PRODUK
PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH BERDASARKAN AKAD MURABAHAH DAN IJARAH
Oleh
HERNI
NIM: 01.133.089
PRODI : EKIS 4
SEKOLAH TINGGI AGAMA
ISLAM NEGERI
(STAIN) WATAMPONE
2017
A. Pendahuluan
Bank sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution)
selain melakukan kegiatan penghimpunan daa dari masyarakat, ia juga akan
menyalurkan dana tersebut ke masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan.
Istilah kredit banyak dipakai dalam perbankan konvensional yang berbasis pada
bunga (Intererst based), sedangkan
dalam perbankan syariah lebih dikenal dengan istilah pembiayaan (financing) yang berbasis pada keuntungan
riil yang dikehendaki( margin)
ataupun bagi hasil (profit sharing).
Dalam perbankan syariah bank menyediakan pembiayaan
dalam bentuk penyediaan barang nyata (asset),
baik yang didasrkan pada konsep jual beli, sewa-menyewa ataupun bagi hasil.
Dengan demikian transaksi-transaksi yang terjadi diperbankan syariah adalah
transaksi yang bebas dari riba atu bunga karena selalu terdapat transaksi
pengganti atau penyeimbang( underlyng
transaction) yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi suatu
penmbahan harta kekayaan secara adil.
Untuk menyesuaikan dengan aturan-aturan dan
norma-norma islam, lima segi regilius yang berkedudukan kuat dalam literatur
islam harus diterapkan dalam perilaku investasi atau pembiayaan Isalam. Lima
segi tersebut adalah: a) Tidak ada transaksi keuangan berbasis bunga (riba). b)
Pengenalan pajak religius atau pemberian sedekah, zakat. c) pelarangan produksi
barang dan jasa yang bertentangan dengan sistem nilai islam (haram). d)
penyediaan Takaful (asuransi islam).
E) Penghindaran aktivitas ekonomi yang melibatkan masyir (judi) dan gharar
(ketidakpastian).[1]
Secara garis besar produk penyaluran dana kepada
masyarakat adalah berupa pembiayaan didasarkan pada akad jual beli yang
menghasilakan produk murabahah, salam, dan
istishna; berdasarkan pada akad
sewa-menyewa yang mengahsilkan produk berupa ijarah dan ijarah muntahiyah bittamlik( ijarah wa iqtina)
berdasarkan akad bagi hasil yang menghasilkan produk mudarabah, musyarakah, muzzaroah, dan muzakah; dan berdasarkan pada akad pinjaman yang bersifat sosial (tabarru) berupa qardh dan qardh al hasan.
Terhadap akad-akad tersebut dan
aplikasinya dalam produk perbankan syariah akan dibahas secara detail kedalam
empat klasifikasi yaitu akad yang berdasarkan prinsi jual beli, akad
berdasarkan prinsip sewa menyewa.
B. Pengertian pembiayaan
Pembiayaan merupakan aktivitas bank
syariah dalam menyalurkan dana kepada pihak lain selain bank berdasarkan
prinsip syariah. Penyaluran dan dalam bentuk pembiayaan didasarkan pada
kepercayaan yang diberikan oleh pemilik dana kepada pengguna dana. Pemilik dana
percaya kepda penerima dana, bahwa dana dalam bentuk pembiayaan yang diberikan
pasti akan terbayar.
Pembiayaan yang diberikan oleh bank
syariah berbeda dengan kredit yang diberikan oleh bank konvensional. Dalam
perbankan syariah, return atas
pembiyaan tidak dalam bentukk bunga akan tetapi dalam bentuk lain sesuai dengan
akad akad yang disediakan di bank syariah. Didalam bank syariah istilah kredit
tidak dikenal, karena bank syaariah memiliki skema yang berbeda dengan bank
konvensional dalam menyalurkan dananya kepada nasabah dalam bentuk pembiayaan.
