Rabu, 25 Januari 2017

PRODUK PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH BERDASARKAN AKAD MURABAHAH DAN IJARAH

PRODUK PEMBIAYAAN PERBANKAN SYARIAH BERDASARKAN AKAD MURABAHAH DAN IJARAH



    Oleh
HERNI
NIM: 01.133.089
PRODI : EKIS 4





SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI
(STAIN) WATAMPONE
2017

A.  Pendahuluan
Bank sebagai lembaga intermediasi keuangan (financial intermediary institution) selain melakukan kegiatan penghimpunan daa dari masyarakat, ia juga akan menyalurkan dana tersebut ke masyarakat dalam bentuk kredit atau pembiayaan. Istilah kredit banyak dipakai dalam perbankan konvensional yang berbasis pada bunga (Intererst based), sedangkan dalam perbankan syariah lebih dikenal dengan istilah pembiayaan (financing) yang berbasis pada keuntungan riil yang dikehendaki( margin) ataupun bagi hasil (profit sharing).
Dalam perbankan syariah bank menyediakan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang nyata (asset), baik yang didasrkan pada konsep jual beli, sewa-menyewa ataupun bagi hasil. Dengan demikian transaksi-transaksi yang terjadi diperbankan syariah adalah transaksi yang bebas dari riba atu bunga karena selalu terdapat transaksi pengganti atau penyeimbang( underlyng transaction) yaitu transaksi bisnis atau komersial yang melegitimasi suatu penmbahan harta kekayaan secara adil.
Untuk menyesuaikan dengan aturan-aturan dan norma-norma islam, lima segi regilius yang berkedudukan kuat dalam literatur islam harus diterapkan dalam perilaku investasi atau pembiayaan Isalam. Lima segi tersebut adalah: a) Tidak ada transaksi keuangan berbasis bunga (riba). b) Pengenalan pajak religius atau pemberian sedekah, zakat. c) pelarangan produksi barang dan jasa yang bertentangan dengan sistem nilai islam (haram). d) penyediaan Takaful (asuransi islam). E) Penghindaran aktivitas ekonomi yang melibatkan masyir (judi) dan gharar (ketidakpastian).[1]
Secara garis besar produk penyaluran dana kepada masyarakat adalah berupa pembiayaan didasarkan pada akad jual beli yang menghasilakan produk murabahah, salam, dan istishna; berdasarkan pada akad sewa-menyewa yang mengahsilkan produk berupa ijarah  dan ijarah muntahiyah bittamlik( ijarah wa iqtina) berdasarkan akad bagi hasil yang menghasilkan produk mudarabah, musyarakah, muzzaroah, dan muzakah; dan berdasarkan pada akad pinjaman yang bersifat sosial (tabarru) berupa qardh dan qardh al hasan.
Terhadap akad-akad tersebut dan aplikasinya dalam produk perbankan syariah akan dibahas secara detail kedalam empat klasifikasi yaitu akad yang berdasarkan prinsi jual beli, akad berdasarkan prinsip sewa menyewa.
B.  Pengertian pembiayaan
Pembiayaan merupakan aktivitas bank syariah dalam menyalurkan dana kepada pihak lain selain bank berdasarkan prinsip syariah. Penyaluran dan dalam bentuk pembiayaan didasarkan pada kepercayaan yang diberikan oleh pemilik dana kepada pengguna dana. Pemilik dana percaya kepda penerima dana, bahwa dana dalam bentuk pembiayaan yang diberikan pasti akan terbayar.
Pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah berbeda dengan kredit yang diberikan oleh bank konvensional. Dalam perbankan syariah, return atas pembiyaan tidak dalam bentukk bunga akan tetapi dalam bentuk lain sesuai dengan akad akad yang disediakan di bank syariah. Didalam bank syariah istilah kredit tidak dikenal, karena bank syaariah memiliki skema yang berbeda dengan bank konvensional dalam menyalurkan dananya kepada nasabah dalam bentuk pembiayaan.
Menurut undang-undang Perbankan No. 10 Tahun 1998, Pembiayaan meruakan adalah penyedia uang  atau tagihan yang dapat dimpersamakan dengan itu, berdasarkan persetujuan atau kesapakatan antara bank dan pihak lain yang dibiayai untuk mengembalikkan uang atau tagihan tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan tau bagi hasil’[2] Didalam perbankan syariah, pembiayaan yang diberikan kepda pihak pengguna dana berdasarkan prinsip syariah.
dalam pasal 1 angka 25 undang-undan No. 21 tahun 2008 tentang perbankan syariah:
pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa:
a.       Transaksi bagi hasil dalam bentuk mudarabah dan musyarakah
b.      Transaksi sewa menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiyah bittamlik.
c.       Transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam dan istisna
d.      transaksi pinjam memimjam dalam bentuk piutang qardh, dan
e.       transaksi sewa menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transakasi multijasa berdasarkan persetujuan atau kesaepakatan antar bank syariah dan UUS dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai.
Merujuk pada pasal di ata, maka pembiayaan bank syariah dari aspek lur keuangan dpat diklasifikasikan dalam bentuk aktiva, earning assets dan non earrning asset.’[3]
1.    Tujuan Pembiayaan
Tujuan pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah adalah untuk meningkatkan kesempatan kerja dan kesejahteraan ekonomi sesuai dengan nilai-nilai Islam. Pembiayaan tersebut harus dapat dinikmati oleh sebanyak-banyaknya pengusaha yang bergerak dibidang industri, pertanian, dan perdagangan untuk menunjang kesempatan kerja dan menunjang produksi dan distribusi barang-barang dan jasa-jasa dalam rangka memenuhi kebutuhan dalam negeri maupun ekspor.20
2.    Fungsi pembiayaan
 Keberadaan bank syari’ah yang menjalankan pembiayaan berdasarkan prinsip syari’ah bukan hanya untuk mencari keuntungan dan meramaikan bisnis perbankan di Indonesia, tetapi juga untuk menciptakan lingkungan bisnis yang aman, diantaranya:
1)      Memberikan pembiayaan dengan prinsip syari’ah yang menerapkan sistem bagi hasil yang tidak memberatkan debitur.
2)       Membantu kaum dhuafa yang tidak tersentuh oleh bank konvensional karena tidak mampu memenuhi persyaratan yang ditetapkan oleh bank konvensional.
3)      Membantu masyarakat ekonomi lemah yang selalu dipermainkan oleh rentenir dengan membantu melalui pendanaan untuk usaha yang dilakukan.[4]
C.      Pembiayaan akad Jual beli  Piutang
1.    Pengertian murabahah
Murabahah merupakan salah satu cara ditempuh bank dalam rangka menyalurkan dana kepada masyarakat. Produk dari bank yang didasarkan pada akad jual beli ini terdiri dari murabahah, salam dan istisna.
