari
turunnya keuntungan perusahaan;
c. Kegagalan
investasi yang telah dilakukan, hingga yang paling parah adlah kebangkrutan
perusahaan yang melenyapkan nilai semua moal disetor.[5]
2. Dampak terhadap Karyawan
Karyawan
suatu bank dapat terpengaruh oleh peristiwa risiko (risk event) yang
menimbulkan risk loss terkait dengan keterlibatan mereka. Pengaruh
tersebut dapat berupa:
a. Dikenakan
sanksi indisipliner karena kelalaian yang menimbulkan kerugian.
b. Pengurangan
pendapatan seperti pengurangan bonus atau pemotongan gaji.
c. Pemutusan
hubungan kerja.
3. Dampak terhadap Nasabah
Kegagalan
dalam pengelolaan risiko dapat berpengaruh terhadap nasabah. Dampak yang
terjadi dapat secara langsung maupun tiak langsung dan tidak seketika dapat
diidentifikasikan. Pengaruh risk event yang berlangsung secara berkelanjutan,
pada gilirannya akan menimbulkan risk loss terhadap kelangsungan usaha bank itu
sendiri. Konsekuensi risk loss yang berdampak terhadap nasabah bank,
adalah:
a. Merosotnya
tingkat pelayanan.
b. Berkurangnya
jenios dan kualitas produk yang ditawarkan.
c. Krisis
likuiditas sehingga menyulitkan dalam pencairan dana.
d. Perubahan
peraturan.
4. Dampak terhadap Perekonomian
Sebagai
institusi yang mengelola uang sebagai aktivitas utamanya, bank memiliki risiko
yang melekat (inherent) secara sistematis. Risk loss yang terjadi pada suatu
bank akan menimbulkan dampak tidak hanya terhadap bank yang bersangkutan,
tetapi juga akan berdampak terhadap nasabah dan perekonomian secara
keseluruhan. Dampak yang ditimbulkan tersebut dinamakan risiko sistemik (systemic
risk).
Risiko
sistemik secsara spesifik adalah risiko kegagalan bank yang dapat merusak
perekonomian secara keseluruhan dan secara langsung berampak kepada karyawn,
nasabah, dan pemegang saham. Secara umum, masyarakat awam tidak mengenal apa
yang disebut sebagai risimko sistemik. Namun mereka tidak asing dengan istilah run
on a bank (baik riil maupun hanya persepsi dari nasabah). Artinya sebuah
bank di “rush” oleh nasabah bank yang ingin menarik kembali dananya
secara bersamaandan besar-besaran. Hal ini terjadi pada saaat bank tidak dapat
memenuhi kewajibanya. Bank tidak dapat menyediakan dana yang cukup pada saat
nasabah malakukan penarikan dananya.
Bank sangat
rentan terhadap risikmo sistemik yang melekat pada industri perbankan. Risiko
sistemik yang mempengaruhi bank-bank lain tidak dapat dihindari jika sebuah
bank mengalami risk loss. Berbagai regulasi diharapkan akan menjadi paying
pelindung bagi industri perbankan. Perlindungan tidak hanya diberikan kepada
bank terkait, yaitu pemegang saham, karyawan, dan nasabah, tetapi juga kepada
perekonomian secara keseluruhan.
[6]
D. Manajemen
Risiko Bank Syariah
Sebagai
lembaga intermediary dan seiring dengan situasi lingkungan eksternal dan
internal perbankan yang mengalami perkembangan yang pesat, perbankan pada
umumnya dan perbakan syariah pada khususnya akan selalu berhadapan dengan
berbagai jenis risiko dengan tingkat kompleksitas yang beragam dan melekat pada
kegiatan usahanya.
Risiko-risiko
tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh
karena itu perbankan, dan bank syariah khusunya memerlukan serangkaian prosedur
dan metodologi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau,
dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usahanya. (Adiwarman, 2006: 155). Dalam
pelaksanaannya, proses identifikasi, pengukuran, pemantauan, dan pengendali
risiko memperhatikan hal-hal sebagai berikut :[7]
1. Pemetaan Risiko Bisnis
Bank
mengembangkan pemetaan risiko usaha(business risk mapping) untuk
mengidentifikasi risiko utama yang mengancam perusahaan. Alat ini membantu bank
untuk mengetahui dan menentukan tempat dimana risiko berada. Manajemen harus
mengkuantifikasi magnitude dari risiko dan mengukur potensi dampaknya. Ada
nbeberapa cara yang umum dilakukan, yaitu:
a.
Membuat daftar berbagai risiko yang
ada, dengan mengelompokkannya ke dalam sebuah kuadran tergantung
tinggi-rendahnya tingkat kemungkinan terjadi, dan dapat berdampak kepada rugi
yang besar atau kecil.
b.