Menurut undang-undang Perbankan No. 10
Tahun 1998, Pembiayaan meruakan adalah
penyedia uang atau tagihan yang dapat
dimpersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesapakatan antara bank
dan pihak lain yang dibiayai untuk mengembalikkan uang atau tagihan tersebut
setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan tau bagi hasil’[2]
Didalam perbankan syariah, pembiayaan yang diberikan kepda pihak pengguna dana
berdasarkan prinsip syariah.
dalam pasal 1 angka 25 undang-undan No. 21 tahun
2008 tentang perbankan syariah:
pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang
dipersamakan dengan itu berupa:
a. Transaksi
bagi hasil dalam bentuk mudarabah dan musyarakah
b. Transaksi
sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiyah
bittamlik.
c. Transaksi
jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istisna
d. transaksi
pinjam memimjam dalam bentuk piutang qardh, dan
e. transaksi
sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transakasi multijasa berdasarkan
persetujuan atau kesaepakatan antar bank syariah dan UUS dan pihak lain yang
mewajibkan pihak yang dibiayai.
Merujuk pada pasal di ata, maka pembiayaan bank
syariah dari aspek lur keuangan dpat diklasifikasikan dalam bentuk aktiva, earning assets dan non earrning asset.’[3]
1. Tujuan
Pembiayaan
Tujuan
pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah adalah untuk meningkatkan kesempatan
kerja dan kesejahteraan ekonomi sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pembiayaan
tersebut harus dapat dinikmati oleh sebanyak-banyaknya pengusaha yang bergerak
dibidang industri, pertanian, dan perdagangan untuk menunjang kesempatan kerja
dan menunjang produksi dan distribusi barang-barang dan jasa-jasa dalam rangka
memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.20
2. Fungsi
pembiayaan
Keberadaan
bank syari’ah yang menjalankan pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah bukan
hanya untuk mencari keuntungan dan meramaikan bisnis perbankan di Indonesia,
tetapi juga untuk menciptakan lingkungan bisnis yang aman, diantaranya:
1) Memberikan
pembiayaan dengan prinsip syari’ah yang menerapkan sistem bagi hasil yang tidak
memberatkan debitur.
2) Membantu kaum dhuafa yang tidak tersentuh oleh
bank konvensional karena tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh
bank konvensional.
3) Membantu
masyarakat ekonomi lemah yang selalu dipermainkan oleh rentenir dengan membantu
melalui pendanaan untuk usaha yang dilakukan.[4]
C.
Pembiayaan
akad Jual beli Piutang
1. Pengertian
murabahah
Murabahah merupakan salah satu cara ditempuh bank
dalam rangka menyalurkan dana kepada masyarakat. Produk dari bank yang
didasarkan pada akad jual beli ini terdiri dari murabahah, salam dan istisna.
Murabahah
di artikan sebagai satuan perjanjian antara bank dengan nasabah dalam bentuk
pembiayaan pembelian atas sesuatu barang yang dibutuhkan oleh nasabah.’[5]
Obyeknya bisa berupa barang modal seperti mesin-mesin industri, maupun barang
untuk kebutuhan sehari-hari seperti sepeda motor.
Salam
adalah
jual beli barang degan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan
pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh. Kemudiaan istishna ddefinisikan sebagai kegiatan jual beli barang dalam
bentuk pemesanan pembutan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang
disepakati dengan pembayaran sessuai dengan kesepakatan. Bahwa antara salam dan istishna hampir sama, yaitu jual beli dengan cara memesan terlebih
dahulu. Perbedaan antara salam dan istishna terletak pada cara pembayaran harga
beli dan objek yang diperjual belikan.
2. Landasan
Hukum penerapan Akad Jual beli dalam praktik perbankan syariah
a. Landasan
Syariah akad jual beli
Jual beli sebagai sebuah perbuatan hukum yamg
mempunyai konsenkoensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang dari pihak
penjual kepada pihak pembeli, mempunyai landasan hukum yang yang dapat kita
jumpai dalam al-quran, Hadist dan Ijma yaitu sebagai berikut:
1)
Al-qur’an
Dasar hukum jual beli kita jumpai dalam
Surat An-nisa ayat 29 yang artinya:
“Hai
orang-orang beriman, jamganlah kamu saling memakan harta dengan jalan yang
batil, kecuali dengan jalan perniagaan (jual beli) yang berlaku dengan suka
sama suka diantarakamu”
Kemudian landasan hukum bay’ al-murabahah menginduk pada asal hukum jual beli yaitu halal
QS. Al-baqarah ayat 275 bahwa” Allah
menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
2)
Hadist
Kegiatan jual beli merupakan kegiatan
yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sejak masa kecil beliau telah
ikut pamannya untuk melakukan perniagaaan.
