MANAJEMEN RISIKO PEMBIAYAAN
DI BANK SYARIAH
Oleh:
Nirmala Sari
Dewi
Sekolah Tinggi
Agama Islam (STAIN) Watampone
Abstract
Pembiayaan
adalah sumber pendapatan bank syariah yang terbesar, namun sekaligus merupakan
sumber risiko operasi bisnis yang terbesar yaitu timbulnya pembiayaan
bermasalah karena dengan adanya pembiayaan bermasalah bukan saja menurunkan
pendapatan bank syariah tetapi juga akan berdampak pada kesehatan bank syariah
dan pada akhirnya merugikan nasabah penyimpan. Oleh karena itu, diperlukan
manajemen risiko untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalikan
risiko yang sesuai dengan kegiatan usaha perbankan syariah. Langkah-langkah
tersebut dilakukan dalam rangka memitigasi risiko dengan mempertimbangkan
kesesuaian dengan prinsip syariah.
Kata kunci: Manajemen,
Risiko, Pembiayaan, Bank Syariah
PENDAHULUAN
Sejak
diundangkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan, ada bentuk
alternatif lain disamping bank konvensional yang sudah dikenal masyarakat,
yaitu bank yang berdasarkan pada prinsip bagi hasil. Undang-Undang Nomor 7
Tahun 1992 tentang Perbankan sama sekali belum menggunakan secara tegas istilah
bank syariah. Penyebutannya masih menggunakan istilah ”prinsip bagi hasil”.
Belum ada ketentuan yang lebih rinci mengenai bank yang melakukan kegiatan
usaha berdasarkan prinsip syariah. Keberadaan perbankan syariah baru
mendapatkan landasan yang kuat sejak tanggal 16 Juli 2008 dengan diundangkan
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah selanjutnya disebut
dengan Undang Undang Perbankan Syariah.
Seperti
halnya bank konvensional, bank syariah berfungsi juga sebagai lembaga
intermediasi (intermediary institution), yaitu berfungsi menghimpun dana
dari masyarakat dan menyalurkan kembali dana-dana tersebut kepada masyarakat
yang membutuhkannya dalam bentuk pembiayaan. Pembiayaan adalah merupakan
sebagian besar aset dari bank syariah sehingga pembiayaan tersebut harus dijaga
kualitasnya, sebagaimana diamanatkan pada Pasal 2 Undang-undang Perbankan
Syariah bahwa perbankan syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan
prinsip syariah, demokrasi ekonomi dan prinsip kehati-hatian. Pada penjelasan
Pasal 2 Undang-Undang Perbankan Syariah yang dimaksud dengan prinsip
kehati-hatian adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan
perbankan yang sehat, kuat dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan
perundang-undangan. Dari berbagai sumber dapat disimpulkan bahwa yang dimaksud
dengan prinsip kehati-hatian adalah pengendalian risiko melalui penerapan
peraturan perundang-undangan dan ketentuan yang berlaku secara konsisten.[1]
Dasar
filosofis eksistensi prinsip kehati-hatian pada kegiatan usaha perbankan pada
hakikatnya adalah sebagai jaminan kepercayaan masyarakat kepada perbankan, pada
perbankan syariah tidak sebatas jaminan kepercayaan tetapi dimaknai sebagai
jaminan atas amanah yang sudah diberikan oleh masyarakat. Perbankan syariah
tidak semata-mata berfungsi sebagai lembaga intermediasi, tetapi juga berfungsi
sosial dan merupakan mitra nasabah. Oleh karena itu, untuk melindungi
kepentingan dana masyarakat maka perbankan syariah wajib memegang teguh prinsip
kehati-hatian agar perbankan syariah selaku pemegang amanah dalam
keadaan sehat, likuid, solvent dan profitable. Hubungan hukum
bank syariah dengan nasabah adalah didasarkan pada prinsip amanah. Tidak
terbatas pada kepercayaan yang didasarkan pada itikad baik saja tetapi juga
kepercayaan yang dilandasi dengan nilai ketauhidan bahwa apa yang dilakukan
senantiasa diawasi oleh Allah swt, sehingga setiap tindakan yang dilakukan
merupakan ibadah, sehingga tujuan dari perbankan syariah tidak semata-mata
mencari keuntungan (profit oriented) tetapi juga mencari kemakmuran di
dunia dan kebahagian di akhirat ( falah oriented). Sutan Remy Sjahdeini merumuskan bahwa
tujuan dari diberlakukannya prinsip kehati-hatian tidak lain agar bank-bank
selalu dalam keadaan sehat, sehingga antara lain selalu dalam keadaan likuid,
solvent dan menguntungkan (profitable). Dengan diberlakukannya
prinsip kehati-hatian itu diharapkan kadar kepercayaan masyarakat terhadap
perbakan selalu tinggi sehingga masyarakat bersedia dan tidak ragu-ragu
menyimpan dananya di bank.[2]
Burhanuddin Susanto menekankan
bahwa perbankan syariah harus senantiasa menjaga kepercayaan masyarakat baik
dari aspek finansial maupun kesesuaian terhadap prinsip syariah yang menjadi
dasar operasinya. Perbankan syariah sebagai lembaga yang berfungsi untuk
menghimpun dana masyarakat, harus memiliki sumber pendanaan yang optimal
sebelum menyalurkan kembali kepada pihak yang membutuhkan. Dalam proses
penghimpunan dana, prinsip syariah yang perlu mendapat perhatian lembaga
perbankan ialah bagaimana menjamin perolehan dana yang halal, serta bagaimana
menjalankan transaksi dengan pihak nasabah secara syar’i.[3]
Pada
sisi aktiva neraca bank syariah bagian terbesar dana operasional setiap bank
syariah disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Kenyataan ini menggambarkan bahwa
pembiayaan adalah sumber pendapatan bank yang terbesar, namun sekaligus
merupakan sumber risiko operasi bisnis yang terbesar. pembiayaan bermasalah
bahkan menjadi kategori macet menjadi masalah bagi bank syariah, karena dengan
adanya pembiayaan bermasalah bukan saja menurunkan pendapatan bagi bank syariah
tetapi juga menggerogoti jumlah dana operasional dan likuiditas keuangan bank
syariah, yang akhirnya akan menggoyahkan kesehatan bank syariah dan pada
akhirnya akan merugikan nasabah penyimpan/nasabah investor. Sebagian besar dana
yang dipergunakan oleh bank syariah dalam menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan
adalah dana nasabah penyimpan/nasabah investor, sehingga dana nasabah
penyimpan/nasabah investor wajib mendapat perlindungan hukum. Berdasarkan
uraian di atas maka permasalahan yang akan dikaji adalah bagaimana bank syariah
mengelola risiko pembiayaan?
PEMBAHASAN
Pembiayaan adalah suatu proses mulai
dari analisis kelayakan pembiayaan sampai kepada realisasinya. Namun realisasi
pembiayaan bukanlah tahap terakhir dari proses pembiayaan. Setelah realisasi
pembiayaan maka bank syariah perlu melakukan pemantauan dan pengawasan
pembiayaan, karena dalam jangka waktu pembiayaan tidak mustahil terjadi
pembiayaan bermasalah dikarenakan beberapa alasan. Bank syariah harus mampu
menganalisis penyebab pembiayaan bermasalah sehingga dapat melakukan upaya
untuk melancarkan kembali kualitas pembiayaan tersebut.
Analisa pembiayaan adalah suatu kajian
untuk mengetahui kelayakan dari suatu proposal pembiayaan yang diajukan
nasabah. Melalui hasil analisis dapat diketahui apakah usaha nasabah tersebut
layak (feasible) dalam arti bisnis yang dibiayai diyakini dapat menjadi
sumber pengembalian dari pembiayaan yang diberikan, jumlah pembiayaan sesuai
kebutuhan baik dari sisi jumlah maupun penggunaannya serta tepat struktur
pembiayaannya, sehingga mengamankan risiko dan menguntungkan bagi bank syariah
dan nasabah. Dalam menganalisa pembiayaan harus diperhatikan kemauan dan
kemampuan nasabah untuk memenuhi kewajibannya serta terpenuhinya aspek
ketentuan syariah. Bank syariah dalam menyalurkan pembiayaan wajib menempuh
cara-cara yang tidak merugikan bank syariah dan kepentingan nasabah yang
mempercayakan dananya. Risiko pembiayaan bermasalah dapat diperkecil dengan
jalan salah satunya melakukan analisa pembiayaan. Analisa pembiayaan merupakan
tahap preventif yang paling penting dan dilaksanakan dengan profesional dapat
berperan sebagai saringan pertama dalam usaha bank menangkal bahaya pembiayaan
bermasalah. Kelayakan pembiayaan merupakan fokus dan hal yang terpenting di
dalam pengambilan keputusan pembiayaan karena sangat menentukan kualitas
pembiayaan dan kelancaran pembayaran.
Urgensi Manajemen Risiko Pembiayaan pada Bank
Syariah
Dalam
konteks teori keuangan, kaidah fikih “al
ghunmu bil ghurmi” tersebut dikenal dengan istilah “risk-return trade-off” artinya makin besar imbal hasil yang kita
harapkan, maka makin besar pula risiko yang harus kita tanggung. Sebaliknya,
makin besar risiko yang kita tanggung, maka seharusnya makin besar imbal hasil
yang kita minta. Dalam perspektif persaingan, proses menyeleksi debitur dan menetapkan
“harga”, berdasarkan profil risiko dan kontribusinya terhadap portofolio
pembiayaan bank Islam, haruslah menjadi isu penting. Buruknya proses seleksi
dapat mengakibatkan bank mengalami risiko salah pilih (adverse selection). Bank yang tidak mampu membedakan profil risiko
dari calon debitur dapat menolak debitur yang sesungguhnya baik, dan
sebaliknya, menerima debitur-debitur yang kualitasnya tidak bagus. Lebih jauh,
tanpa menggunakan strategi diferensiasi harga, memungkinkan terjadinya salah penetapan
harga. Debitur baik merasa diberikan “harga” terlalu tinggi dan dan membuat
mereka kabur. Sebaliknya, debitur jelek merasa diberikan harga yang rendah
sehingga mendorong mereka untuk tidak masuk. Kondisi ini, dalam jangka panjang,
akan menyebabkan portofolio bank diisi hanya oleh debitur jelek dengan tingkat
risiko tinggi. Berbeda halnya jika bank menerapkan manajemen risiko yang tepat
selama proses seleksi debitur dan dalam penetapan harga berdasarkan profil
risiko debitur. Dengan penerapan manajemen risiko, bank Islam akan dengan mudah
mengenali risiko, mengambil risiko tersebut, mentransformasinya menjadi peluang
bisnis, dan menjadi keunggulan kompetitif bank dalam bersaing di pasar.[4]
Dalam
aturan Basel dan PBI Nomor 13/23/PBI/2011, tingkat risiko yang dihadapi bank
Islam kemudian akan dikaitkan dengan kecukupan modal bank. Artinya bahwa
semakin berisiko operasi suatu bank, maka modal yang harus disetor dan
dicadangkan untuk mengantisipasi risiko ini menjadi makin besar pula. Efeknya,
makin besar cadangan dana yang diminta, makin besar porsi modal yang harus
dicadangkan dan makin kecil pula kemampuan bank dalam menyalurkan dananya.
Dalam jangka panjang, kondisi ini akan menjadikan kemampuan profitabilitas bank
menurun. Ujungnya adalah tergerusnya kemampuan bank bersaing di pasar. Bank
yang tidak mampu mengukur sendiri tingkat risikonya akan dikenakan tingkat
risiko standar yang ditetapkan oleh regulator. Dalam Basel II dan Basel III,
ini dikenal dengan istilah standardised
approach. Sebaliknya, jika bank mampu mendesain sendiri metode dan alat
pengukuran risiko yang dihadapinya, memungkinkan mereka dapat menghitung secara
lebih tepat, dan hasilnya adalah menurunnya jumlah modal yang harus
dicadangkan. Ini seharusnya menjadi insentif bagi bank Islam untuk segera
memiliki dan menerapkan sistem manajemen risiko, termasuk alat pengukurannya,
agar kemampuan bank dalam menyalurkan pembiayaan tidak lagi terkendala dengan
aturan penyediaan modal minimum.
Profil Risiko Pembiayaan Bank Syariah
Karakteristik Debitur
Berdasarkan
klasifikasi bentuk bisnisnya, debitur perbankan Islam dapat diklasifikasikan
menjadi tiga, yakni korporasi, UMKM, dan ritel. Dalam ketentuan LBUS (laporan
bank umum syariah) yang dikeluarkan oleh Bank Indonesia (Lampiran SE No.
5/31/DSM tertanggal 1 Desember 2003), debitur dikelompokkan menjadi dua, yakni
UKM dan Bukan UKM. Semua debitur yang tidak masuk dalam kelompok UKM,
dikelompokkan menjadi Bukan UKM, termasuk di dalamnya korporasi dan debitur
nonbisnis (konsumen ritel). Berdasarkan data statistik perbankan syariah,
komposisi debitur bank Islam didominasi oleh sector UKM. Komposisi ini
sebenarnya menunjukkan sisi positif bank Islam, yakni keberpihakannya kepada sektor
riil, terutama UKM. Bahkan saat ini, bank Indonesia sedang gencar-gencarnya
mengampanyekan peningkatan kontribusi perbankan dalam pembiayaan ke sektor UKM
melalui linkage program, seperti skema channeling, executing, atau joint financing. Mengingat bahwa (i)
mayoritas masyarakat Indonesia berada pada sektor ini, (ii) sector ini terbukti
mampu menciptakan lapangan kerja dan menyerap tenaga kerja, dan (iii)
memberikan kontribusi besar PDB.
Disisi
lain, pembiayaan ke sektor UKM terkendala oleh beberapa hal. Umumya, UKM belum
memiliki format laporan keuangan yang baku. Kalaupun ada, sering kali unaudited. Sehingga informasi keuangan
yang diberikan bersifat kurang dapat dipercaya (unreliable). Kondisi ini secara teori dikenal dengan information opacity. Selain information opacity, faktor lain yang
menjadikan UKM kurang diminati oleh perbankan adalah (i) usaha UKM masih baru,
(ii) tidak ada jaminan yang memadai, (iii) penguasaan teknologi yang rendah,
dan (iv) pendiri dan pengelola UKM belum memiliki pengalaman manajerial
mengelola bisnis (track record) yang
memadai. Adanya information opacity, menyebabkan bank enggan untuk menyalurkan
dananya ke UKM. Kalaupun bersedia, bank akan meminta imbal hasil yang lebih
tinggi sebagai kompensasi potensi meningkatnya jumlah kredit bermasalah sebagai
akibat kesalahan memilih debitur (adverse
selection). Untuk meminimalisasi risiko ini, bank seharusnya menggunakan
alat seleksi yang efektif untuk membedakan mana debitur yang akan menjadi gagal
bayar atau lancar setelah bank menyetujui permohonan pembiayaannya.
Information opacity dari
UKM bukan hanya menjadi masalah bagi bank pada waktu seleksi, namun juga
terjadi selama periode pembiayaan berjalan. Ditambah lagi, nilai pembiayaan
yang diberikan ke UKM umumnya adalah kecil-kecil, namun jumlahnya sangat
banyak. Kondisi ini disebut dengan granularity
dan menyebabkan biaya pengawasan yang sangat besar bagi bank. Pada akhirnya,
hal ini dapat menurunkan efisiensi operasionalitas bank itu sendiri. Oleh
karena itu, bank yang melayani sektor UKM dipaksa untuk memiliki alat
pengawasan yang efektif dan efisien.
Meskipun
demikian, bank Islam tetap berkomitmen untuk mengembangkan sektor riil. Hal ini
dapat ditunjukkan dengan porsi pembiayaan termasuk UKM yang konsisten pada
level 70% dari portofolio pembiayaan yang diberikan. Bukan rahasia lagi bahwa
sektor UKM merupakan sektor dengan imbal hasil yang sangat tinggi, lebih tinggi
dibandingkan korporasi. Al ghunmu bil
ghurmi. High risk high return. Itulah sunnatullah,
jika ingin imbal hasil yang tinggi, maka bersiaplah menanggung risiko yang
tinggi pula. Jika bank Islam mampu mengelola segmen ini dengan baik, bukan
tidak tidak mungkin predikat bank dengan pembiayaan mikro (micro financing) terbaik dapat diambil alih dari BRI. Untuk itu,
selain infrastruktur untuk mampu menjamah sektor UKM ini, di mana lazimnya ada
di daerah urban, sistem manajemen risiko bank Islam perlu disiapkan untuk
meminimalisasi risiko salah pilih (adverce
selection) dan menekan biaya pengawasan yang diperlukan.[5]
Karakteristik
Akad Pembiayaan
Dalam menyalurkan dananya, bank konvensional
menggunakan skema kredit. Melalui skema ini, bank dapat meminta imbal hasil
yang bersifat pasti kepada debitur dalam bentuk bunga. Sayangnya skema kredit
ini tidak dapat diaplikasikan sebagai sumber pendapatan di dalam operasi bank
Islam.
Dalam syariah Islam, tidak diperkenankan
adanya tambahan manfaat atau keuntungan yang dipersyaratkan dalam pengembalian
utang. Pada hakikatnya, skema kredit dalam bank konvensional adalah bentuk utang,
di mana bunga merupakan bentuk riba yang terlarang. Dalam Islam, utang
terhitung senilai jumlah nominal yang diterima dan wajib dikembalikan sesuai
nilai nominal tersebut. Dengan prinsip ini, tidak ada potensi untuk menggunakan
pendekatan indeksisasi atau lebih dikenal dengan proses pendiskontoan nilai
uang dalam bab utang-piutang. Lebih jauh, bank Islam memiliki cakupan akad
pembiayaan yang jauh lebih luas daripada bank konvensional, seperti qardhul hasan, jual beli murabahah, jual beli salam, jual beli muajjal (bi tsaman ajil), ijarah, mudharabah, musyarakah, musaqat,
dan muzara’ah. Secara umum, semua
akad pembiayaan ini dapat dikelompokkan menjadi dua, yakni akad berbasis utang
dan akad berbasis ekuitas. Termasuk kelompok akad berbasis utang adalah qardhul hasan, jual beli murabahah, jual beli salam, jual beli muajjal (bi tsaman ajil), dan ijarah.
Berdasarkan asal terbentuknya utang,
akad berbasis utang ini dapat dibagi lagi menjadi dua, yakni utang murni (yakni
qardhul hasan) dan utang yang muncul
dari jual beli (seperti jual beli murabahah,
jual beli salam, jual beli muajjal (bi tsaman ajil) dan ijarah).
Bentuk jual beli yang memungkinkan terjadinya
utang di dalamnya adalah jual beli salam dan
jual beli muajjal. Jual beli salam terjadi di mana pembeli telah
menyerahkan uangnya secara tunai pada waktu akad dan penjual menunda penyerahan
barangnya. Dalam kasus ini, penjual-lah yang bertindak sebagai orang yang
berutang. Dalam kajian kitab fikih klasik, jual beli salam biasanya ditemukan dalam kasus jual beli hasil pertanian. Namun,
secara umum, setiap bentuk jual beli yang memiliki sifat ini (yakni pembeli
menyerahkan pembayaran penuh dimuka dan penjual menunda penyerahan barang di
waktu kemudian yang ditentukan) dapat dikelompokkan menjadi jual beli salam, meskipun objeknya bukan hasil
pertanian, seperti istishna. Namun
dalam praktik perbankan Islam di Indonesia,
istishna’ menggunakan bentuk jual beli muajjal.
Dalam jual beli muajjal, penjual
menyerahkan objek jual belinya pada saat akad dan pembeli menunda
pembayarannya. Berbeda dengan akad ijarah,
pembayaran sewa dapat dilakukan di awal akad, ketika sewa dan setelah sewa
berakhir. Memungkinkan bagi seorang penyewa rumah kontrakan membayar penuh
biaya sewa selama setahun di awal akad. Penyewa melakukan pembayaran harga
secara salaf atau salam (advance payment). Dengan pembayaran
ini, penyewa memiliki hak klaim atas kemanfaatan (menempati rumah) sebagaimana
dalam kontrak. Jika rumah tersebut menjadi rusak, bukan karena faktor penyewa,
dan menjadikannya tidak dapat dinikmati manfaat penggunaan rumah oleh penyewa,
maka pihak yang menyewakan berkewajiban memperbaiki rumah tersebut atau
mengganti dengan rumah lain yang memiliki nilai kemanfaatan yang sama. Artinya,
pihak yang menyewakan berutang kepada penyewa atas penyediaan manfaat
penggunaan rumah sebagaimana yang telah disepakati. Sebaliknya, jual beli muajjal terjadi jika penjual telah
menyerahkan objek jual belinya pada saat akad dan pembeli menunda
pembayarannya. Dalam kasus kontrak rumah sebelumnya (akad ijarah), penyewa dapat pula menunda pembayaran sewanya (muajjal) setelah dia menempati atau
memanfaatkan rumah tersebut. Termasuk dalam kelompok jual beli dengan cara muajjal adalah praktik jual beli murabahah pada perbankan Islam di
Indonesia.
Kelompok akad pembiayaan yang kedua adalah
akad pembiayaan berbasis ekuitas (syirkah).
Bank Islam melakukan penyertaan modal kepada bisnis yang dijalankan oleh
debitur. Jika modal ditanggung 100% oleh bank Islam, maka syirkah ini disebut sebagai mudharabah.
Namun, jika debitur juga berpartisipasi dalam modal, maka disebut musyarakah.
Kelompok akad berikutnya adalah pembiayaan
berbasis jual beli, seperti jual beli murabahah,
jual beli salam, dan jual beli muajjal (bi tsaman ajil), serta ijarah. Meskipun berujung pada bentuk
utang, namun memungkinkan bagi bank Islam untuk mengambil untung atau margin.
Harga yang terbentuk dari berbagai akad ini terdiri dari atas harga pokok
ditambah dengan margin keuntungan atau dapat dituliskan sebagai berikut.
|
Berbeda dengan kelompok akad berbasis pertukaran (jual beli
dan ijarah), realisasi bagi hasil
pada akad-akad syirkah, yakni nudharabah dan musyarakah, sangat fleksibel mengikuti dinamika pasar. Ketika pasar
sedang baik dan bertumbuh, maka bank akan memperoleh imbal hasil lebih besar,
dan demikian pula dengan nasabah. Sebaliknya, ketika kondisi bisnis sedang lesu
dan stagnan, bahkan negatif, bank akan mentransfer risiko tersebut kepada
nasabah. Sekilas, akad ini sangat menguntungkan bagi bank. Namun jika terlena
dalam kondisi teoritis ini, di kemudian hari, bank akan ditinggalkan nasabahnya
dan berpindah ke bank lain yang memberikan tingkat imbal hasil yang lebih baik.
Dengan logika ini, sangat wajar jika sampai saat ini, struktur portofolio
pembiayaan bank Islam di Indonesia masih didominasi akad berbasis jual beli, yakni
murabahah. Sebabnya adalah murabahah menjamin tingkat pengembalian
yang lebih pasti melalui margin yang ditetapkan di awal.
Definisi Risiko Pembiayaan dan
Cakupannya
Risiko pembiayaan sering kali dikaitkan dengan risiko gagal
bayar. Risiko ini mengacu pada potensi kerugian yang dihadapi bank ketika
pembiayaan yang diberikannya macet. Debitur mengalami kondisi di mana dia tidak
mampu memenuhi kewajiban mengembalikan modal yang diberikan oleh bank. Selain
pengembalian modal, risiko ini juga mencakup ketidakmampuan debitur menyerahkan
porsi keuntungan yang seharusnya diperoleh dari bank dan telah diperjanjikan di
awal. Konsekuensi penggunaan definisi ini adalah risiko pembiayaan hanya
berlaku untuk akad berbasis utang, yakni qardhul
hasan, jual beli muajjal, dan
jual beli salam. Debitur yang
melakukan pembiayaan menggunakan skema akad-akad ini, diwajibkan untuk membayar
kembali kepada bank sesuai dengan termin yang yang telah diperjanjikan.
Kegagalan debitur melunasi kewajibannya dianggap sebagai kondisi gagal bayar,
gagal dalam membayar cicilan pokok maupun porsi keuntungan (khusus akad jual
beli).
Sedangkan akad berbasis syirkah,
yakni mudharabah dan musyarakah,
tidak dapat dimasukkan ke dalam kategori risiko ini. Debitur, dalam kedua akad
ini, tidak diwajibkan untuk mengembalikan modal yang diberikan oleh bank.
Apalagi keharusan menyetorkan porsi keuntungan dari hasil usaha berdasarkan nisbah yang disepakati bersama.
Realisasi bagi hasil, dan pengembalian modal, secara mutlak bergantung pada
realisasi hasil bisnis debitur. Jika debitur memperoleh keuntungan, maka bank
berhak atas keuntungan dan kembalinya modal sebesar 100%. Ketika debitur
mengalami kegagalan bisnis, maka tidak ada lagi utang, sebaliknya, yang ada
adalah bagi rugi yang harus ditanggung oleh bank. Jika keuntungan saja tidak
bisa diperoleh, maka kembalinya modal pun tidak bisa dijamin. Bank Indonesia,
melalui PBI Nomor 13/23/PBI/2011, cenderung memilih untuk memasukkan risiko
pembiayaan pada akad mudhrabah dan musyarakah pada kelompok risiko investasi.
Selain risiko gagal bayar, risiko pembiayaan kadang merujuk
pada risiko kredit. Istilah inilah yang digunakan oleh Bank Indonesia dalam PBI
Nomor 13/23/PBI/2011. Sebenarnya istilah risiko kredit lebih cocok digunakan
untuk perbankan konvensional. Mengingat skema pembiayaan mereka yang
menggunakan konsep kredit. Bank memberikan sejumlah dana kepada debitur dan
kemudian meminta pengembalian disertai sejumlah keuntungan yang diperjanjikan.
Melihat skema ini, istilah kredit bisa juga digunakan untuk pembiayaan di bank
Islam, yakni untuk akad qardhul hasan,
jual beli muajjal, dan jual beli salam, sedangkan untuk pembiayaan mudharabah dan musyarakah, tidak cocok menggunakan istilah kredit. Lebih jauh,
mengingat bahwa bank Islam seharusnya lebih dominan dalam akad berbasis syirkah, di samping jugan untuk
membedakan dengan bank konvensional, maka sebagian kalangan mengkritik
penggunaan istilah risiko kredit untuk bank Islam.
Dari kedua istilah di atas, risiko pembiayaan ini muncul
akibat kegagalan debitur menyelesaikan kewajibannya. Karena muncul dari sisi
debitur, risiko ini disebut jugan counter
party risk. Apa pun istilah yang digunakan, dalam memahami konsep risiko
pembiayaan pada bank Islam, perlu dipahami proses bisnis dari skema pembiayaan
bank Islam itu sendiri. Dengan memahami proses bisnis, selain mendefinisikan
secara lebih komprehensif, kita juga akan mampu mengidentifikasi titik-titik
risiko pada setiap tahapan proses dan sekaligus faktor pemicu terjadinya risiko
tersebut. Akhirnya dapat diharapkan bahwa pembangunan sistem mitigasi risiko
menjadi lebih terarah, tersistematis dan bersifat holistik.
Risiko pembiayaan yang dihadapi oleh bank Islam dapat
ditemui pada waktu (i) melakukan penilaian (assessment)
atas proposal pembiayaan yang diajukan debitur, (ii) memutuskan menerima atau
menolak proposal tersebut, (iii) menetapkan kontrak pembiayaan terkait jenis
akad yang digunakan, limit (pagu) pembiayaan, harga, tenor, dan jaminan, (iv)
periode penyelesaian kontrak, dan (v) pada waktu terminasi kontrak. Semua
periode ini membutuhkan serangkaian kebijakan manajemen risiko dan mekanisme
mitigasinya agar berbagai risiko yang dihadapi dapat dikendalikan. Karena
muncul selama periode penyelesaian kontrak, risiko pembiayaan disebut juga
dengan istilah risiko penyelesaian (settlement
risk).[6]
Peranan Rahn dan Khafalah
Dalam Islam, akad penangguhan (utang) sangat dianjurkan
untuk dicatat dan dihadirkan saksi atasnya (QS. Al Baqarah: 282). Dokumentasi
dan saksi ini diperlukan sebagai pengingat di kemudian hari, terlebih jika
terjadi sengketa antara peminjam dan yang dipinjami. Ketiadaan kedua sarana
tersebut dapat menimbulkan kemudaratan dan Islam datang untuk mencegah
terjadinya kemudaratan. Dalam kaidah fikih dinyatakan “la dharar wa la dhirar”, artinya jangan memudaratkan dan jangan
pula dimudaratkan. Kemudaratan ini dapat menimpa pelaku (subjek) akad maupun
objek akad. Lebih jauh lagi, dalam rangka menghindarkan pihak yang meminjami
dari kemudaratan, yakni tidak kembalinya uang yang dipinjamkan, bank
diperbolehkan meminta agunan (rahn)
dan jaminan (kafalah) kepada debitur.
Agunan (rahn)
merujuk pada harta yang dijaminkan oleh debitur. Sedangkan jaminan (kafalah), merujuk pada jaminan yang
diberikan pihak ketiga bahwa pihak ketiga tersebut akan menanggung pelunasan
utang dari debitur jika debitur gagal bayar, karena sebab pailit (ability to pay) atau kabur (willingness to pay). Dalam kondisi ini, penjamin (kaafil) memiliki kedudukan yang sama
dengan debitur pada waktu pelunasan. Artinya bahwa jika debitur gagal bayar,
maka bank berhak menuntut pelunasan utang ke penjamin. Jika keduanya enggan
untuk membayar, maka bank berhak mengajukan keduanya ke hakim (qadhi) untuk dimintai
pertanggungjawaban, seperti disita hartanya dan kemudian dilelang atau dihukum
penjara sebagai bentuk pelajaran.[7]
Faktor Penentu Risiko Pembiayaan
Akad Qardhul Hasan
Qardhul hasan termasuk kategori akad
tolong-menolong murni (li tabarru’).
Bank Islam tidak diperbolehkan sama sekali untuk mengambil keuntungan dalam
bentuk dan alasan apa pun. Dalam konteks
manajemen risiko, langkah terbaik yang bisa dilakukan oleh bank hanyalah
mencegah risiko tidak kembalinya modal yang dipinjamkan. Modal yang dipinjamkan
dapat berupa uang atau barang. Pemberian pinjaman dalam bentuk uang menciptakan
risiko turunnya nilai uang di kemudian hari. Perbedaan nilai intrinsik atau
daya beli uang menjadi sebab bank konvensional membebankan biaya bunga untuk
menutupi risiko penurunan nilai uang tersebut. Penyebab utamanya adalah tingkat
inflasi yang bernilai positif. Meskipun kenyataannya, suku bunga nominal juga
menjadi kontributor bagi tingkat inflasi itu sendiri. Artinya bahwa terdapat
hubungan timbal balik antara tingkat bunga dan inflasi.
Akad Jual Beli Muajjal
Dalam jual beli muajjal,
bank selaku penjual diharuskan telah memiliki barang atau objek jual beli pada
waktu kontrak. Dalam praktiknya, memungkinkan terjadinya selisih waktu kontrak
dan pengiriman barang karena alasan teknis. Sedangkan debitur sebagai pembeli
menunda pembayaran sebagian atau keseluruhan harga yang telah disepakati secara
cicilan maupun pembayaran sekaligus (lump
sum). Sekali harga ditetapkan, maka sejumlah itulah yang harus dibayar dan
menjadi utang bagi debitur. Tidak boleh ada perubahan harga setelah itu. Bahkan
jika bank meminta pelunasan lebih awal (sebelum jatuh tempo), maka bank
dilarang melakukan pemotongan jumlah utang (diskon atau remitting).
Dalam jual beli muajjal,
memungkinkan bagi penjual untuk menyampaikan harga beli barang (jual beli bil amanah) ataupun tidak (jual beli al musawamah). Harga perolehan yang
disampaikan dapat meliputi harga beli, biaya transportasi, biaya perawatan,
biaya penyimpanan, biaya perbaikan, beban pajak, dan semua yang terkait pada
barang tersebut. Penyampaian informasi ini sebaiknya dikuatkan dengan bukti
autentik, seperti kuitansi atau selainnya.
Akad Jual Beli Salam
Pada asalnya, jual beli salam
digunakan untuk produk hasil pertanian, seperti kurma, anggur, gandum, beras,
jagung, kedelai, dan sebagainya. Akad jual beli salam mengharuskan bank mengeluarkan modal di awal waktu. Bedanya
dengan jual beli muajjal adalah bank
menyerahkan modal tersebut dalam bentuk uang tunai dan penyelesaian kontrak
berupa penyerahan barang atau hasil pertanian oleh debitur. Dalam akad jual
beli salam, bank bertindak sebagai
pembeli dan debitur sebagai penjual. Debitur tidak dipersyaratkan untuk
memiliki lahan pertanian.
Masing-masing alternatif memberikan konsekuensi risiko yang
berbeda. Normalnya, modal yang diterima dari bank akan digunakan debitur untuk
menanam dan mengolah ladangnya. Ketika terjadi gagal panen, debitur tentu akan
mencari solusi pemenuhan kontrak dengan membeli beras ke pasar, itupun dengan
asumsi bahwa debitur masih memiliki cukup dana. Jika tidak, debitur akan
mengalami gagal bayar berupa ketidakmampuan menyerahkan beras ke bank. Untuk
mengurangi risiko ini, bank dapat meminta agunan dan jaminan pihak ketiga. Jika
dalam bentuk uang, bank hanya berhak menerima uang sebesar yang diberikannya
kepada debitur, atau alternatifnya memaksa debitur menyerahkan beras sesuai
kontrak.
Akad Istishna’
Dalam kitab-kitab fikih, istishna’
sering kali ditemukan pada bab jual beli
salam. Transaksi jual beli terjadi sebelum barang diproduksi atau dibangun.
Harga dan spesifikasi barang harus sudah disepakati ketika kontrak dan tidak
berubah setelahnya. Ini berbeda dengan bentuk murabahah purchase order (MPO), di mana pada waktu pesan tidak
boleh ada kesepakatan harga. Dan karena merupakan akad jual beli, hanya bentuk salam atau salaf yang mungkin diterapkan pada istishna’. Hal ini mengingat bahwa barang belum tersedia pada waktu
kontrak. Inilah pendapat jumhur ulama, seperti Imam Malik, Shafi’e, Ahmad, Zufar
(Hanafi) dan lainnya, mereka memasukkan istishna’
dalam bab salam. Pembeli harus
membayar penuh harga pada waktu akad jual beli (Az Zuhaily (2003), hlm.
271-272). Bila pengklasifikasian ini digunakan, konsekuensinya adalah istishna’ harus diperlakukan sebagaimana
jual beli salam. Pembeli harus
menyerahkan pembayaran penuh di awal waktu. Perbedaan kedua akad ini (jual beli
salam dan istishna’) hanyalah pada objek jual belinya. Jika salam diperuntukkan untuk hasil
pertanian, istishna’ digunakan pada
barang hasil kontruksi atau produksi, seperti pakaian, rumah, mobil, gedung,
dan sebagainya.
Dalam praktiknya, tidak satupun bank Islam di Indonesia yang
menerapkan istishna’ secara murni.
Kendala utamanya adalah debitur sebagai pembeli barang tidak memiliki cukup
uang untuk membayar harganya secara tunai. Cara paling tepat untuk
“menjelaskan” praktik istishna’ dengan
bentuk muajjal seperti pada perbankan
Islam di Indonesia hanyalah mengikuti definisi istishna’ dan mazhab Hanafi. Mereka menganggap bahwa dalam “istishna” pada hakikatnya terdapat dua
akad, yakni jual beli barang dan ijarah.
Dengan melakukan analogi dan ihtihsan,
mereka menyatakan bahwa istishna’ melibatkan
juga jasa tenaga, usaha dan komitmen penjual. Hal ini membuat kontrak istishna’ menjadi mirip dengan “sewa”,
di mana memungkinkan untuk menunda pembayaran pada kontrak sewa tanpa dianggap
sebagai bentuk jual beli utang dengan utang.
Akad Ijarah
Ijarah merupakan bentuk pertukaran di mana objeknya adalah
jasa. Cakupan akad ini sangat luas, seperti jasa penitipan (sepeda motor,
mobil, uang, dan saving box), jasa
penyewaan (sewa rumah, sewa mobil, dan sewa mesin), jasa transportasi (amgkot,
bus, kereta api, pesawat terbang, dan ojek), dan karyawan bekerja pada
perusahaan. Bahkan wakalah bil ujrah
pun termasuk dalam ijarah. Bank Islam
menggunakan ijarah dalam beberapa
bentuk. Berdasarkan penyerahan jasa (kemanfaatan) dan uang, ijarah yang digunakan oleh bank adalah
berbentuk muajjal, di mana bank
menyediakan jasa atau persewaan terlebih dahulu dan debitur membayarnya secara
tertunda.[8]
Urgensi Lembaga Pemeringkat
Independen
Berdasarkan amanat dari Basel II dan
disempurnakan dalam Basel III, bank diminta untuk memenuhi kebutuhan minimum
modal yang harus dicadangkan dalam rangka menjaga kesehatan bank. Besarnya
jumlah modal yang dicadangkan berbanding lurus dengan tingkat risiko yang
dihadapi oleh bank. Di antaranya adalah risiko pembiayaan. Makin berisiko
portofolio pembiayaan bank Islam, maka perlu cadangan modal yang besar pula.
Kebijakan ini juga diadopsi oleh IFSB dan BI (PBI Nomor 5/9/PBI/3003).
Dalam menentukan tingkat risiko pembiayaan
yang dihadapi, bank Islam sebenarnya diberikan keleluasan untuk membangun
sistem pengukuran sendiri. Bahkan dalam Basel II, dorongan ini dikaitkan dengan
insentif turunnya tambahan modal yang dipersyaratkan (dalam konteks perbankan
Indonesia adalah ketentuan CAR=capital
adequacy ratio). Mengapa? Jika bank belum mampu membangun sistem pengukuran
internal, maka harus mengikuti model pengukuran general yang ditetapkan oleh
regulator. Tentu saja model ini akan mengakomodasi bank berkategori baik dan
kurang baik. Sehingga penggunaan model umum ini pada bank yang baik akan
menjadikannya terkena beban modal minimum yang lebih besar daripada seharusnya.
Begitu pula sebaliknya bagi bank yang kurang sehat. Sebagai bentuk implementasi
kebijakan pengawasan regulator, model-model pengukuran internal yang dibangun
oleh masing-masing bank perlu mendapatkan validasi dari regulator.
Salah satu komponen sistem
pengukuran rasio pembiayaan adalah peringkat debitur. Melalui sistem
pemeringkat, bank Islam akan mampu menerjemahkan berbagai kondisi yang dihadapi
oleh debitur, internal maupun eksternal, yang akan memengaruhi kemampuan dan
kemauan membayar ke dalam suatu ukuran yang objektif dan dapat diperbandingkan.
Berbagai informasi dapat diekstrak dari peringkat debitur. Dengan peringkat
ini, bank dapat menetapkan berbagai kebijakan terkait diterima atau ditolaknya
proposal pembiayaan dan dalam menentukan termin kontrak pembiayaan yang diberikan,
seperti limit pembiayaan, jangka waktu, jenis akad, margin, agunan, dan jaminan
yang diminta. Dalam proses pengawasan, bank dapat menggunakan peringkat debitur
sebagai indikator risiko. Contoh sederhana, bila debitur mengalami kenaikan
peringkat maka dapat diasosiasikan dengan kenaikan kualitas debitur. Telah
terjadi kenaikan fundamental dari debitur yang akan meningkatkan kemampuan
membayar dia di waktu mendatang. Sebaliknya jika terjadi penurunan peringkat.
Bank perlu waspada dan hati-hati untuk segera berusaha meningkatkan mekanisme
pengawasan dan membantu debitur, melalui pendampingan atau pembinaan, agar
segera kembali ke rating asalnya.
Namun demikian, fluktuasi perubahan peringkat debitur juga menjadi sinyal
negatif bagi buruknya sistem pengawasan bank. Bank belum mampu mendeteksi
secara sempurna kualitas debitur yang sesungguhnya.[9]
Provisi Risiko Pembiayaan
Kebijakan provisi digunakan untuk
mengakui adanya potensi kerugian pembiayaan yang muncul. Provisi ini lazimnya
dibentuk pada dua kondisi, yakni pada waktu pembiayaan dikategorikan sebagai
tidak lancar (non-performing) dan
diprediksi gagal bayar. Dalam portofolio pembiayaan, sering kali ditemukan
adanya debitur yang secara statistik dikatakan akan mengalami gagal bayar,
meskipun saat ini masih terkategori lancar. Banyak debitur yang merasa malu
jika dikatakan gagal bayar. Berbagai cara dilakukan agar tetap bisa membayar
cicilan, seperti meminjam dari pihak ketiga, melikuidasi asetnya, dan sebagainya.
Hal ini berarti bahwa sering kali
tidak ada relevansi antara kemampuan debitur membayar saat ini dan kemampuan
dia di kemudian hari. Oleh karena itu, dasar pengelompokan kualitas pembiayaan
seharusnya tidak hanya melihat tingkat kolektibilitas debitur saat ini, namun
juga didasarkan atas berbagai faktor yang memengaruhi kemampuan membayar (ability to pay) sesungguhnya dari
debitur. Berbagai faktor tersebut adalah faktor demografi debitur (seperti
usia, tingkat pendidikan dan pengalaman bisnis), faktor keberlangsungan bisnis
(seperti profitabilitas, likuiditas, solvabilitas, pertumbuhan, struktur biaya,
efisiensi dan perputaran usaha), faktor industri dan makro-ekonomi (seperti
tingkat persaingan usaha, struktur pasar, ketersediaan pasokan dan saluran distribusi,
inflasi, tingkat pengangguran, pendapatan per kapita, siklus bisnis dan
ekonomi, pendapatan nasional, pertumbuhan penduduk dan struktur piramida
penduduk), kestabilan politik, dan kepastian hukum. Bahkan termasuk juga
pergerakan perekonomian global yang juga berpengaruh, seperti fluktuasi harga
minyak dunia, perang antarnegara, terorisme, dan sebagainya.
Dalam akuntansi, provisi ini dikenal dengan
akun cadangan penyisihan piutang tak tertagih dan beban penghapusan piutang tak
tertagih (bad debt expense). Dalam
konteks perbankan Islam di Indonesia, provisi diistilahkan sebagai penyisihan
penghapusan asset produktif (PPAP). PPAP merupakan cadangan (modal) yang harus
dibentuk berdasarkan penggolongan kualitas pembiayaan.
Fungsi utama pembentukan PPAP ini
adalah untuk menghindarkan bank dari potensi kegagalan bisnis jika debitur
benar-benar gagal bayar. Sebelum debitur gagal bayar, bank telah menyiapkan
sejumlah modal yang dicadangkan untuk menghindari risiko yang lebih besar. Jika
kecukupan modal yang dicadangkan kurang, ketika ada debitur dengan nilai
pembiayaan sangat besar mengalami gagal bayar, bank akan mengalami masalah
likuiditas. Terlebih jika pada waktu yang sama, secara kebetulan, nasabah juga
melakukan penarikan dananya dari bank. Kondisi ini akan memaksa bank mengambil
pilihan untuk (i) meminjam ke pihak ketiga, (ii) meminta fasilitas likuiditas
jangka pendek ke BI, (iii) mengoptimalkan pasar uang antarbank syariah (PUAS),
(iv) meminta tambahan modal dari investor, atau (v) menjual surat berharga yang
dimiliki. Dalam kondisi terjepit seperti ini, bank akan cenderung menerima
konsekuensi besarnya biaya modal tambahan, yakni tingginya nisbah atau besarnya
diskon yang diminta. Apalagi jika investor tidak mampu menyediakan tambahan
modal, maka meminta tambahan likuiditas di pasar hanya akan menambah daftar
masalah bagi bank.
Salah satu bentuk implementasi
mitigasi risiko terkait PPAP, bank seharusnya mendistribusikan pembiayaan
lancar (yakni kelompok lancar dan dalam perhatian khusus) dan tidak lancar
(yakni kelompok kurang lancar, diragukan, dan macet) ke divisi yang berbeda.
Strategi ini perlu dilakukan mengingat kedua kelompok pembiayaan ini memiliki
implikasi yang berbeda. Pembiayaan lancar berasosiasi dengan ekspektasi imbal
hasil yang bisa diperoleh. Sedangkan pembiayaan tidak lancar terkait dengan
biaya yang mesti ditanggung. Selanjutnya adalah meyakinkan bahwa PPAP ini telah
dimasukkan dalam komponen beban dalam laporan rugi laba bank.
Limit Pembiayaan Berdasarkan Risiko
Salah satu manfaat adanya sistem pemeringkat
debitur adalah tersedianya alat mitigasi risiko pembiayaan yang andal. Dalam
rangka menyeimbangkan tingkat risiko yang diambil (risk appetite) di antara debitur, dan sekaligus sebagai alat
diversifikasi portofolio pembiayaan, sistem limit (pagu) pembiayaan dapat
digunakan untuk membentuk portofolio dengan jumlah (number) pembiayaan yang besar dengan ekspektasi kerugian (expected loss) yang hampir sama. Di mana
ekspektasi kerugian dapat dihitung sebagai perkalian antara probabilitas gagal
bayar dan nilai pembiayaan setelah dikurangi agunan dan jaminan (yakni
pengembalian yang bisa diharapkan). Hal ini berarti bahwa limit (pagu)
pembiayaan untuk individu debitur harus ditetapkan pada tingkat yang berbanding
terbalik terhadap probabilitas gagal bayar debitur. Selanjutnya, bank Islam
dapat melakukan improvisasi dengan mengkaitkan strategi pemberian limit lebih
besar pada debitur dengan peringkat lebih tinggi dan jatuh tempo (tenor)
pembiayaan yang lebih rendah. Sistem limitasi ini juga perlu diterapkan pada
lingkup yang luas, misalkan batas maksimal pembiayaan (size) yang bisa diberikan pada jenis akad pembiayaan tertentu,
sektor ekonomi, atau wilayah geografis. Tujuannya adalah menghindarkan bank
dari risiko konsentrasi yang mengarah kepada risiko gagal bayar bersama. Risiko
ini lebih dikenal dengan risiko sistemastis atau sistemis.[10]
Risiko Konsentrasi Portofolio
Pembiayaan
Dalam teori portofolio modern yang
dikembangkan oleh Markowitz (1958), strategi diversifikasi digunakan untuk meminimalkan
risiko portofolio. Namun, pada saat yang sama, strategi diversifikasi juga akan
mereduksi potensi keuntungan maksimal yang bisa diperoleh. Benarlah konsep “high risk high return” atau “al ghunmu bil ghurmi”. Implementasi
strategi diversifikasi dalam konteks pembiayaan di bank Islam adalah penerapan
kebijakan sistem limit (pagu) pembiayaan, meliputi (i) limit nilai pembiayaan
individu debitur untuk mengontrol ukuran eksposur portofolio pembiayaan, (ii)
limit jangka waktu (tenor) pembiayaan dari individu debitur, (iii) limit nilai
pembiayaan terkait kategori peringkat (rating)
debitur, (iv) limit konsentrasi industri dan geografis untuk menghindari risiko
terjadinya gagal bayar sistemis.
Untuk mengelola risiko portofolio
pembiayaan, dengan menciptakan portofolio terdiversifikasi, dibutuhkan suatu
ukuran tunggal yang mencerminkan nilai pembiayaan, jatuh tempo, kualitas
pembiayaan dan risiko sistemis secara bersamaan. Jika portofolio kurang
terdiversifikasi, maka sebaran distribusi potensi kerugian akan makin melebar
dan makin tinggi pula kebutuhan modal yang harus dicadangkan. Demikian pulan
sebaliknya, makin terdiversifikasi portofolio pembiayaan, makin rendah pula
cadangan modal yang dibutuhkan. Oleh karena itu, ukuran ini, yakni distribusi
potensi kerugian, dapat digunakan untuk mengelola eksposur dari portofolio
pembiayaan bank.
Berangkat dari logika ini,
kontribusi risiko suatu eksposur pada portofolio pembiayaan dapat didefinisikan sebagai pertambahan efek
pemilihan tingkat persentil dari distribusi kerugian ketika eksposur tersebut
dihilangkan dari portofolio saat ini. Jika tingkat persentil yang dipilih
adalah sama dengan yang digunakan untuk menghitung kebutuhan modal minimum yang
harus dicadangkan, kontribusi risiko ini merupakan pertambahan jumlah kebutuhan
modal minimum yang dipersyaratkan untuk portofolio tersebut. Kontribusi risiko
ini memiliki beberapa sifat, yaitu:
a.
Total
kontribusi risiko setiap individu debitur adalah sama dengan risiko keseluruhan
portofolio;
b.
Kontribusi
risiko memberikan pengaruh perubahan pada portofolio yang diukur, seperti
mengeluarkan atau menambahkan suatu eksposur;
c.
Secara
umum, portofolio pembiayaan dapat secara efektif dikelola dengan fokus pada
beberapa debitur yang memiliki proporsi risiko yang signifikan namun nilainya
relatif kecil pada eksposur portofolio pembiayaan.
Pengelolaan Portofolio Pembiayaan
Pengelolaan risiko portofolio
pembiayaan merupakan fungsi turunan dari filosofi manajemen risiko yang
dibangun oleh manajemen puncak. Bagaimana investor dan direksi memandang risiko
dan mentransformasikannya ke dalam visi, misi, dan nilai yang harus dipegang
sangat menentukan area risiko mana yang akan menjadi fokus pengelolaan.
Mengingat bisnis bank adalah menyalurkan pembiayaan ke masyarakat, maka sudah
sewajarnya bila bank dituntut memiliki sistem manajemen risiko pembiayaan yang
memadai.
Portofolio pembiayaan bank Islam
terdiri atas berbagai akad pembiayaan yang memiliki karakteristik dan proses
bisnis yang berbeda-beda. Perbedaan ini menyebabkan faktor penentu risiko dan
titik waktu di mana risiko tersebut mungkin akan terjadi juga berbeda. Meskipun
demikian, divisi pembiayaan seharusnya lebih dulu melihat pada sudut pandang
total portofolio. Profil portofolio, yakni tingkat imbal hasil, tingkat risiko
serta pola arus kas yang diharapkan, perlu didefinisikan terlebih dahulu.
Profil yang diharapkan inilah yang akan menjadi penunjuk arah (guidance) dalam membentuk portofolio.
Kemudian, dengan melihat profil dan perilaku masing-masing akad, terkait imbal
hasil, risiko, dan pola arus kasnya, dilakukan distribusi atau alokasi
pendanaan untuk mendapatkan profil portofolio yang diinginkan. Kecerdasan,
kearifan, dan kejelian sumber daya manusia pada divisi pembiayaan sangat
dibutuhkan pada tahapan ini. Mengapa? Karena tahapan ini akan menentukan
berbagai kebijakan pembiayaan, seperti limit per akad pembiayaan, besar dan
periode cicilan untuk memenuhi profil pola arus kas, tingkat risiko per akad
dibolehkan, dan tentunya tingkat margin atau imbal hasil yang bisa diharapkan
dari berbagai kendala yang ada.
Dalam mengelola portofolio
pembiayaannya, bank Islam seharusnya menghindari kemungkinan terjadinya efek pensiun.
Efek pensiun ini muncul ketika pengembalian dana dari debitur, melalui cicilan
atau pelunasan, tidak disertai kemampuan menyalurkan kembali dana tersebut ke
masyarakat. Akibatnya, dana tersebut terpaksa menganggur di bank dan tidak
menghasilkan imbal hasil apa pun. Sinkronisasi strategi dan sinergi antardivisi
pembiayaan dan divisi pemasaran menjadi krusial. Keahlian divisi pemasaran mencarikan
calon debitur dengan profil dan kebutuhan dana seperti debitur yang akan jatuh
tempo sangat dibutuhkan oleh divisi pembiayaan untuk menjaga keseimbangan
portofolionya. Konsekuensinya, keberhasilan divisi pembayaran tidak boleh
diklaim secara sepihak, namun merupakan hasil hasil kerja bersama dengan visi
lainnya, yakni pemasaran.
Berbeda dengan proses pembentukan
portofolio pembiayaan, dalam menjalankan mekanisme monitoring, bank Islam harus berangkat dari unit analisis individu
debitur. Kemudian dilihat efeknya pada sub-subkluster di mana debitur itu
diklasifikasikan. Setelah itu dikaji bagaimana perubahan profil aktual
subkluster pembiayaan ini berdampak pada profil aktual kluster di mana
subkluster tersebut berada. Terakhir, dianalisis apakah perubahan pada profil
kluster tersebut akan berpengaruh pada profil keseluruhan portofolio pembiayaan
yang dimiliki bank Islam. Mekanisme agregasi efek ini dilakukan untuk mengkaji
pengaruh perbedaan kinerja (kualitas) aktual pembiayaan individu debitur dengan
profil yang diharapkan pada waktu kontrak pembiayaan ditandatangani pada
keselurahan portofolio.
Praktik Terbaik Pengelolaan Risiko
Pembiayaan
Seluruh elemen dalam bisnis pembiayaan
yang dilakukan oleh bank Islam tidak dikerjakan sendiri. Sinergi antarlembaga
pendukung diperlukan untuk efesiensi dan menjaga focus pada bisnis utama
masing-masing lembaga. Pengelolaan agunan (rahn)
diserahkan pada perusahaan pegadaian berdasarkan prinsip sewa. Terjadi
perubahan fungsi pegadaian, dari kontrak untuk menolong (li tabarru’) menggunakan agunan menjadi kontrak bisnis (li tijari), yakni jasa menitipkan
barang, memelihara, menjaga, dan menaksir harganya (appraisal). Demikian juga jaminan (kafalah). Ketika dikelola pihak ketiga yang independen terhapap
bank, memungkinkan lembaga tersebut bertindak secara profesional dan dalam
kerangka bisnis.
Ditariknya fungsi pemeringkatan
internal dari bank, dan kemudian dikelola oleh lembaga pemeringkat independen,
akan mengurangi sebagian beban kerja bank. Berkurangnya kebutuhan SDM, waktu,
dan biaya untuk melakukan pemeringkatan debitur. Berkurangnya bias
pemeringkatan karena sekarang diperingkat oleh pihak independen. Bank menjadi
lebih fokus dalam mengelola portofolio pembiayaan. Lebih banyak waktu dan
sumber daya yang tersedia untuk mengembangkan produk, melakukan edukasi ke
masyarakat, promosi, menciptakan alat pengawasan yang lebih baik, dan
sebagainya.
Terakhir, sangat diharapkan fungsi hakim (qadhi) berjalan untuk dapat menyelesaikan
berbagai problematika yang dihadapi bank dalam proses penyaluran pembiayaan
kepada masyarakat. Berbagai manfaat dapat diperoleh, seperti: diperolehnya
penilaian objektif apakah debitur melakukan moral
hazard, pengenaan hukuman penalti atau denda akibat keterlambatan
pembayaran, hingga keputusan melikuidasi agunan dan memaksa penjamin (kaafil) ikut bertanggung jawab dalam
menanggung utang debitur.
PENUTUP
Bank
syariah berfungsi sebagai lembaga intermediasi (intermediary institution),
yaitu berfungsi menghimpun dana dari masyarakat dan menyalurkan kembali
dana-dana tersebut kepada masyarakat yang membutuhkannya dalam bentuk
pembiayaan. Pada sisi aktiva neraca bank syariah bagian terbesar dana
operasional setiap bank syariah disalurkan dalam bentuk pembiayaan. Kenyataan
ini menggambarkan bahwa pembiayaan adalah sumber pendapatan bank yang terbesar,
namun sekaligus merupakan sumber risiko operasi bisnis yang terbesar.
pembiayaan bermasalah bahkan menjadi kategori macet menjadi masalah bagi bank
syariah, karena dengan adanya pembiayaan bermasalah bukan saja menurunkan
pendapatan bagi bank syariah tetapi juga menggerogoti jumlah dana operasional
dan likuiditas keuangan bank syariah, yang akhirnya akan menggoyahkan kesehatan
bank syariah dan pada akhirnya akan merugikan nasabah penyimpan/nasabah
investor. Hal ini dikarenakan sebagian besar dana yang dipergunakan oleh bank
syariah dalam menyalurkan dana dalam bentuk pembiayaan adalah dana nasabah
penyimpan/nasabah investor, sehingga dana nasabah penyimpan/nasabah investor
wajib mendapat perlindungan hukum. Oleh karena itu, diperlukan manajemen risiko
untuk mengidentifikasi, mengukur, memantau dan mengendalian risiko yang sesuai
dengan kegiatan usaha perbankan syariah. Langkah-langkah yang dilakukan bank
syariah tersebut dalam rangka memitigasi risiko harus mempertimbangkan
kesesuaian dengan Prinsip Syariah.
Kegiatan
usaha bank syariah oleh karena senantiasa dihadapkan pada risiko-risiko yang
berkaitan erat dengan fungsinya sebagai lembaga intermediasi keuangan dan
perkembangan lingkungan eksternal dan internal perbankan syariah yang semakin
pesat mengakibatkan risiko kegiatan usaha perbankan syariah semakin kompleks
salah satunya, yaitu risiko pembiayaan maka sejogjanya bank syariah dalam
menjalankan kegiatan usahnya harus berhati-hati dalam mengelola risiko-risiko
tersebut, karena akan berdampak pada kesehatan bank syariah, yang pada akhirnya
tidak menutup kemungkinan bank syariah akan kesulitan likuditas dan berakibat
menurunnya kepercayaan masyarakat sehingga masyarakat akan menarik dananya
secara bersamaan, apabila hal ini terjadi maka akan sangat berpengaruh pada
keberadaan bank syariah.
DAFTAR PUSTAKA
Yahman dan Trisadini Prasastinah Usanti, Bunga
Rampai Hukum Aktual dalam Perspektif Hukum Bisnis Kontraktual Berimplikasi
Pidana dan Perdata, Mitra Mandiri: Surabaya, 2011.
Usanti, Trisadini Prasastinah, “Karakteristik Prinsip Kehati-Hatian pada Kegiatan Usaha Perbankan
Syariah”, Disertasi, Surabaya:
Pascasarjana Unair, 2010.
Susanto,
Burhanuddin, Hukum Perbankan Syariah di Indonesia, Jogjakarta: UII Press,
2008.
Rustam,
Bambang Rianto, Manajemen Risiko
Perbankan Syariah di Indonesia, Jakarta: Selemba Empat, 2013.
Wahyudi, Imam, Manajemen Risiko Bank Islam, Jakarta:
Selemba Empat, 2013.
Muhammad, Manajemen
Bank Syariah, Jakarta: Unit Penerbit dan Percetakan (UPP), 2005.
Antonio, Muhammad Syafi’i, Bank Syariah dari Teori ke Praktek, Jakarta: Gema Insani, 2001.
Ash Shiddieqy, Muhammad Hasbi, Hukum-Hukum Fiqh Islam, Semarang: Pustaka Rizki, 1997.
Sjabdeini, Sutan Remy, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata Hukum Perbankan Indonesia,
Jakarta: Pustaka Umum Graffiti, 1999.
Arifin, Zainul, Dasar-Dasar
Manajemen Bank Syariah, Jakarta: Pustaka Alvabet, 2005.
[1] Yahman dan Trisadini Prasastinah
Usanti, Bunga Rampai Hukum Aktual dalam Perspektif Hukum Bisnis Kontraktual
Berimplikasi Pidana dan Perdata, (Mitra Mandiri: Surabaya, 2011),
hal.136
[2] Trisadini Prasastinah Usanti, “Karakteristik Prinsip Kehati-Hatian pada
Kegiatan Usaha Perbankan Syariah”, Disertasi,
(Surabaya: Pascasarjana Unair, 2010), hal. 311
[3] Burhanuddin Susanto, Hukum
Perbankan Syariah di Indonesia, (Jogjakarta: UII Press, 2008), hal. 286
[4] Bambang Rianto Rustam, Manajemen Risiko Perbankan Syariah di
Indonesia, (Jakarta: Selemba Empat, 2013, hal. 36
[5] Imam Wahyudi, Manajemen Risiko Bank Islam, (Jakarta:
Selemba Empat, 2013), hal. 80
[6] Muhammad, Manajemen Bank Syariah, (Jakarta: Unit Penerbit dan Percetakan
(UPP), 2005), hal. 358
[7] Muhammad Syafi’i Antonio, Bank Syariah dari Teori ke Praktek,
(Jakarta: Gema Insani, 2001), hal. 107
[8] Muhammad Hasbi Ash Shiddieqy, Hukum-Hukum Fiqh Islam, (Semarang:
Pustaka Rizki, 1997), hal. 328
[9] Sutan Remy Sjabdeini, Perbankan Islam dan Kedudukannya dalam Tata
Hukum Perbankan Indonesia, (Jakarta: Pustaka Umum Graffiti, 1999), hal. 65
[10] Zainul Arifin, Dasar-Dasar Manajemen Bank Syariah, (Jakarta:
Pustaka Alvabet, 2005), hal. 60
ŞİMDİ ÇEVRİMDIŞI online para kazanmaya başlayın
BalasHapusBugün başla