Membuat peta yang menyajikan kaji9an
perbandingan antara Risiko Kredit, Risiko Pasar, Risiko Likuiditas, dan Risiko
Operasional yang dihadapi Bank. Dengan membandingkan risiko pada sebuah matriks
antara dampak dan frekuensinya, manajemen akan dapat melihat gambaran
menyeluruh dari semua risiko berikut keterkaitannya satu sama lain. Beberapa
sumber informasi awal dapat diperoleh dari:
1)
Environmental scan yaitu
sumber informasi untuk mengevaluasi politik, ekonomi, sosial, budaya, hokum,
dan lain sebagainya.
2)
Dokumen keuangan seperti proyeksi
anggaran (RKAP), laporan keuangan, dan dokumen-dokumen keuangan lain sebagai
sumber informasi awal untuk melakukan analisis.
3)
Dokumen legal seperti kontrak-kontrak,
ketentuan hokum dan peraturan yang ada hubungannya dengan kegiatan usaha
sebagai sumber yang penting untuk dikaji.
4)
Hasil inspeksi di lapangan (on-site
inspection) seperti hasil pemeriksaan yang dilakukan SKAI, merupakan sumber
informasi yang sangat baik, dan bahkan sebagaim fitur berkala dari proses
Manajemen Risiko yang berkelanjutan.
5)
Hasil Wawancara, seperti hasil
penilaian kinerja pegawai atau wawancara langsung dengan para pegawai.
6)
Analisis statistic seperti
perkembangan kualitas aktiva produktif (KAP), tren komposisi simpanan dana
pihak ketiga (DPK), tingkat dan tren kegagalan system, kerugian yang terjadi,
dan sumber Risiko Operasional lainnya. Data seperti ini biasanya tersedia
secara internal.
7)
Benchmarking/best practices, alat
Manajemen Risiko yang juga dapat digunakan untuk mengidentifikasi dan mengukur
tindak pengendalian risiko.
8)
Jasa konsultasi yang memahami Risiko
dan merupakan sumber informasi mengenai klasifikasi Risiko.[8]
2. Alat Modeling
Alat
modeling ini akan memu[1] Tariqullah Khan dan Habib Ahmed, dalam Rahmani
Timorita Yulianti, (Jakarta; Manajemen
Risiko Perbankan Syariah; 2009), h. 90
dahkan para
manajer untuk mengelola ketidakpastian. Analisis scenario dan model proyeksi
merupakan model yang paling sering digunakan. Beberapa contoh diantaranya
adalah:
a.
Pemakaian analisis scenario untuk
melihat rentang kemungkinan dan mempertimbangkan perubahan yang mungkin
terabaikan. Skenario ini dapat diterapkan dalam menyiapkan contingency plan
(untuk likuiditas maupun EDP).
b.
Menggunakan analisis statistic dan
teknik Value at Risk (VaR) untuk mengestimasi variasi kerugian yang mungkin
terjadi di masa datang. Potensi rugi ini diproyeksikan kedalam arus kas yang
akan datang atau laba, termasuk dalam analisis sensivitas, stress testing
(sebagai pelengkap pengukuran risiko suku bungs untuk melihat dampak terburuk),
dan berbagai simulasi lain.
c.
Model keuangan untuk mensimulasi
berbagai Risiko keuangan dn dampak dari berbagai scenario pada portofolio
kredit dan modal.
d.
Mengantisipasi bencana yang akan
mengganggu kelangsungan usaha, misalnya karena kelalaian atau bencana alam,
system pengolahan data tidak berfungsi. Back-up data dan latihan (drill)
menghadapi keadan darurat secara berkala akan dapat mengantisipasi apabila hal
tersebut terjadi.
e.
Menilai Risiko teknis selama
pembangunan produk baru dengan cara mengidentifikasi sedini mungkin potensi
adanya kesalahan dalam proses pembangunmannya.[9]
3. Teknik mengidentifikasi dan
menilai risiko
Kelompok
teknik ini akan membantu Manajemen dalam hal menetapkan focus/memberikan
perhatian dan mengakomodasi seluruh kegiatan pengelolaan Risiko. Beberapa
diantaranya yang lazim digunakan adalah:
a.
Brainstorming groups. Pejabat
atau pegawai dari berbagai Satuan Kerja berkumpul untuk mendiskusikan atau
menyatakan pendapat (brainstorm) atas sebuah atau beberapa isu.
b.
Workshop. Bank
sebaiknya mulai memfasilitasi workshop yang focus pada Risiko yang akn menolonh
pegawai untuk menetapkan dan memprioritaskan tujuan, mengidentifikasikan, dan
menilkai Risiko.
c.
Questionnaires. Satuan
Kerja Operasional diperlengkapi dengan kuesioner yang berisi tujuan dan risiko
yang mungkin timbul.
d.
Self–assessment.
Para manajer melakukan self-assessmant, dengan bantuan dari SKAI, Divisi
Keuangan dan control, atau dari akuntan luar.
e.