3)
Ijmak
Para ulama telah bersepakat mengenai
kehalalan jual beli sebagai transaksi riil yang sangat di anjurkan dan
merupakan sunah Rasulullah.
Sebagai sebuah produk perbankan yang didasarkan pada
perjanjian jual beli, maka demi keabsahannya harus memenuhi hukum dan syarat
sebagai berikut:[6]
a) Ada
pihak yang berakad yaitu penjual dan pembeli.
Para pihak yang berakad harus memenuhi persyaratan
bahwa mereka cakap secara hukum dan masing-masing melakukannya dengan sukarela,
tidaak boleh ada unsur paksaan keahlian ataupun penipuan.
b)
Adanya objek akad yang terdiri dari
barang yang diperjual belikan dan harga
Terhadap obyek yang diperjualbelikan tidak termasuk
barang yang diharamkan/dilarang, bermanfaat, peyerahannya dari penjual
kepembeli dapat dlakukan, merupakan hak milik penuh pihak yang berakad, sesuai
dengan spesifikasinya antara yang diserahkan penjual dan yang diterima pembeli.
a. Praktik
Pembiayaan dengan prinsip jual beli diaplikasikan
dalam skim murabahah (deferred payment sale), yaitu pembelian
barang oleh bank untuk masabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi (inventory) dengan pembayaran di
ditangguhkan dalam jangka dibawah satu tahun (short run financing).[7]
Skema Pembiayaan Murabahah
Gambar
diatas dijelaskan:
1) Nasabah
mengajukan pembiayaan dalam bentuk barang.
Dalam tahap ini antara
bank dan nasabah melakukan negosiasi
a) Teknis
dan spesifikasi barang atau objek yang dibutuhkan oleh nasabah
b) Nominal
harga barang yang dibutuhkan serta estimasi kemampuan Nasabah untuk membayar
secara tangguh
c) Jangka
waktu pembiyaan.
Penentuan jangka waktu
didasarkan pada kemampuan nasabah dalam mengangsur cicilan dari harga barang
yang akan dibeli. Serta, jangka waktu perjanjian akan berpengaruh pada mark-up
price atau profit magin yang akan do ambil oleh bank.
2) Bank
membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah kepada suppplier sesuai yang telah
disepakati pada negosiasi
Supplier bersama-sama
dengan pihak bank mengirim barang kepada nasabah.
Setelah barang terkirim
kepada nasabah, dan terdapat syarat nasabah untuk melengkapi segala persyaratan
yang terutang dalam perjanjian formal, maka dalam aspek ini disebut telah
terjadi asas formalisme.
3) Nasabah
membayar keuntungan (ribhun) dan ciciln harga pokok yang dibeli. Waktu
pembayaran sesuai dengan kesepakatan tetapi biasanya setiap bulan.
4) Akhir
akad sesuai dengan kesepakatan pada negosiasi. Barang sudah menjadi milik
nasabah sebagaimana pada jual beli.[8]
Misalkan seorang nasabah ingin
memiliki sebuah motor. Ia dapat datang ke bank syari’ah dan memohon agar bank
membelikannya. Setelah diteliti dan dinyatakan dapat diberikan, bank membelikan
motor tersebut dan diberikan kepada nasabah. Jika harga motor tersebut 4 juta rupiah
dan bank ingin mendapat keuntungan Rp800.000,00 selama dua tahun, harga yang
ditetapkan kepada nasabah seharga Rp4.800.000,00. Nasabah dapat mencicil
pembayaran tersebut Rp200.000,00 per bulan.[9]
b. Landasan
Hukum positif pembiayaan dengan Prinsip Akad jual beli
1)
Landasan Hukum positif pembiayaan murabahah
Pembiayaan Murabahah mendapatkan pengaturan dalam
pasal 1 angka 13 undang-undang no 10 tahun 1998 tentang perubahan atas
Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Disamping itu pembiayaan Murabahah juga telah diatur dalam fatwa
DSN No. 04//DSN-MUI/IV/2000 yang intinya menyatakan bahwa dalam rangka membantu
masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai
kegiatan, Bank syariah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang
memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya
kepada pembayarannya dengan harga yang lebih sebagai laba.