Murabahah di artikan sebagai satuan perjanjian antara bank dengan nasabah dalam bentuk pembiayaan pembelian atas sesuatu barang yang dibutuhkan oleh nasabah.’[5] Obyeknya bisa berupa barang modal seperti mesin-mesin industri, maupun barang untuk kebutuhan sehari-hari seperti sepeda motor.
Salam adalah jual beli barang degan cara pemesanan dengan syarat-syarat tertentu dan pembayaran tunai terlebih dahulu secara penuh. Kemudiaan istishna ddefinisikan sebagai kegiatan jual beli barang dalam bentuk pemesanan pembutan barang dengan kriteria dan persyaratan tertentu yang disepakati dengan pembayaran sessuai dengan kesepakatan. Bahwa antara salam dan istishna hampir sama, yaitu jual beli dengan cara memesan terlebih dahulu. Perbedaan antara salam dan istishna terletak pada cara pembayaran harga beli dan objek yang diperjual belikan.
2.    Landasan Hukum penerapan Akad Jual beli dalam praktik perbankan syariah
a.       Landasan Syariah akad jual beli
Jual beli sebagai sebuah perbuatan hukum yamg mempunyai konsenkoensi terjadinya peralihan hak atas sesuatu barang dari pihak penjual kepada pihak pembeli, mempunyai landasan hukum yang yang dapat kita jumpai dalam al-quran, Hadist dan Ijma yaitu sebagai berikut:
1)        Al-qur’an
Dasar hukum jual beli kita jumpai dalam Surat An-nisa ayat 29 yang artinya:
Hai orang-orang beriman, jamganlah kamu saling memakan harta dengan jalan yang batil, kecuali dengan jalan perniagaan (jual beli) yang berlaku dengan suka sama suka diantarakamu”
Kemudian landasan hukum bay’ al-murabahah menginduk pada asal hukum jual beli yaitu halal QS. Al-baqarah ayat 275 bahwa” Allah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba”.
2)        Hadist
Kegiatan jual beli merupakan kegiatan yang sangat dianjurkan oleh Nabi Muhammad SAW. Sejak masa kecil beliau telah ikut pamannya untuk melakukan perniagaaan.
3)        Ijmak
Para ulama telah bersepakat mengenai kehalalan jual beli sebagai transaksi riil yang sangat di anjurkan dan merupakan sunah Rasulullah.
Sebagai sebuah produk perbankan yang didasarkan pada perjanjian jual beli, maka demi keabsahannya harus memenuhi hukum dan syarat sebagai berikut:[6]
a)    Ada pihak yang berakad yaitu penjual dan pembeli.
Para pihak yang berakad harus memenuhi persyaratan bahwa mereka cakap secara hukum dan masing-masing melakukannya dengan sukarela, tidaak boleh ada unsur paksaan keahlian ataupun penipuan.
b)        Adanya objek akad yang terdiri dari barang yang diperjual belikan dan harga
Terhadap obyek yang diperjualbelikan tidak termasuk barang yang diharamkan/dilarang, bermanfaat, peyerahannya dari penjual kepembeli dapat dlakukan, merupakan hak milik penuh pihak yang berakad, sesuai dengan spesifikasinya antara yang diserahkan penjual dan yang diterima pembeli.
a.    Praktik
Pembiayaan dengan prinsip jual beli diaplikasikan dalam skim murabahah (deferred payment sale), yaitu pembelian barang oleh bank untuk masabah dalam rangka pemenuhan kebutuhan produksi (inventory) dengan pembayaran di ditangguhkan dalam jangka dibawah satu tahun (short run financing).[7]
Skema Pembiayaan Murabahah

