Rabu, 25 Januari 2017

MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM PERBANKAN

JURNAL

MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM PERBANKAN SYARIAH
Oleh : Ainul Hikmah
Jurusan Ekonomi Syariah Kelompok 4 Semester 7
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone

ABSTRAK
Dalam liberatur ekonomi islam dan perbankan islam yang dipublikasikan dalam rentang waktu antara 1960-an hingga 1970-an, dijelaskan bank-bank islam dikonsep sebagai “lembaga keuangan”, dimana keseluruhan pinjaman bisnis yang diberlakukan kepada pengusaha (partner) berdasarkan prinsip bagi hasil ( profit and loss sharing). Meskipun demikian, bank-bank islam sejauh ini tidak bisa dipungkiri lagi murni menggunakan prinsip bagi hasil (PLS), namun memperluas penggunaannya kepada metode pembiayaan lainnya, seperti leasing terhadap permodalan barang-barang atau meningkatkan jaringan perdagangan. Dalam memperluas penggunaan pembiayaan yang berbasis pada prinsip bagi hasil (PLS), Homoud, seorang teoritikus perbankan islam, menyatakan berdasarkan pengamatannya terhadap bank-bank islam.
Pendahuluan
Sistem bagi hasil (profit and loss sharing) yang diterapkan dalam perbankan syariah seperti yang terdapat dalam mudharabah dan musyarakah merupakan praktek perkongsian yang sudah lazim digunakan sebelum Islam datang. Sebagaimana Lewis dan Algaoud mengutip pendapat Crone, Kazarian dan Cizaka, bahwa di Timur Tengah pra-Islam, kemitraan-kemitraan bisnis yang berdasarkan atas konsep mudharabah dan musyarakah berjalan berdampingan dengan konsep pinjam sistem bunga sebagai cara untuk membiayai berbagai aktivitas ekonomi. Kemudian setelah Islam datang, semua transaksi keuangan yang berbasis riba (bunga) dilarang dan semua dana harus disalurkan atas dasar bagi hasil (profit and loss sharing).[1]
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa hikmah diharamkannya riba antara lain: pertama, riba dapat menimbulkan sikap permusuhan antar individu dan juga menghilangkan tolong-menolong sesame manusia; kedua, riba menumbuhkan mental boros dan malas yang mau mendapatkan harta tanpa kerja keras, menjadi benalu yang tumbuh di atas jerih payah orang lain; ketiga, riba adalah salah satu bentuk penjajahan; dan keempat, Islam mengajak manusia agar mendermakan kepada saudaranya yang membutuhkan
Sedangkan al-Razi sebagaimana dikutip Lewis dan Algaoud mengemukakan beberapa alasan pelarangan riba antara lain: pertama, riba tak lain adalah perampasan hak milik orang lain tanpa ada nilai imbangan; kedua, riba dilarang karena menghalangi orang dari keikutsertaan dalam profesi-profesi aktif; ketiga, perjanjian riba menimbulkan hubungan yang tegang antara sesama manusia; keempat, perjanjian riba adalah alat yang digunakan orang kaya untuk mendapatkan kelebihan dari modal dan ini bertentangan dengan keadilan dan persamaan; dan kelima, keharaman riba dinyatakan oleh nas Al-Qur’an dan manusia tidak harus mengetahui alasannya.
Dengan melarang riba, Islam berusaha membangun sebuah masyarakat berdasarkan kejujuran dan keadilan. Keadilan dalam konteks ini memiliki dua dimensi, yaitu pemodal berhak untuk mendapatkan imbalan, tetapi harus sepadan dengan resiko dan usaha yang dibutuhkan, dan imbalan yang didapat ditentukan oleh keuntungan dari proyek yang dimodalinya. Yang dilarang dalam Islam adalah keuntungan yang ditetapkan sebelumnya.
Di Indonesia bunga bank masih menjadi polemik tersendiri karena para ulama masih belum sepakat tentang boleh-tidaknya sehingga dalam praktek, baik perbankan syariah maupun perbankan konvensional berjalan bersama-sama. Perbedaan pendapat ini diklasifikasikan menjadi tiga pandangan, yaitu: pertama, bunga bank adalah termasuk dalam kategori riba sehingga hukumnya haram, sedikit atau banyak unsur; kedua, bunga bank bukan termasuk dalam kategori riba sehingga halal untuk dilakukan; ketiga, riba termasuk dalam klasifikasi mutasyabihat sehingga sebaiknya bunga bank tidak dilakukan.[2]
Perbedaan pokok antara perbankan syariah dengan perbankan konvensional adalah pada penggunaan bunga dalam pembiayaannya (equity financing). Kalau perbankan konvensional menggunakan sistem bunga, maka perbankan syariah tidak menggunakan bunga tetapi sistem bagi hasil.
Mudharabah dan musyarakah atau yang sering dikenal dengan istilah profit and loss sharing (PLS) adalah dua model perkongsian yang direkomendasikan dalam Islam karena bebas dari sistem riba. Maka, dalam makalah ini penulis berusaha mendiskripsikan mudharabah dan musyarakah serta implementasinya dalam perbankan Islam (syariah).
Pembahasan
A. Mudharabah dan Implementasinya dalam Perbankan Syariah
1. Definisi Mudharabah
Mudharabah berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata dharab yang bermakna memukul, bergerak, pergi, mewajibkan, mengambil bagian, berpartisipasi.[3] Dalam kaitannya dengan pengertian mudharabah maka yang lebih cocok adalah mengambil bagian dan berpartisipasi.
Adapun menurut istilah ada beberapa pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, namun di sini penulis hanya mengutip beberapa bendapat saja antara lain:
a)      Menurut Sayyid Sabiq “Mudharabah adalah  akad antara dua pihak dimana salah satu pihak mengeluarkan sejumlah uang (sebagai modal) kepada pihak lainnya untuk diperdagangkan, dan laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan”.
b)      Antonio mengutip pendapat al-Syarbasyi sebagai berikut: “Mudharabah adalah akad kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shabib al-mal) menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola, dan keuntungan usaha secara dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola”.
c)      Lewis dan Algaoud mendefinisikan mudharabah sebagai sebuah perjanjian di antara paling sedikit dua pihak dimana satu pihak, pemilik modal (shahib al-mal atau rab al-mal), mempercayakan sejumlah dana kepada pihak lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas atau usaha. Konsekuensinya para pemberi pinjaman memperoleh bagian tertentu dari keuntungan/kerugian proyek yang telah mereka biayai.[4]
d)     Adiwarman mengutip pendapat M. Anwar Ibrahim bahwa “Mudharabah adalah persetujuan kongsi antara harta dari salah satu pihak dengan kerja dari pihak lain, dimana satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni si pelaksana usaha, dengan tujuan untuk mendapatkan untung”.[5]
Dari ketiga definisi tersebut dapat disimpulkan bahwa mudharabah adalah akad antara dua belah pihak atau lebih, antara pemilik modal (shahib al-mal) dengan pengelola usaha (mudhararib) dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang dibagi berdasarkan kesepakatan yang tertuang di dalam kontrak,  dimana bila usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola usaha (profit and lost sharing).
2. Jenis-jenis Mudharabah
Secara umum mudharabah dibagi menjadi dua macam, yaitu: mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah. Berikut ini akan dikemukakan kedua macam pembagian mudharabah di atas.
a.       Mudharabah Muthlaqah
Yang dimaksud dengan mudharabah muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara pemodal (shahib al-mal) dan pengusaha (mudharib) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam mudharabah muthlaqah ini shahib al-mal memberikan kekuasaan yang sangat besar kepada mudharib  dalam mengelola modal dan usahanya.
b.      Mudharabah Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau biasa disebut juga dengan istilah restricted mudharabah/specified mudharabah  adalah kebalikan dari mudharabah muthlaqah, dimana pengelola usaha (mudharib) dibatasi dengan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Dengan adanya batasan ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum pemilik modal (shahib al-mal) dalam memasuki jenis dunia usaha.

3. Implementasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah
Mudharabah biasanya diterapkan pada produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana mudharabah diterapkan pada :
a. Tabungan berjangka, tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti tabungan haji, tabungan kurban, deposito biasa.
b. Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah  diterapkan untuk :
a. Pembiayaan modal kerja, seperti pembiayaan modal kerja perdagangan dan jasa.
b. Investasi khusus, disebut juga dengan mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan oleh shahib al-mal (bank).
4. Manfaat dan Resiko Mudharabah
Dalam mudharabah di samping terdapat keuntungan dari sistem bagi hasil yang diterapkan, tapi juga terdapat resiko yang harus ditanggung. Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh shahib al-mal (bank) selama kerugian itu bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak pengelola usaha (nasabah). Namun, jika usaha yang dijalankan tersebut mengalami kerugian disebabkan oleh kelalaian dari pihak pengelola usaha, maka kerugian tersebut harus ditanggung oleh pihak pengelola, bukan pihak pemberi modal (bank).[6]
Adapun manfaat yang diperoleh dari sistem mudharabah ini antara lain :
1.      Bank akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
2.      Bank tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap, tetapi disesuaikan dengan pendapat/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
3.      Pengembalian pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah sehingga tidak memberatkan nasabah.
4.      Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
5.      Prinsip bagi hasil dalam mudharabah  berbeda dengan prinsip bunga  tetap dimana bank akan menagih nasabah satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Sedangkan resiko dalam mudharabah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi, antara lain :
a.       Side streaming, nasabah menggunakan dana yang diberikan bank bukan seperti yang disebut dalam kontrak.
b.      lalai dan kesalahan yang disengaja.
c.       Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
Dengan demikian, esensi dari kontrak mudharabah adalah kerja sama untuk mencapai profit (keuntungan) berdasarkan akumulasi dasar dari pekerjaan dan modal, dimana keuntungan ditentukan melalui kedua komponen ini. Resiko juga menentukan profit dalam mudharabah. Pihak investor menanggung resiko kerugian dari modal yang telah diberikan, sedangkan pihak mudharib menanggung resiko tidak mendapatkan keuntungan hasil pekerjaan dan usaha yang telah dijalankannya.
B. Implementasi Musyarakah dalam Perbankan Syariah
1.  Definisi Musyarakah
Musyarakah secara etimologi berasal dari bahasa Arab yang diambil dari kata syaraka yang bermakna bersekutu, meyetujui. Sedangkan menurut istilah, musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[7]
Lewis dan Algaoud juga memberikan definisi musyarakah sebagai sebuah bentuk kemitraan dimana dua orang atau lebih menggabungkan modal atau kerja mereka untuk merbagi keuntungan, menikmatai hak-hak dan tanggung jawab yang sama.[8]
2. Jenis-jenis Musyarakah
Musyarakah ada dua jenis, yaitu: musyarakah kepemilikan dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah kepemilikan terjadi karenawarisan, wasiat, dan kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan suatu asset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua orang atau lebih berbagi dalam sebuah asset nayata dan berbagi pula dari keuntungan yang dihasilkan asset tersebut.
Musayarakah akad tercipta dengan cara kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka memberikan modal musyarakah. Merekapun sepakat membagi keuntungan dan kerugian.
Musyarakah akad terbagi menjadi : al-‘inan, al-mufawwadhah, al-a’mal, al-wujuh, dan al-mudharabah. Para ulama berbeda berbeda pendapat tentang al-mudharabah, apakah ia termasuk jenis musyarakah atau bukan. Beberapa ulama menganggap al-mudharabah termasuk kategori musyarakah karena memenuhi rukun dan syarat sebuah akad (kontrak) musyarakah.    Adapun ulama lain menganggap al-mudharabah tidak termasuk sebagai musyarakah. Berikut ini akan jelaskan mengenai pembagian musyarakah akad tersebut.
1.      Syirkah al-‘inan adalah kontrak antara dua orang atau lebih, dimana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja, dan kedua pihak berbagi dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati dalam kontrak. Akan tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka.
2.      Syirkah al-mufawwadhah adalah kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih, dimana setiap pihak memberikan suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja, dan setiap pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dalam jenis syirkah inisyarat utamanya adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban utang dibagi oleh masing-masing pihak.
3.      Syirkah al-a’mal atau kadang disebut juga dengan musyarakah abdan atau sana’i adalah kontrak kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.
4.      Syirkah al-wujuh adalah kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik serta ahli dalam bisnis, dimana mereka membeli barang secara kredit dari suatu perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, dan mereka berbagi dalam keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh setiap mitra. Jenis syrirkah ini tidak memerlukan modal karena pembelian secara kredit berdasar pada jaminan tersebut, sehingga syirkah ini biasa disebut dengan musyarakah piutang.
3. Implementasi Musyarakah dalam Perbankan Syariah
Implementasi musyarakah dalam perbankan syariah dapat dijumpai pada pembiayaan-pembiayaan seperti:
a.       Pembiayaan Proyek
Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk membiayai proyek tersebut, dan setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
b.      Modal Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diaplikasikan dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya, baik secara singkat maupun bertahap.
4. Manfaat dan Resiko Musyarakah
Dalam musyarakah terdapat manfaat dan resiko yang harus ditanggung bersama antara kedua belah pihak yang melakukan akad sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak. Manfaat yang diperoleh dari akad musyarakah ini adalah :
a.       Bank akan mengalami peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha nasabah meningkat.
b.      Bank tidak berkewajiban menbayar pendanaan secara tetap dalam jumlah tertentu kepada nasabah, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank tidak akan pernah mengalami negative spread.
c.       Pengembalian pokok pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
d.      Bank akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagi.
e.       Prinsip bagi hasil dalam musyarakah berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana bank akan menagih nasabah satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Sedangkan resiko dalam musyarakah, terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi, antara lain :
a. Side streaming, nasabah menggunakan dana yang diberikan bank bukan seperti yang disebut dalam kontrak.
b. Lalai dan kesalahan yang disengaja;
c. Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
Pada prinsipnya musyarakah tidak jauh berbeda dengan mudharabah karena keduanya merupakan sistem perkongsian (kemitraan) antara dua belah pihak atau lebih untuk mengelola suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang disepakati bersama pada awal perjanjian (akad). Mudharabah dan musyarakah berbeda pada beberapa hal sebagaimana berikut :
Dalam aqad mudharabah, shahib al-mal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan mudharib, dan dalam manajemen shahib al-mal tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun selain hak pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan. Bagi hasil diberikan setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib selesai dijalankan. Sedangkan dalam musyarakah, kedua belah pihak ikut andil dalam pemodalan (equity participation) dan masing-masing pihak dapat turut dalam manajemen, sehingga porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi keikutsertaan dalam proses manajemen ini. Sedang bila usaha merugi, maka kedua pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut karena musyarakah menganut azas profit and loss sharing contract.
Dari pemaparan di atas, baik mengenai mudharabah maupun musyarakah bahwasanya perbedaan bank syariah dengan bank konvensional dapat dilihat pada hubungan antara bank dengan nasabahnya. Hubungan antara bank syariah dengan nasabahnya bukan hubungan antara debitur dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan antara penyandang dana (shahib al-mal) dengan pengelola dana (mudharib). Sedangkan pada bank konvensional, para pemilik dana tertarik untuk menyimpan dana di bank berdasarkan tingkat bunga yang dijanjikan. Demikian pula bank memberikan pinjaman kepada pihak-pihak yang memerlukan dana berdasarkan kemampuan mereka membayar tingkat bunga tertentu.[9]
Melihat betapa urgent dan besarnya manfaat yang diberikan dengan keberadaan sistem bagi hasil yang diterapkan dalam perbankan syariah, maka di akhir pembahasan ini penulis memaparkan beberapa implikasi sosial ekonomi yang merupakan keistimewaan dari perbankan syariah, kiranya dapat menjadi motivasi bagi pembaca agar senantiasi mengutamakan bank syariah daripada bank konvensional. Keistimewaan-keistimewaan tersebut antara lain :
a.       Pertumbuhan ekonomi, dimana tujuan utama perbankan syariah adalah untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi dalam kehidupan masyarakat.
b.      Mencegah capital flight yang dapat memperlemah pertumbuhan ekonomi.
c.       Jaminan sosial dan pemerataan kekayaan.
d.      Prinsip operasional perbankan syariah menggunakan nilai-nilai syariah, sehingga dapat menciptakan kemaslahatan masyarakat.
e.       Dalam perbankan syariah terdapat dewan pengawas syariah (DPS) untuk mengawasi keabsahan kegiatan atau transaksi yang ada.
f.       Memberikan peluang kepada masyarakat untuk melakukan bisnis.[10]