Filters. Risiko
dikaji terhadap beberapa filter seperti dampak yang tidak besar, Risiko yang
terkaendali, rendahnya tingkat kemungkinan terjadi, dan lain-lain.
f.
Assessment matrix. Matrik ini
mencangkup seperangkat pertanyaan yang meliputi elemem-elemen dari Manajemen
Risiko dan pengendalian intern. Termasuk didalamnya, best practices.
g.
Risk identification templates. Satuan
Kerja mendapatkan template yang akan membimbing mereka untuk mengidentifikasi
dan mengkaji Risiko mulai saat mereka merencanakan dan menjalankan proses.
h.
“Bottom up” risk assessments. Satuan
Kerja mengidentifikasi dan menilai Risiko. Hasilnya diakumulasi di tingkat
pusat.
i.
Value at Risk (VaR) model
and worst case model. Model ini digunakan untuk menilai Risiko dengan cara
mengestimasi potensi rugi terhadap nilai sebuah posisi atau portofolio dalam
satu jangka waktu tertentu berdasarkan factor-faktor yang ada di pasar.
j.
Prioritizing risks. Risiko
akan ditempatkan atau diatasi berdasarkan jenjang (rank) masing-masing.[10]
4. Peran Internet/Intranet
Pemakaian
Internet/Intranet semakin meningkat dalam mengelola Risiko. Alat ini digunakan
untuk mempromosikan kewaspadaan dan pengelolaan Risiko, untuk mendapatkan
informasi mengenai Risiko untuk area tertentu, berkomunikasi dengan pegawai,
berbagai informasi mengenai Manajemen Risiko dengan Bank lain, dan
mengkomunikasikan tujuan Manajemen Risiko Bank kepada publik.
Kesimpulan
Risiko yaitu
suatu kemungkinan akan terjadinya hasil yang tidak diinginkan, yang dapat
menimbulkan kerugian apabila tidak diantisipasi serta tidak dikelola
semestinya. Risiko dalam bidang perbankan merupakan suatu kejadian potensial
baik yang dapat diperkirakan (anticipated) maupun tidak dapat
diperkirakan (unanticipated) yang berdampak negatif pada pendapatan
maupun permodalan bank. Sebagai
dampak terjadinya risiko kerugian keuangan langsung, kerugian akibat risiko (risk
loss) pada suatu bank dapat berdampak pada pemangku kepentingan (stakeholders)
bank, yaitu pemegang saham, karyawan, dan nasabah, serta berdampak juga kepada
perekonomian secara umum.
Secara umum,
risiko yang dihadapi perbankan syariah bisa diklasifikasikan menjadi dua bagian
besar. Yakni risiko yang sama dengan yang dihadapi bank konvensional dan risiko
yang memiliki keunikan tersendiri karena harus mengikuti prinsip-prinsip
syariah. Risiko kredit, risiko pasar, risiko investasi, risiko
operasional, risiko likuiditas, risiko imbal hasil, risiko
strategik, risiko kepatuhan, dan risiko hukum, harus dihadapi
bank syariah.
Risiko-risiko
tersebut tidak dapat dihindari, tetapi dapat dikelola dan dikendalikan. Oleh
karena itu perbankan, dan bank syariah khusunya memerlukan serangkaian prosedur
dan metodologi yang dapat digunakan untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau,
dan mengendalikan risiko yang timbul dari kegiatan usahanya.
[1] Bambang Rianto Rustam, Manajemen Risiko Perbankan Syariah di Indonesia, Cet.3, ( jakarta;
Selamet Empat: 2013), h. 213
[2] Dewi,
Miranti kartika, Wahyudi, Imam, Rosmanita, fenny, dkk. Manajemen Risiko Bank Islam, Ed. 3, (Jakarta;
Selamet Empat: 2013), h. 57
[5] Muhammad, Manajemen Bank Syari’ah, (Yogyakarta: UNIT DAN PENERBIT SEKOLAH TINGGI ILMU MANAJEMEN YKPN: 2013), h. 245
[6] Robert Tampubolon, Risk
Management, ,Manajemen Risiko, Pendekatan
Kualitatif untuk Bank Komersial. (Jakarta: PT
Elex Media Komputindo; 2006), h. 129
[7] Adiwarman A. Karim, Bank Islam Analisis Fiqih dan
Keuangan. (Jakarta: PT. RajaGrafindo Persada; 2006), h. 155
[8] Tariqullah Khan dan Habib Ahmed, dalam Rahmani
Timorita Yulianti, (Jakarta; Manajemen
Risiko Perbankan Syariah; 2009), h. 90
[10] Ferry N. Idroes, Manajemen Risiko Perbankan:
Pemahaman Pendekatan 3 Pilar Kesepakatan Basel II Terkait Aplikasi Regulasi dan
Pelaksanaannya di Indonesia. Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2008.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar