JURNAL
MUDHARABAH DAN MUSYARAKAH SERTA IMPLEMENTASINYA DALAM PERBANKAN SYARIAH
Oleh
: Ainul Hikmah
Jurusan Ekonomi Syariah Kelompok 4 Semester 7
Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri (STAIN) Watampone
ABSTRAK
Dalam liberatur ekonomi islam dan
perbankan islam yang dipublikasikan dalam rentang waktu antara 1960-an hingga
1970-an, dijelaskan bank-bank islam dikonsep sebagai “lembaga keuangan”, dimana
keseluruhan pinjaman bisnis yang diberlakukan kepada pengusaha (partner)
berdasarkan prinsip bagi hasil ( profit and loss sharing). Meskipun demikian,
bank-bank islam sejauh ini tidak bisa dipungkiri lagi murni menggunakan prinsip
bagi hasil (PLS), namun memperluas penggunaannya kepada metode pembiayaan
lainnya, seperti leasing terhadap permodalan barang-barang atau meningkatkan
jaringan perdagangan. Dalam memperluas penggunaan pembiayaan yang berbasis pada
prinsip bagi hasil (PLS), Homoud, seorang teoritikus perbankan islam,
menyatakan berdasarkan pengamatannya terhadap bank-bank islam.
Pendahuluan
Sistem bagi hasil (profit and
loss sharing) yang diterapkan dalam perbankan syariah seperti yang terdapat
dalam mudharabah dan musyarakah merupakan praktek perkongsian
yang sudah lazim digunakan sebelum Islam datang. Sebagaimana Lewis dan Algaoud
mengutip pendapat Crone, Kazarian dan Cizaka, bahwa di Timur Tengah pra-Islam,
kemitraan-kemitraan bisnis yang berdasarkan atas konsep mudharabah dan musyarakah
berjalan berdampingan dengan konsep pinjam sistem bunga sebagai cara untuk
membiayai berbagai aktivitas ekonomi. Kemudian setelah Islam datang, semua
transaksi keuangan yang berbasis riba (bunga) dilarang dan semua dana harus
disalurkan atas dasar bagi hasil (profit and loss sharing).[1]
Sayyid Sabiq menjelaskan bahwa
hikmah diharamkannya riba antara lain: pertama, riba dapat menimbulkan
sikap permusuhan antar individu dan juga menghilangkan tolong-menolong sesame
manusia; kedua, riba menumbuhkan mental boros dan malas yang mau
mendapatkan harta tanpa kerja keras, menjadi benalu yang tumbuh di atas jerih
payah orang lain; ketiga, riba adalah salah satu bentuk penjajahan; dan keempat,
Islam mengajak manusia agar mendermakan kepada saudaranya yang membutuhkan
Sedangkan al-Razi sebagaimana
dikutip Lewis dan Algaoud mengemukakan beberapa alasan pelarangan riba antara
lain: pertama, riba tak lain adalah perampasan hak milik orang lain
tanpa ada nilai imbangan; kedua, riba dilarang karena menghalangi orang
dari keikutsertaan dalam profesi-profesi aktif; ketiga, perjanjian riba
menimbulkan hubungan yang tegang antara sesama manusia; keempat,
perjanjian riba adalah alat yang digunakan orang kaya untuk mendapatkan
kelebihan dari modal dan ini bertentangan dengan keadilan dan persamaan; dan kelima,
keharaman riba dinyatakan oleh nas Al-Qur’an dan manusia tidak harus
mengetahui alasannya.
Dengan melarang riba, Islam berusaha
membangun sebuah masyarakat berdasarkan kejujuran dan keadilan. Keadilan dalam
konteks ini memiliki dua dimensi, yaitu pemodal berhak untuk mendapatkan
imbalan, tetapi harus sepadan dengan resiko dan usaha yang dibutuhkan, dan
imbalan yang didapat ditentukan oleh keuntungan dari proyek yang dimodalinya.
Yang dilarang dalam Islam adalah keuntungan yang ditetapkan sebelumnya.
Di Indonesia bunga bank masih
menjadi polemik tersendiri karena para ulama masih belum sepakat tentang
boleh-tidaknya sehingga dalam praktek, baik perbankan syariah maupun perbankan
konvensional berjalan bersama-sama. Perbedaan pendapat ini diklasifikasikan
menjadi tiga pandangan, yaitu: pertama, bunga bank adalah termasuk dalam
kategori riba sehingga hukumnya haram, sedikit atau banyak unsur; kedua, bunga
bank bukan termasuk dalam kategori riba sehingga halal untuk dilakukan; ketiga,
riba termasuk dalam klasifikasi mutasyabihat sehingga sebaiknya bunga
bank tidak dilakukan.[2]
Perbedaan pokok antara perbankan
syariah dengan perbankan konvensional adalah pada penggunaan bunga dalam
pembiayaannya (equity financing). Kalau perbankan konvensional
menggunakan sistem bunga, maka perbankan syariah tidak menggunakan bunga tetapi
sistem bagi hasil.
Mudharabah dan musyarakah atau yang
sering dikenal dengan istilah profit and loss sharing (PLS) adalah dua
model perkongsian yang direkomendasikan dalam Islam karena bebas dari sistem
riba. Maka, dalam makalah ini penulis berusaha mendiskripsikan mudharabah dan
musyarakah serta implementasinya dalam perbankan Islam (syariah).
Pembahasan
A. Mudharabah dan Implementasinya dalam Perbankan
Syariah
1. Definisi Mudharabah
Mudharabah berasal dari bahasa Arab yang
diambil dari kata dharab yang bermakna memukul, bergerak, pergi,
mewajibkan, mengambil bagian, berpartisipasi.[3]
Dalam kaitannya dengan pengertian mudharabah maka yang lebih cocok
adalah mengambil bagian dan berpartisipasi.
Adapun menurut istilah ada beberapa
pengertian yang dikemukakan oleh para ahli, namun di sini penulis hanya
mengutip beberapa bendapat saja antara lain:
a)
Menurut
Sayyid Sabiq “Mudharabah adalah akad antara dua pihak dimana salah
satu pihak mengeluarkan sejumlah uang (sebagai modal) kepada pihak lainnya
untuk diperdagangkan, dan laba dibagi dua sesuai dengan kesepakatan”.
b)
Antonio
mengutip pendapat al-Syarbasyi sebagai berikut: “Mudharabah adalah akad
kerja sama usaha antara dua pihak dimana pihak pertama (shabib al-mal)
menyediakan seluruh modal, sedangkan pihak lain menjadi pengelola, dan
keuntungan usaha secara dibagi menurut kesepakatan yang dituangkan dalam
kontrak, sedangkan apabila rugi ditanggung oleh pemilik modal selama kerugian
itu bukan akibat kelalaian si pengelola”.
c)
Lewis
dan Algaoud mendefinisikan mudharabah sebagai sebuah perjanjian di
antara paling sedikit dua pihak dimana satu pihak, pemilik modal (shahib
al-mal atau rab al-mal), mempercayakan sejumlah dana kepada pihak
lain, pengusaha (mudharib), untuk menjalankan suatu aktivitas atau
usaha. Konsekuensinya para pemberi pinjaman memperoleh bagian tertentu dari
keuntungan/kerugian proyek yang telah mereka biayai.[4]
d)
Adiwarman
mengutip pendapat M. Anwar Ibrahim bahwa “Mudharabah adalah persetujuan
kongsi antara harta dari salah satu pihak dengan kerja dari pihak lain, dimana
satu pihak berperan sebagai pemilik modal dan mempercayakan sejumlah modalnya
untuk dikelola oleh pihak kedua, yakni si pelaksana usaha, dengan tujuan untuk
mendapatkan untung”.[5]
Dari ketiga definisi tersebut dapat
disimpulkan bahwa mudharabah adalah akad antara dua belah pihak atau
lebih, antara pemilik modal (shahib al-mal) dengan pengelola usaha (mudhararib)
dengan tujuan untuk memperoleh keuntungan yang dibagi berdasarkan kesepakatan
yang tertuang di dalam kontrak, dimana bila usaha yang dijalankan
mengalami kerugian, maka kerugian tersebut ditanggung oleh pemilik modal selama
kerugian itu bukan akibat kelalaian si pengelola usaha (profit and lost
sharing).
2. Jenis-jenis Mudharabah
Secara umum mudharabah dibagi
menjadi dua macam, yaitu: mudharabah muthlaqah dan mudharabah muqayyadah.
Berikut ini akan dikemukakan kedua macam pembagian mudharabah di atas.
a.
Mudharabah
Muthlaqah
Yang dimaksud dengan mudharabah
muthlaqah adalah bentuk kerja sama antara pemodal (shahib al-mal)
dan pengusaha (mudharib) yang cakupannya sangat luas dan tidak dibatasi
oleh spesifikasi jenis usaha, waktu dan daerah bisnis. Dalam mudharabah
muthlaqah ini shahib al-mal memberikan kekuasaan yang sangat besar
kepada mudharib dalam mengelola modal dan usahanya.
b.
Mudharabah
Muqayyadah
Mudharabah muqayyadah atau biasa disebut juga dengan
istilah restricted mudharabah/specified mudharabah adalah
kebalikan dari mudharabah muthlaqah, dimana pengelola usaha (mudharib)
dibatasi dengan jenis usaha, waktu, atau tempat usaha. Dengan adanya batasan
ini seringkali mencerminkan kecenderungan umum pemilik modal (shahib al-mal)
dalam memasuki jenis dunia usaha.
3. Implementasi Mudharabah dalam Perbankan Syariah
Mudharabah biasanya diterapkan pada
produk-produk pembiayaan dan pendanaan. Pada sisi penghimpunan dana mudharabah
diterapkan pada :
a.
Tabungan berjangka, tabungan yang dimaksudkan untuk tujuan khusus, seperti
tabungan haji, tabungan kurban, deposito biasa.
b.
Deposito spesial (special investment), dimana dana yang dititipkan
nasabah khusus untuk bisnis tertentu, misalnya mudharabah saja atau ijarah
saja.
Adapun pada sisi pembiayaan, mudharabah
diterapkan untuk :
a.
Pembiayaan modal kerja, seperti pembiayaan modal kerja perdagangan dan jasa.
b. Investasi
khusus, disebut juga dengan mudharabah muqayyadah, dimana sumber dana
khusus dengan penyaluran yang khusus dengan syarat-syarat yang telah ditetapkan
oleh shahib al-mal (bank).
4. Manfaat dan Resiko Mudharabah
Dalam mudharabah di samping
terdapat keuntungan dari sistem bagi hasil yang diterapkan, tapi juga terdapat
resiko yang harus ditanggung. Jika usaha yang dijalankan mengalami kerugian,
maka kerugian tersebut ditanggung oleh shahib al-mal (bank) selama
kerugian itu bukan disebabkan oleh kelalaian dari pihak pengelola usaha
(nasabah). Namun, jika usaha yang dijalankan tersebut mengalami kerugian
disebabkan oleh kelalaian dari pihak pengelola usaha, maka kerugian tersebut
harus ditanggung oleh pihak pengelola, bukan pihak pemberi modal (bank).[6]
Adapun manfaat yang diperoleh dari
sistem mudharabah ini antara lain :
1.
Bank
akan menikmati peningkatan bagi hasil pada saat keuntungan usaha nasabah
meningkat.
2.
Bank
tidak berkewajiban membayar bagi hasil kepada nasabah pendanaan secara tetap,
tetapi disesuaikan dengan pendapat/hasil usaha bank sehingga bank tidak akan
pernah mengalami negative spread.
3.
Pengembalian
pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha nasabah
sehingga tidak memberatkan nasabah.
4.
Bank
akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang
benar-benar halal, aman, dan menguntungkan karena keuntungan yang konkret dan
benar-benar terjadi itulah yang akan dibagikan.
5.
Prinsip
bagi hasil dalam mudharabah berbeda dengan prinsip bunga
tetap dimana bank akan menagih nasabah satu jumlah bunga tetap berapapun
keuntungan yang dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis
ekonomi.
Sedangkan resiko dalam mudharabah,
terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi, antara lain :
a.
Side
streaming, nasabah
menggunakan dana yang diberikan bank bukan seperti yang disebut dalam kontrak.
b.
lalai
dan kesalahan yang disengaja.
c.
Penyembunyian
keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
Dengan demikian, esensi dari kontrak
mudharabah adalah kerja sama untuk mencapai profit (keuntungan)
berdasarkan akumulasi dasar dari pekerjaan dan modal, dimana keuntungan
ditentukan melalui kedua komponen ini. Resiko juga menentukan profit dalam
mudharabah. Pihak investor menanggung resiko kerugian dari modal yang
telah diberikan, sedangkan pihak mudharib menanggung resiko tidak
mendapatkan keuntungan hasil pekerjaan dan usaha yang telah dijalankannya.
B. Implementasi Musyarakah dalam Perbankan Syariah
1. Definisi Musyarakah
Musyarakah secara etimologi berasal dari bahasa
Arab yang diambil dari kata syaraka yang bermakna bersekutu, meyetujui. Sedangkan
menurut istilah, musyarakah adalah akad kerjasama antara dua pihak atau
lebih untuk suatu usaha tertentu dimana masing-masing pihak memberikan
kontribusi dana (amal/expertise) dengan kesepakatan bahwa keuntungan dan
resiko akan ditanggung bersama sesuai dengan kesepakatan.[7]
Lewis dan Algaoud juga memberikan
definisi musyarakah sebagai sebuah bentuk kemitraan dimana dua orang
atau lebih menggabungkan modal atau kerja mereka untuk merbagi keuntungan,
menikmatai hak-hak dan tanggung jawab yang sama.[8]
2. Jenis-jenis Musyarakah
Musyarakah ada dua jenis, yaitu: musyarakah kepemilikan
dan musyarakah akad (kontrak). Musyarakah kepemilikan terjadi
karenawarisan, wasiat, dan kondisi lainnya yang mengakibatkan pemilikan suatu
asset oleh dua orang atau lebih. Dalam musyarakah ini, kepemilikan dua
orang atau lebih berbagi dalam sebuah asset nayata dan berbagi pula dari
keuntungan yang dihasilkan asset tersebut.
Musayarakah akad tercipta dengan cara
kesepakatan dimana dua orang atau lebih setuju bahwa tiap orang dari mereka
memberikan modal musyarakah. Merekapun sepakat membagi keuntungan dan
kerugian.
Musyarakah akad terbagi menjadi : al-‘inan,
al-mufawwadhah, al-a’mal, al-wujuh, dan al-mudharabah. Para ulama
berbeda berbeda pendapat tentang al-mudharabah, apakah ia termasuk jenis
musyarakah atau bukan. Beberapa ulama menganggap al-mudharabah termasuk
kategori musyarakah karena memenuhi rukun dan syarat sebuah akad
(kontrak) musyarakah. Adapun
ulama lain menganggap al-mudharabah tidak termasuk sebagai musyarakah.
Berikut ini akan jelaskan mengenai pembagian musyarakah akad tersebut.
1.
Syirkah
al-‘inan adalah
kontrak antara dua orang atau lebih, dimana setiap pihak memberikan suatu porsi
dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja, dan kedua pihak berbagi
dalam keuntungan dan kerugian sebagaimana yang disepakati dalam kontrak. Akan
tetapi, porsi masing-masing pihak, baik dalam dana maupun kerja atau bagi
hasil, tidak harus sama dan identik sesuai dengan kesepakatan mereka.
2.