 










Gambar diatas dijelaskan:
1)   Nasabah mengajukan pembiayaan dalam bentuk barang.
Dalam tahap ini antara bank dan nasabah melakukan negosiasi
a)      Teknis dan spesifikasi barang atau objek yang dibutuhkan oleh nasabah
b)      Nominal harga barang yang dibutuhkan serta estimasi kemampuan Nasabah untuk membayar secara tangguh
c)      Jangka waktu pembiyaan.
Penentuan jangka waktu didasarkan pada kemampuan nasabah dalam mengangsur cicilan dari harga barang yang akan dibeli. Serta, jangka waktu perjanjian akan berpengaruh pada mark-up price atau profit magin yang akan do ambil oleh bank.
2)   Bank membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah kepada suppplier sesuai yang telah disepakati pada negosiasi
Supplier bersama-sama dengan pihak bank mengirim barang kepada nasabah.
Setelah barang terkirim kepada nasabah, dan terdapat syarat nasabah untuk melengkapi segala persyaratan yang terutang dalam perjanjian formal, maka dalam aspek ini disebut telah terjadi asas formalisme.
3)   Nasabah membayar keuntungan (ribhun) dan ciciln harga pokok yang dibeli. Waktu pembayaran sesuai dengan kesepakatan tetapi biasanya setiap bulan.
4)   Akhir akad sesuai dengan kesepakatan pada negosiasi. Barang sudah menjadi milik nasabah sebagaimana pada jual beli.[8]
Misalkan seorang nasabah ingin memiliki sebuah motor. Ia dapat datang ke bank syari’ah dan memohon agar bank membelikannya. Setelah diteliti dan dinyatakan dapat diberikan, bank membelikan motor tersebut dan diberikan kepada nasabah. Jika harga motor tersebut 4 juta rupiah dan bank ingin mendapat keuntungan Rp800.000,00 selama dua tahun, harga yang ditetapkan kepada nasabah seharga Rp4.800.000,00. Nasabah dapat mencicil pembayaran tersebut Rp200.000,00 per bulan.[9]
b.      Landasan Hukum positif pembiayaan dengan Prinsip Akad jual beli
1)      Landasan Hukum positif pembiayaan murabahah
Pembiayaan Murabahah mendapatkan pengaturan dalam pasal 1 angka 13 undang-undang no 10 tahun 1998 tentang perubahan atas Undang-undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang perbankan. Disamping itu pembiayaan Murabahah juga telah diatur dalam fatwa DSN No. 04//DSN-MUI/IV/2000 yang intinya menyatakan bahwa dalam rangka membantu masyarakat guna melangsungkan dan meningkatkan kesejahteraan dan berbagai kegiatan, Bank syariah perlu memiliki fasilitas murabahah bagi yang memerlukannya, yaitu menjual suatu barang dengan menegaskan harga belinya kepada pembayarannya dengan harga yang lebih sebagai laba. 
2)      Implementasi Akad jual beli dalam produk pembiayaan perbankan syariah
Seperti yang telah kita ketahui bersama bahwa pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah sangat berbeda dengan kredit yang diberikan oleh bank konvensional, misalnya adanya penerapan prinsip jual beli dalam produk perbankan syariah. Bank konvensional mengenal produk seperti ini, yang ada bahwa bank memberikan pinjaman dalam bentuk uang segar (fresh money) yang siap digunakan oleh nasabah dengan kontraprestasi berupa bunga yang harus diberikan kepada bank.
Nasabah pada perbankan syariah langsung mendapatkan barang yang dibutuhkan, dengan ketentuan bahwa nasabah wajib membayar kepada bank sebesar harga pokok (historical cost) ditambah mark up/margin keuntungan yang dikehendaki oleh pihak bank.
D.      Pembiayaan Akad Sewa-menyewa
1.      Pengertian Ijarah
Pembiyaan dalam bentuk ijarah yaitu pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership,milikiyyah) atas barang tersebut.[10]
Salah satu produk penyaluran dana dari bank syarih kepada nasabah adalah pembiaayaan berdasarkan perjanjian/akad sewa-menyewa(ijarah). Ijarah adalah transaksi sewa-menyewa atas suatu barang dan atau upah mengupah atas suatu jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa atau imbalan jasa. Ijarah juga dapat diinterpretasikan sebagai suatu akad pemindahan hak guna atas barang atau jasa melalui pembayaran upah sewa, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan (ownership/miikiyyah) atas barang itu sendiri.
Inti dari suatu perjanjian sewa-menyewa adalah perjanjian yang perjanjian yang berkaitan dengan pemberian manfaat kepada pihak penyewa dengan kontraprestasi berupa biaya sewa. Bank syariah selaku institusi sewa-menyewa, baik sewa murni atau sewa ang memberikan opsi kepada nasabah selaku penyewa untuk memiliki obyek sewa diakhir perjanjian sewa atau yang lebih dikenal dengan ijarah muntahiya bi tamlik (ijarah wa iqtina). Ijarah wa iqtina bisa memakai mekanisme janji hibah maupun mekanisme janji manual, dimana janji tersebut akan berlaku di akhir masa sewa.
2.    Landasan Hukum Akad sewa-menyewa (Ijarah) dalam praktik perbankan Syariah
Landasan hukum tentang perjanjian sewa-menyewa ini dapat kita jumpai dalam Al-Quran, Hadist, Ijmak, serta ketentuan hukum positif. Penjelasan mengenai dasar hukum tersebut, yakni sebagai berikut: [11]
a.       Landasan Syariah
1)      Al-Quran
Dasar hukum perjanjian sewa-menyewa dapat kita jumpai dalam Al-Quran surat Al-Baqarah ayat 233 yang artinya sebagai berikut:
Dan jika kamu ingi anakmu disusukan oleh orang lain maka tidak ada dosa bagimu apabila kamu memberikan pembayaran menuerut yang patut. Bertaqwalah kepada Allah dan ketahuilah bahwa Allah mengetahui apa yang kamu perbuat”
2)      Hadist
Sedangkan landasan sunahnya dapat dilihat pada sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Musim dari IbnuAbbas bahwa Nabi Muhammad SAW mengemukakan:
Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu”
3)      Ijmak
Mengenai ijarah ini juga sudah mendapatkan ijmak ulama berupa kebolehan seorang muslim untuk membuat dan melaksanakan akad ijarah atau perjanjian sewa-menyewa. Hal ini sejalan juga dengan prinsip muamalah, bahwa semua bentuk muamalah adalah boleh, kecuali ada dalil yang melarangnya.
Landasan produk ijarah dalam hukum positif dapat kita jumpai dalam undang-undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang prubahan atas Undang-undang Nomor & tahun 1992 tentang perbankan.
b.      Praktik
Secara praktik pembiyaan ijarah dalam bank syariah dijelaskan dalam pasal 19 huruf 9 UU No. 21 Tahun 2008:
Menyalurkan pembiayaan penyewaan barang bergerak atau tidak bergerak kepada Nasabah berdasarkan Akad ijarah dan atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik atau akad lain yang tidak bertentangan dengan prinsip Syariah
Dari beberapa landasan hukum di atas dalam ijarah terdapat orang memberi sewa(ajir) dalam bentuk barang atau jasa, penyewa (musta’jir) dan upah sewa (ujrah). Kemudian sebagaimana pada pasal 19 huruf 9 di atas, barang yang disewakan (ma’jur) dapat berupa barang bergerak atau barang tidak bergerak.
Skema Pembiayaan Ijarah
 



BANK muajjir/lessor
 
Text Box: (2.b)  Transaksi akad, asas formalisme                                        
                                                                                                                 
 





1)      Nasabah mengajukan pembiyaan dalam dalam bentuk barang dalam tahap ini antara bank dan nasabah melakukan negosiasi dalam: [12]
a)      Teknis dan spesifikasi barang atau obyek yang akan disewa oleh nasabah.
b)      Nominal harga barang yang dibutuhkan serta estimasi kemampuan nasabah untuk membayar sewa.
c)      Jangka waktu pembiayaan , pada tahap ini biasanya sudah terjadi kesapakatan awal antara bank dan Nasabah. Oleh karena itu disebut dengan terjadinya asas konsensualisme. Jika kesepakatan sudah terjadi, maka akan diaplikasikan, jika tidak maka belum akan diaplikasikan.
2)      Bank membeli barang yang dibutuhkan oleh nasabah kepada supplier sesuai yang telah di sepakati pada negosiasi.
Supplier bersama-sama dengan pihak bank mengirim barang kepada nasabah.
Setelah barang terkirim kepada nasabah, dan terdapat syarat nasabah untuk melengkapi segala persyaratan yang tertung dalam perjanjian formal, maka dalam aspek ini disebut terjadi asas formalisme.
3)      Nasabah membayar ujrah atau uang sewa. Waktu pembayaran sesuai dengan kesepakatan, tetapi biasanya setiap bulan.
4)      Akhir akad sesuai dengan kesepakatan pada negosiasi. Dikarenakan akad hanya ijarah (sewa barang), makabarang yang telah disewa (ma’jur) oleh nasabah harus dikembalikan kepada pihak bank.
Sebagai contoh, seorang nasabah yang sedang melakukan proyek pembangunan jalan raya, memerlukan alat-alat berat sebagai penunjang operasinya. Karena keberadaan alat tersebut hanya dibutuhkan pada saat dia sedang melaksanakan proyek, dia memutuskan untuk tidak membeli peralatan itu, melainkan menyewanya. Akan tetapi, jika ternyata alat-alat tersebut akan terus dibutuhkan dan dia kemudian memutuskan untuk membelinya, dia bisa melakukannya dengan ijarah muntahia bit-tamlik, yaitu menyewa peralatan tersebut dan pada akhir masa sewa, dia membelinya.’[13]
Pertama: Rukun dan syarat Akad Ijarah
1.    Penyataan ijab dan kabul
2.    Para pihak yang berakad terdiri atas pemberi sewa ( lessor, pemilik aset, LKS/Lembaga Keuangan Syariah), dan penyewa (lesse, pihak yang mengambil manfaat dari penggunaan asset, nasabah).
3.    Obyek kontrak berupa pembayaran (sewa) dan manfaat dari penggunaan asset.
4.    Manfaat dari penggunaan asset dalam Ijarah adalah obyek kontrak yang harus dijamin, karena merupakan rukun yang harus ditempuh sebagai ganti dan sewa dan bukan assset itu sendiri.
Kedua: Ketentua obyek sewa-menyewa (Ijarah)
1.      Obyek Ijarah adalah manfaat dari penggunaan barang dan/atau jasa.
2.      Manfaat barang haruns bisa dinilai dan dapat dilaksanakan dalam kontrak.
3.      Pemenuhan manfaat harus yang bersifat dibolehkan.
4.      Kesanggupan memenuhi manfaat harus nyata dan sesuai dengan syariah.
5.      Sewa adalah sesuatu yang dijanjikan dan dibayar nasabah kepada LKS sebagai pembayaran manfaat.
6.      Pembayaran sewa boleh berbentuk jasa (manfaat lain) dari jenis yang sama dengan obyek kontrak.
Ketiga: Kewajiban LKS dan Nasabah dalam Pembiyaan Ijarah
1.      Kewajiban LKS (Bank) sebagai Pemberi sewa:
a.       Menyediakan asset yang disewakan
b.      Menanggung biaya pemeliharaan asset
c.       Menjamin bila terdapat cacat pada asset yang disewakan.
2.      Kewajiban nasabah sebagai penyewa:
a.       Membayar sewa dan bertanggung jawab untuk menjaga keuthan aset yang disewa serta menggunakannya sesuai dengan kontrak.
b.      Menanggung biaya pemeliharaan asset yang sifatnya ringan (tidak materiil).
3.      Implementasi Akad Sewa-menyewa dalam Produk Pembiayaan Perbankan Syariah
Ijarah seabagai suatu akad sewa-menyewa dapat diimplementasikan oleh bank syariah sebagai salah satu produk penyaluran dana kepada masyarakat. Walaupun demikian Praktik dilapangan belum banyak dilakukan oleh bank-bank syariah yang ada. Produk penyaluran dana dari bank syariah sebagian besar berupa produk pembiayaan yang didasarkan pada akad murabahah.

E.     Penutup
Pembiyaan (financing) merupakan istilah yang dipergunakan dalam bank syariah  sebagimana dalam bank konvensional disebut dengan kredit (lending). Pembiayaan yang diberikan oleh bank syariah berbeda dengan kredit yang diberikan oleh bank konvensional. Dalam perbankan syariah, return atas pembiyaan tidak dalam bentukk bunga akan tetapi dalam bentuk lain sesuai dengan akad akad yang disediakan di bank syariah. Didalam bank syariah istilah kredit tidak dikenal, karena bank syaariah memiliki skema yang berbeda dengan bank konvensional dalam menyalurkan dananya kepada nasabah dalam bentuk pembiayaan.










DAFTAR PUSTAKA
Algoud Lativa M. dan K. Lewis Mervyn, Perbankan  Syariah: Prinsip, Praktik, dan Prospek ( Jakarta; Serambi: 2004)
Anshari Abdul Ghafur, Perbankan Syariah di Indonesia (cet 1; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007)
Antonio Dalam Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001)
Ascarya , Akad & dan produk Bank Syariah, Ed 1 (cet 4; jakrta: PT RajaGrafindo Persada, 2012)
BPRS PNM Al-Ma’soem, Kebijakan Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Bandung: BPRS PNM Al-Ma’soem, 2004)
Dahlan  Ahmad, Bank Syariah Teoritik, Praktik, Kritik (cet 1; Yogyakarta: Teras, 2012) hal. 192
Ismail, Perbankan Syariah, ( cet 2 ; Kencana : Jakarta, 2013)
K. Lubis Suhrarwardi, Hukum Ekonomi Islam ( Sinar Grafika; Jakarta: 2000)
K. Muda Ahmad Antoni, Kamus lengkap ekonomi ( Jakarta: Gitmedia Press, 2003)
Perwataatwaja Karnaen dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam ( Yogyakarta; Dana Bhakti Wakaf UII, 1992)
Wiryono Wahyu, Akad Pembiayaan murabahah, di saampaikan  pada Pelatihan Nasinal Pembuatan Kontrak dalam Praktik Perbankan Syariah tanggal 20 Mei 2006 ( BASYARNAS; Yogyakarta: 2006)



[1] Lativa M. Algoud dan Mervyn K. Lewis, Perbankan  Syariah: Prinsip, Praktik, dan Prospek ( Jakarta; Serambi: 2004) hal. 48
[2] Ismail, Perbankan Syariah, ( cet 2 ; Kencana : Jakarta, 2013) hal. 106
[3] Ahmad Antoni K. Muda, Kamus lengkap ekonomi ( Jakarta: Gitmedia Press, 2003) hal. 123
[4] BPRS PNM Al-Ma’soem, Kebijakan Manajemen Pembiayaan Bank Syariah, (Bandung: BPRS PNM Al-Ma’soem, 2004), hlm. 5.
[5] Suhrarwardi K. Lubis, Hukum Ekonomi Islam ( Sinar Grafika; Jakarta: 2000) hal. 62
[6] Wahyu Wiryono, Akad Pembiayaan murabahah, di saampaikan  pada Pelatihan Nasinal Pembuatan Kontrak dalam Praktik Perbankan Syariah tanggal 20 Mei 2006 ( BASYARNAS; Yogyakarta: 2006) hal 107
[7] Karnaen Perwataatwaja dan Muhammad Syafi’i Antonio, Apa dan Bagaimana Bank Islam ( Yogyakarta; Dana Bhakti Wakaf UII, 1992) hal. 25
[8] Ahmad Dahlan, Bank Syariah Teoritik, Praktik, Kritik (cet 1; Yogyakarta: Teras, 2012) hal. 192
[9] Dalam Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktik, (Jakarta: Gema Insani Press, 2001),  hlm. 171.
[10] Ibid, hal. 181
[11] Abdul Ghafur Anshari, Perbankan Syariah di Indonesia (cet 1; Yogyakarta: Gadjah Mada University Press, 2007) hal 121
[12] Ibid,hal 182
[13] Ascarya , Akad & dan produk Bank Syariah, Ed 1 (cet 4; jakrta: PT RajaGrafindo Persada, 2012) hal 127

Tidak ada komentar:

Posting Komentar