2)
Implementasi Akad jual beli dalam produk
pembiayaan perbankan syariah
Seperti yang telah kita ketahui
bersama bahwa pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah sangat berbeda dengan
kredit yang diberikan oleh bank konvensional, misalnya adanya penerapan prinsip
jual beli dalam produk perbankan syariah. Bank konvensional mengenal produk
seperti ini, yang ada bahwa bank memberikan pinjaman dalam bentuk uang segar
(fresh money) yang siap digunakan oleh nasabah dengan kontraprestasi berupa
bunga yang harus diberikan kepada bank.
Nasabah pada perbankan syariah
langsung mendapatkan barang yang dibutuhkan, dengan ketentuan bahwa nasabah
wajib membayar kepada bank sebesar harga pokok (historical cost) ditambah mark
up/margin keuntungan yang dikehendaki oleh pihak bank.
D.
Pembiayaan
Akad Sewa-menyewa
1. Pengertian
Ijarah
Pembiyaan dalam bentuk
ijarah yaitu pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah
sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership,milikiyyah) atas barang tersebut.[10]
Salah satu produk
penyaluran dana dari bank syarih kepada nasabah adalah pembiaayaan berdasarkan
perjanjian/akad sewa-menyewa(ijarah).
Ijarah adalah transaksi sewa-menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah
atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa.
Ijarah juga dapat diinterpretasikan
sebagai suatu akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran
upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/miikiyyah)
atas barang itu sendiri.
Inti dari suatu
perjanjian sewa-menyewa adalah perjanjian yang perjanjian yang berkaitan dengan
pemberian manfaat kepada pihak penyewa dengan kontraprestasi berupa biaya sewa.
Bank syariah selaku institusi sewa-menyewa, baik sewa murni atau sewa ang
memberikan opsi kepada nasabah selaku penyewa untuk memiliki obyek sewa diakhir
perjanjian sewa atau yang lebih dikenal dengan ijarah muntahiya bi tamlik (ijarah wa iqtina). Ijarah wa iqtina bisa
memakai mekanisme janji hibah maupun mekanisme janji manual, dimana janji
tersebut akan berlaku di akhir masa sewa.
2. Landasan
Hukum Akad sewa-menyewa (Ijarah)
dalam praktik perbankan Syariah
Landasan hukum tentang
perjanjian sewa-menyewa ini dapat kita jumpai dalam Al-Quran, Hadist, Ijmak,
serta ketentuan hukum positif. Penjelasan mengenai dasar hukum tersebut, yakni
sebagai berikut: [11]
a. Landasan
Syariah
1) Al-Quran
Dasar hukum perjanjian
sewa-menyewa dapat kita jumpai dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 233 yang
artinya sebagai berikut:
“ Dan
jika kamu ingi anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagimu
apabila kamu memberikan pembayaran menuerut yang patut. Bertaqwalah kepada
Allah dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”
2) Hadist
Sedangkan landasan
sunahnya dapat dilihat pada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan
Musim dari IbnuAbbas bahwa Nabi Muhammad SAW mengemukakan:
“ Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang
bekam itu”
3) Ijmak
Mengenai ijarah ini
juga sudah mendapatkan ijmak ulama berupa kebolehan seorang muslim untuk
membuat dan melaksanakan akad ijarah atau perjanjian sewa-menyewa. Hal ini
sejalan juga dengan prinsip muamalah, bahwa semua bentuk muamalah adalah boleh,
kecuali ada dalil yang melarangnya.
Landasan produk ijarah
dalam hukum positif dapat kita jumpai dalam undang-undang Nomor 10 Tahun 1998
tentang prubahan atas Undang-undang Nomor & tahun 1992 tentang perbankan.
b. Praktik
Secara praktik
pembiyaan ijarah dalam bank syariah
dijelaskan dalam pasal 19 huruf 9 UU No. 21 Tahun 2008:
Menyalurkan pembiayaan
penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad
ijarah dan atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau akad lain
yang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah
Dari beberapa landasan
hukum di atas dalam ijarah terdapat orang memberi sewa(ajir) dalam bentuk
barang atau jasa, penyewa (musta’jir)
dan upah sewa (ujrah). Kemudian
sebagaimana pada pasal 19 huruf 9 di atas, barang yang disewakan (ma’jur) dapat berupa barang bergerak
atau barang tidak bergerak.
Skema Pembiayaan Ijarah
|
1)
Nasabah mengajukan pembiyaan dalam dalam
bentuk barang dalam tahap ini antara bank dan nasabah melakukan negosiasi
dalam: [12]
a) Teknis
dan spesifikasi barang atau obyek yang akan disewa oleh nasabah.
b) Nominal
harga barang yang dibutuhkan serta estimasi kemampuan nasabah untuk membayar
sewa.
c) Jangka
waktu pembiayaan , pada tahap ini biasanya sudah terjadi kesapakatan awal
antara bank dan Nasabah. Oleh karena itu disebut dengan terjadinya asas
konsensualisme. Jika kesepakatan sudah terjadi, maka akan diaplikasikan, jika
tidak maka belum akan diaplikasikan.
2)
Bank membeli barang yang dibutuhkan oleh
nasabah kepada supplier sesuai yang telah di sepakati pada negosiasi.
Supplier
bersama-sama dengan pihak bank mengirim barang kepada nasabah.
Setelah
barang terkirim kepada nasabah, dan terdapat syarat nasabah untuk melengkapi
segala persyaratan yang tertung dalam perjanjian formal, maka dalam aspek ini
disebut terjadi asas formalisme.
3)
Nasabah membayar ujrah atau uang sewa.
Waktu pembayaran sesuai dengan kesepakatan, tetapi biasanya setiap bulan.
4)
Akhir akad sesuai dengan kesepakatan
pada negosiasi. Dikarenakan akad hanya ijarah (sewa barang), makabarang yang
telah disewa (ma’jur) oleh nasabah harus dikembalikan kepada pihak bank.
Sebagai contoh, seorang
nasabah yang sedang melakukan proyek pembangunan jalan raya, memerlukan
alat-alat berat sebagai penunjang operasinya. Karena keberadaan alat tersebut
hanya dibutuhkan pada saat dia sedang melaksanakan proyek, dia memutuskan untuk
tidak membeli peralatan itu, melainkan menyewanya. Akan tetapi, jika ternyata
alat-alat tersebut akan terus dibutuhkan dan dia kemudian memutuskan untuk
membelinya, dia bisa melakukannya dengan ijarah muntahia bit-tamlik, yaitu
menyewa peralatan tersebut dan pada akhir masa sewa, dia membelinya.’[13]
Pertama:
Rukun dan syarat Akad Ijarah
1. Penyataan
ijab dan kabul
2. Para
pihak yang berakad terdiri atas pemberi sewa ( lessor, pemilik aset, LKS/Lembaga Keuangan Syariah), dan penyewa (lesse,
pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan asset, nasabah).
3. Obyek
kontrak berupa pembayaran (sewa) dan
manfaat dari penggunaan asset.
4. Manfaat
dari penggunaan asset dalam Ijarah
adalah obyek kontrak yang harus dijamin, karena merupakan rukun yang harus
ditempuh sebagai ganti dan sewa dan bukan assset itu sendiri.
Kedua: Ketentua obyek sewa-menyewa
(Ijarah)
1.
Obyek Ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2.
Manfaat barang haruns bisa dinilai dan
dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3.
Pemenuhan manfaat harus yang bersifat
dibolehkan.
4.
Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata
dan sesuai dengan syariah.
5.
Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan
dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat.
6.
Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa
(manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
Ketiga: Kewajiban LKS dan Nasabah
dalam Pembiyaan Ijarah
1.
Kewajiban LKS (Bank) sebagai Pemberi
sewa:
a. Menyediakan
asset yang disewakan
b. Menanggung
biaya pemeliharaan asset
c. Menjamin
bila terdapat cacat pada asset yang disewakan.
2.
Kewajiban nasabah sebagai penyewa:
a. Membayar
sewa dan bertanggung jawab untuk menjaga keuthan aset yang disewa serta
menggunakannya sesuai dengan kontrak.
b. Menanggung
biaya pemeliharaan asset yang sifatnya ringan (tidak materiil).
3.
Implementasi Akad Sewa-menyewa dalam
Produk Pembiayaan Perbankan Syariah
Ijarah
seabagai suatu akad sewa-menyewa dapat diimplementasikan oleh bank syariah
sebagai salah satu produk penyaluran dana kepada masyarakat. Walaupun demikian
Praktik dilapangan belum banyak dilakukan oleh bank-bank syariah yang ada.
Produk penyaluran dana dari bank syariah sebagian besar berupa produk
pembiayaan yang didasarkan pada akad murabahah.
E.
Penutup
Pembiyaan
(financing) merupakan istilah yang
dipergunakan dalam bank syariah
sebagimana dalam bank konvensional disebut dengan kredit (lending). Pembiayaan yang diberikan oleh
bank syariah berbeda dengan kredit yang diberikan oleh bank konvensional. Dalam
perbankan syariah, return atas
pembiyaan tidak dalam bentukk bunga akan tetapi dalam bentuk lain sesuai dengan
akad akad yang disediakan di bank syariah. Didalam bank syariah istilah kredit
tidak dikenal, karena bank syaariah memiliki skema yang berbeda dengan bank
konvensional dalam menyalurkan dananya kepada nasabah dalam bentuk pembiayaan.
DAFTAR
PUSTAKA
Algoud Lativa M. dan K. Lewis Mervyn, Perbankan
Syariah: Prinsip, Praktik, dan Prospek ( Jakarta; Serambi: 2004)
Anshari Abdul Ghafur, Perbankan Syariah di Indonesia (cet 1;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007)
Antonio Dalam Muhammad Syafi’i,
Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
Ascarya , Akad & dan produk Bank Syariah, Ed 1 (cet 4; jakrta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012)
BPRS PNM Al-Ma’soem, Kebijakan Manajemen Pembiayaan Bank Syariah,
(Bandung: BPRS PNM Al-Ma’soem, 2004)
Dahlan
Ahmad, Bank Syariah Teoritik,
Praktik, Kritik (cet 1; Yogyakarta: Teras, 2012) hal. 192
Ismail, Perbankan Syariah, ( cet 2 ; Kencana : Jakarta, 2013)
K. Lubis Suhrarwardi, Hukum Ekonomi Islam ( Sinar Grafika;
Jakarta: 2000)
K. Muda Ahmad Antoni, Kamus lengkap ekonomi ( Jakarta:
Gitmedia Press, 2003)
Perwataatwaja Karnaen dan Muhammad
Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank
Islam ( Yogyakarta; Dana Bhakti Wakaf UII, 1992)
Wiryono Wahyu, Akad Pembiayaan murabahah, di
saampaikan pada Pelatihan Nasinal
Pembuatan Kontrak dalam Praktik Perbankan Syariah tanggal 20 Mei 2006 (
BASYARNAS; Yogyakarta: 2006)
[1] Lativa M. Algoud dan Mervyn K.
Lewis, Perbankan Syariah: Prinsip, Praktik, dan Prospek (
Jakarta; Serambi: 2004) hal. 48
[2] Ismail, Perbankan Syariah, ( cet 2 ; Kencana : Jakarta, 2013) hal. 106
[3] Ahmad Antoni K. Muda, Kamus lengkap ekonomi ( Jakarta:
Gitmedia Press, 2003) hal. 123
[4] BPRS PNM Al-Ma’soem, Kebijakan Manajemen Pembiayaan Bank Syariah,
(Bandung: BPRS PNM Al-Ma’soem, 2004), hlm. 5.
[5] Suhrarwardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam ( Sinar Grafika;
Jakarta: 2000) hal. 62
[6] Wahyu Wiryono, Akad Pembiayaan murabahah, di
saampaikan pada Pelatihan Nasinal
Pembuatan Kontrak dalam Praktik Perbankan Syariah tanggal 20 Mei 2006 (
BASYARNAS; Yogyakarta: 2006) hal 107
[7] Karnaen Perwataatwaja dan
Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan
Bagaimana Bank Islam ( Yogyakarta; Dana Bhakti Wakaf UII, 1992) hal. 25
[8] Ahmad Dahlan, Bank Syariah Teoritik, Praktik, Kritik
(cet 1; Yogyakarta: Teras, 2012) hal. 192
[9] Dalam Muhammad Syafi’i Antonio,
Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001), hlm. 171.
[10] Ibid, hal. 181
[11] Abdul Ghafur Anshari, Perbankan Syariah di Indonesia (cet 1;
Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007) hal 121
[12] Ibid,hal 182
[13] Ascarya , Akad & dan produk Bank Syariah, Ed 1 (cet 4; jakrta: PT
RajaGrafindo Persada, 2012) hal 127
Tidak ada komentar:
Posting Komentar