Syirkah
al-mufawwadhah adalah
kontrak kerja sama antara dua orang atau lebih, dimana setiap pihak memberikan
suatu porsi dari keseluruhan dana dan berpartisipasi dalam kerja, dan setiap
pihak membagi keuntungan dan kerugian secara sama. Dalam jenis syirkah inisyarat
utamanya adalah kesamaan dana yang diberikan, kerja, tanggung jawab, dan beban
utang dibagi oleh masing-masing pihak.
3.
Syirkah
al-a’mal atau
kadang disebut juga dengan musyarakah abdan atau sana’i adalah kontrak
kerja sama dua orang seprofesi untuk menerima pekerjaan secara bersama dan
berbagi keuntungan dari pekerjaan itu.
4.
Syirkah
al-wujuh adalah
kontrak antara dua orang atau lebih yang memiliki reputasi dan prestise baik
serta ahli dalam bisnis, dimana mereka membeli barang secara kredit dari suatu
perusahaan dan menjual barang tersebut secara tunai, dan mereka berbagi dalam
keuntungan dan kerugian berdasarkan jaminan kepada penyuplai yang disediakan oleh
setiap mitra. Jenis syrirkah ini tidak memerlukan modal karena pembelian
secara kredit berdasar pada jaminan tersebut, sehingga syirkah ini biasa
disebut dengan musyarakah piutang.
3. Implementasi Musyarakah dalam Perbankan Syariah
Implementasi musyarakah dalam
perbankan syariah dapat dijumpai pada pembiayaan-pembiayaan seperti:
a.
Pembiayaan
Proyek
Musyarakah biasanya diaplikasikan untuk
pembiayaan proyek dimana nasabah dan bank sama-sama menyediakan dana untuk
membiayai proyek tersebut, dan setelah proyek itu selesai nasabah mengembalikan
dana tersebut bersama bagi hasil yang telah disepakati untuk bank.
b.
Modal
Ventura
Pada lembaga keuangan khusus yang
dibolehkan melakukan investasi dalam kepemilikan perusahaan, musyarakah diaplikasikan
dalam skema modal ventura. Penanaman modal dilakukan untuk jangka waktu
tertentu dan setelah itu bank melakukan divestasi atau menjual bagian sahamnya,
baik secara singkat maupun bertahap.
4. Manfaat dan Resiko Musyarakah
Dalam musyarakah terdapat
manfaat dan resiko yang harus ditanggung bersama antara kedua belah pihak yang
melakukan akad sesuai dengan kesepakatan yang tertuang dalam kontrak. Manfaat
yang diperoleh dari akad musyarakah ini adalah :
a.
Bank
akan mengalami peningkatan dalam jumlah tertentu pada saat keuntungan usaha
nasabah meningkat.
b.
Bank
tidak berkewajiban menbayar pendanaan secara tetap dalam jumlah tertentu kepada
nasabah, tetapi disesuaikan dengan pendapatan/hasil usaha bank, sehingga bank
tidak akan pernah mengalami negative spread.
c.
Pengembalian
pokok pokok pembiayaan disesuaikan dengan cash flow/arus kas usaha
nasabah, sehingga tidak memberatkan nasabah.
d.
Bank
akan lebih selektif dan hati-hati (prudent) mencari usaha yang
benar-benar halal, aman, dan menguntungkan. Hal ini karena keuntungan yang riil
dan benar-benar terjadi itulah yang akan dibagi.
e.
Prinsip
bagi hasil dalam musyarakah berbeda dengan prinsip bunga tetap dimana
bank akan menagih nasabah satu jumlah bunga tetap berapapun keuntungan yang
dihasilkan nasabah, sekalipun merugi dan terjadi krisis ekonomi.
Sedangkan resiko dalam musyarakah,
terutama pada penerapannya dalam pembiayaan, relative tinggi, antara lain :
a.
Side streaming, nasabah menggunakan dana yang diberikan bank bukan
seperti yang disebut dalam kontrak.
b.
Lalai dan kesalahan yang disengaja;
c.
Penyembunyian keuntungan oleh nasabah bila nasabahnya tidak jujur.
Pada prinsipnya musyarakah tidak
jauh berbeda dengan mudharabah karena keduanya merupakan sistem
perkongsian (kemitraan) antara dua belah pihak atau lebih untuk mengelola suatu
usaha tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang
disepakati bersama pada awal perjanjian (akad). Mudharabah dan musyarakah
berbeda pada beberapa hal sebagaimana berikut :
Dalam aqad mudharabah, shahib
al-mal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan mudharib, dan dalam
manajemen shahib al-mal tidak diperkenankan melakukan intervensi dalam
bentuk apapun selain hak pengawasan untuk mengantisipasi terjadinya
penyelewengan. Bagi hasil diberikan setelah proyek atau usaha yang dijalankan mudharib
selesai dijalankan. Sedangkan dalam musyarakah, kedua belah pihak ikut
andil dalam pemodalan (equity participation) dan masing-masing pihak
dapat turut dalam manajemen, sehingga porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh sangat
ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi
keikutsertaan dalam proses manajemen ini. Sedang bila usaha merugi, maka kedua
pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut karena musyarakah menganut
azas profit and loss sharing contract.
Dari pemaparan di atas, baik
mengenai mudharabah maupun musyarakah bahwasanya perbedaan bank
syariah dengan bank konvensional dapat dilihat pada hubungan antara bank dengan
nasabahnya. Hubungan antara bank syariah dengan nasabahnya bukan hubungan antara
debitur dengan kreditur, melainkan hubungan kemitraan antara penyandang dana (shahib
al-mal) dengan pengelola dana (mudharib). Sedangkan pada bank
konvensional, para pemilik dana tertarik untuk menyimpan dana di bank
berdasarkan tingkat bunga yang dijanjikan. Demikian pula bank memberikan
pinjaman kepada pihak-pihak yang memerlukan dana berdasarkan kemampuan mereka
membayar tingkat bunga tertentu.[9]
Melihat betapa urgent dan
besarnya manfaat yang diberikan dengan keberadaan sistem bagi hasil yang diterapkan
dalam perbankan syariah, maka di akhir pembahasan ini penulis memaparkan
beberapa implikasi sosial ekonomi yang merupakan keistimewaan dari perbankan
syariah, kiranya dapat menjadi motivasi bagi pembaca agar senantiasi
mengutamakan bank syariah daripada bank konvensional. Keistimewaan-keistimewaan
tersebut antara lain :
a.
Pertumbuhan
ekonomi, dimana tujuan utama perbankan syariah adalah untuk mempercepat
pertumbuhan ekonomi dalam kehidupan masyarakat.
b.
Mencegah
capital flight yang dapat memperlemah pertumbuhan ekonomi.
c.
Jaminan
sosial dan pemerataan kekayaan.
d.
Prinsip
operasional perbankan syariah menggunakan nilai-nilai syariah, sehingga dapat
menciptakan kemaslahatan masyarakat.
e.
Dalam
perbankan syariah terdapat dewan pengawas syariah (DPS) untuk mengawasi
keabsahan kegiatan atau transaksi yang ada.
f.
Memberikan
peluang kepada masyarakat untuk melakukan bisnis.[10]
Kesimpulan
Berdasarkan uraian-urain tentang mudharabah
dan musyarakat serta implementasinya dalam perbankan syariah di
atas, maka dapat disimpulkan bahwa pada prinsipnya musyarakah tidak jauh
berbeda dengan mudharabah karena keduanya merupakan sistem perkongsian
(kemitraan) antara dua belah pihak atau lebih untuk mengelola suatu usaha
tertentu dengan pembagian keuntungan sesuai porsi (nisbah) yang
disepakati bersama pada awal perjanjian (akad). Dan kedua jenis perkongsian ini
menerapkan sistem bagi hasil dan kerugian (profit and loss sharing)
Mudharabah dan musyarakah memiliki
perbedaan pada beberapa hal : pertama, dalam aqad mudharabah, shahib
al-mal menyediakan seluruh dana yang dibutuhkan mudharib, sedang
dalam musyarakah kedua belah pihak ikut andil dalam pemodalan (equity
participation); kedua, dalam manajemen mudharabah, shahib al-mal tidak
diperkenankan melakukan intervensi dalam bentuk apapun selain hak pengawasan
untuk mengantisipasi terjadinya penyelewengan, sedang dalam musyarakah masing-masing
pihak dapat turut dalam manajemen; ketiga, dalam mudharabah bagi
hasil (porsi nisbah) ditentukan pada awal akad yang diberikan setelah
proyek atau usaha yang dijalankan mudharib selesai dijalankan, sedang
dalam musyarakah porsi nisbah bagi hasil yang diperoleh sangat
ditentukan oleh besar kecilnya modal yang dikeluarkan dan frekuensi keikutsertaan
dalam proses manajemen; keempat, dalam mudharabah kerugian
ditanggung oleh shahib al-mal selama kerugian tersebut bukan disebabkan
oleh kelalaian dari pihak mudharib, sedang dalam musyarakah kedua
pihak sama-sama menanggung kerugian tersebut.
DAFTAR
PUSTAKA
Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Mudhlor, Kamus Kontemporer Arab-Indonesia, (cet;8:
Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003) hal. 1205-1206
Atabik Ali dan Ahmad
Zuhudi Muhdlor, op.cit., hal . 19
Lewis dan Algaoud, op.cit., hal. 69
Masyhuri, Teori Ekonomi dalam Islam, (cet; 2:
Yogyakarta: Kreasi Wacana, 2005) hal. 138
Mervyn lewis dan Latifa Algaoud , Perbankan Syariah: Prinsip, Praktek, dan
Prospek (cet;1: Jakarta: PT. Serambi Ilmu, 2004) hal. 14
Mervyn Lewis dan Latifa
Algaoud, op.cit., hal. 66
Muslimin H. Kara, Bank Syariah di Indonesia: Analisis Kebijakan Pemerintah Indonesia
Tentang Perbankan Syariah, (cet; 1: Yogyakarta: UII Press, 2005) hal. 80
Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi Global, (cet; 1: Jakarta:
Zikrul Hakim, 2004) hal. 47
Zainul Arifin, Dasar-dasar
Manajemen Perbankan Syariah, ( cet;4: Jakarta: Pustaka Alfabet. 2006) hal.
46
[1] Mervyn lewis dan Latifa Algaoud ,
Perbankan Syariah: Prinsip, Praktek, dan
Prospek (cet;1: Jakarta: PT. Serambi Ilmu, 2004) hal. 14
[2] Muslimin H. Kara, Bank Syariah di Indonesia: Analisis
Kebijakan Pemerintah Indonesia Tentang Perbankan Syariah, (cet; 1:
Yogyakarta: UII Press, 2005) hal. 80
[3] Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi
Mudhlor, Kamus Kontemporer
Arab-Indonesia, (cet;8: Yogyakarta: Multi Karya Grafika, 2003) hal.
1205-1206
[4] Mervyn Lewis dan Latifa Algaoud,
op.cit., hal. 66
[5] Adiwarman A. Karim, Bank Islam: Analisis Fiqh dan Keuangan, (cet;2:
Jakarta: Raja Grafindo, 2007) hal. 204
[6] Masyhuri, Teori Ekonomi dalam Islam, (cet; 2: Yogyakarta: Kreasi Wacana,
2005) hal. 138
[7] Atabik Ali dan Ahmad Zuhudi
Muhdlor, op.cit., hal . 19
[8] Lewis dan Algaoud, op.cit., hal. 69
[9] Zainul Arifin, Dasar-dasar Manajemen Perbankan Syariah, (
cet;4: Jakarta: Pustaka Alfabet. 2006) hal. 46
[10] Said Sa’ad Marthon, Ekonomi Islam di Tengah Krisis Ekonomi
Global, (cet; 1: Jakarta: Zikrul Hakim, 2004) hal. 47
Tidak ada komentar:
Posting Komentar