Kesimpulan
Berdasarkan uraian-urain tentang mudharabah dan musyarakat serta implementasinya dalam perbankan syariah di atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya musyarakah tidak jauh berbeda dengan mudharabah karena keduanya merupakan sistem perkongsian (kemitraan) antara dua belah pihak atau lebih untuk mengelola suatu usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang disepakati bersama pada awal perjanjian (akad). Dan kedua jenis perkongsian ini menerapkan sistem bagi hasil dan kerugian (profit and loss sharing)
Mudharabah dan musyarakah memiliki perbedaan pada beberapa hal : pertama, dalam aqad mudharabah, shahib al-mal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan mudharib, sedang dalam musyarakah kedua belah pihak ikut andil dalam pemodalan (equity participation); kedua, dalam manajemen mudharabah, shahib al-mal tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun selain hak pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan, sedang dalam musyarakah masing-masing pihak dapat turut dalam manajemen; ketiga, dalam mudharabah bagi hasil (porsi nisbah) ditentukan pada awal akad yang diberikan setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib selesai dijalankan, sedang dalam musyarakah porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh sangat ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi keikutsertaan dalam proses manajemen; keempat, dalam mudharabah kerugian ditanggung oleh shahib al-mal selama kerugian tersebut bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak mudharib,  sedang dalam musyarakah kedua pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut.



DAFTAR PUSTAKA
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (cet;8: Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003) hal. 1205-1206
Atabik Ali dan Ahmad Zuhudi Muhdlor, op.cit., hal . 19
Lewis dan Algaoud, op.cit., hal. 69
Masyhuri, Teori Ekonomi dalam Islam, (cet; 2: Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005) hal. 138
Mervyn lewis dan Latifa Algaoud , Perbankan Syariah: Prinsip, Praktek, dan Prospek (cet;1: Jakarta: PT. Serambi Ilmu, 2004) hal. 14
Mervyn Lewis dan Latifa Algaoud, op.cit., hal. 66
Muslimin H. Kara, Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Perbankan Syariah, (cet; 1: Yogyakarta: UII Press, 2005) hal. 80
Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, (cet; 1: Jakarta: Zikrul Hakim, 2004) hal. 47
Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Perbankan Syariah, ( cet;4: Jakarta: Pustaka Alfabet. 2006) hal. 46



[1] Mervyn lewis dan Latifa Algaoud , Perbankan Syariah: Prinsip, Praktek, dan Prospek (cet;1: Jakarta: PT. Serambi Ilmu, 2004) hal. 14
[2] Muslimin H. Kara, Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Perbankan Syariah, (cet; 1: Yogyakarta: UII Press, 2005) hal. 80
[3] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (cet;8: Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003) hal. 1205-1206
[4] Mervyn Lewis dan Latifa Algaoud, op.cit., hal. 66
[5] Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (cet;2: Jakarta: Raja Grafindo, 2007) hal. 204
[6] Masyhuri, Teori Ekonomi dalam Islam, (cet; 2: Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005) hal. 138
[7] Atabik Ali dan Ahmad Zuhudi Muhdlor, op.cit., hal . 19
[8] Lewis dan Algaoud, op.cit., hal. 69
[9] Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Perbankan Syariah, ( cet;4: Jakarta: Pustaka Alfabet. 2006) hal. 46
[10] Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, (cet; 1: Jakarta: Zikrul Hakim, 2004) hal. 47

Tidak ada komentar:

Posting Komentar